Follow IG 👉 Salsabilagresya
Follow FB 👉 Gresya Salsabila
"Aku tidak bisa meninggalkan dia, tapi aku juga tidak mau berpisah denganmu. Aku mencintai kalian, aku ingin kita bertiga hidup bersama. Kau dan dia menjadi istriku."
Maurena Alexandra dihadapkan pada kenyataan pahit, suami yang sangat dicintai berkhianat dan menawarkan poligami. Lebih parahnya lagi, wanita yang akan menjadi madu adalah sahabatnya sendiri—Elsabila Zaqia.
Akan tetapi, Mauren bukan wanita lemah yang tunduk dengan cinta. Daripada poligami, dia lebih memilih membuang suami. Dia juga berjanji akan membuat dua pengkhianat itu merasakan sakit yang berkali lipat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dilema
Dilan : Nyonya Jehana akan mengikuti fashion show di Paris. Dia memintamu menjadi modelnya, bersama Carroline dan Alice. Kamu pasti setuju kan, Ren?
"Nyonya Jehana." Mauren bergumam sambil bangkit dari tidurnya.
Jehana adalah desainer andal yang sudah berkecimpung di beberapa negara. Dia sering mengikuti event dan pulang membawa piagam penghargaan.
Sungguh suatu keberuntungan bisa dipinang menjadi modelnya, terlebih lagi disandingkan dengan Carroline dan Alice, dua model papan atas yang jam tayangnya di negara-negara adidaya.
"Ini adalah impianku, tapi___"
Mauren tak bisa melanjutkan kalimatnya. Pasalnya, dia terjebak dilema yang rumit. Di satu sisi, dia sangat ingin memamerkan bakatnya di Paris dan mencuri perhatian pengunjung yang berasal dari beberapa negara. Dengan begitu, namanya akan dikenal di semua tempat dan kariernya akan melonjak.
Namun, di sisi lain Mauren enggan pergi. Dia tidak mau meninggalkan Victory begitu saja, terlebih lagi di saat hubungannya dengan Jeevan belum resmi bercerai. Entah mana yang harus Mauren pilih, mengejar cita-cita dan mengesampingkan bisnis, atau mempertahankan bisnis dan mengesampingkan cita-cita.
Dilan : Dua belas hari lagi. Masih ada banyak waktu. Bisa kan, Ren?
Dilan kembali mengirimkan pesan, tetapi lagi-lagi hanya diabaikan oleh Mauren. Entahlah, dia belum ada kalimat untuk menjawab pesan itu.
"Dua belas hari, mana cukup. Aku masih sibuk mengurus kantor, belum lagi urusan perceraian, juga urusan mantan teman yang akan kuberi pelajaran. Mana bisa aku pergi jika masalah di sini belum beres. Ahh, menyebalkan!"
Tak lama kemudian, ponsel Mauren berdering nyaring. Satu nama yang terpampang di layar adalah Dilan.
Dengan sedikit ragu Mauren mengusap tombol hijau, lantas menyapa ramah setelah sambungan telepon terhubung.
"Akhirnya ditanggapi juga. Dari tadi loh aku kirim pesan, tapi nggak kamu balas. Aku bawa kesempatan bagus 'tuh, antusias dong," ujar Dilan dari seberang sana.
"Sorry, aku tadi masih ada tamu. Jadi, belum belum sempat balas pesan kamu," dusta Mauren.
"Sekarang udah baca, kan?"
"Udah."
"Setuju, kan?" tanya Dilan.
Cukup lama Mauren terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi ingin pergi dan mengejar cita-cita, tetapi di sisi lain ingin menjaga bisnis yang sudah diamanatkan padanya.
"Mauren!"
"Aku bingung, Lan." Mauren menjawab pelan. Dia tahu tanggapannya akan mengecewakan manajer yang sudah berjasa dalam keriernya.
"Kenapa? Suamimu nggak kasih izin?" Dilan kembali bertanya.
"Bukan begitu." Mauren menyahut sambil mengembuskan napas kasar.
"Lalu?"
"Gimana kalau besok aja kita bahas ini? Sekarang ... kondisiku lagi kurang fit," jawab Mauren.
"Baiklah, sekalian pikir matang-matang. Jangan sampai salah ambil keputusan," kata Dilan sebelum sambungan telepon berakhir.
Malam itu, Mauren hampir tidak tidur. Kabar yang dibawa Dilan sukses menggoyahkan niatnya yang akan keluar dari dunia hiburan. Ibaratnya, tangga menuju puncak sudah ada di depan mata, hanya saja butuh pengorbanan besar untuk menitinya.
Di tempat yang berbeda, Jeevan juga tak bisa menutup mata. Padahal, saat itu jarum jam sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari.
Jeevan masih terjaga di dalam kamar yang sempit dan pengap. Pikirannya menerawang ke segala arah, membayangkan pernikahan yang sudah di ambang kehancuran, juga memikirkan jalan untuk mendapatkan uang. Jeevan sadar, mengalahkan Mauren di pengadilan adalah hal sukar.
"Sial, tega benar Mauren ngelakuin ini ke aku. Gimana coba caranya ngomong ke Elsa," gerutu Jeevan.
Beberapa jam yang lalu, Jeevan berputar-putar mencari kos-kosan. Namun, kebanyakan meminta bayaran di awal, sedangkan Jeevan tidak punya uang. Alhasil, di sinilah dia sekarang, kos-kosan sempit dan sederhana yang letaknya jauh dari jalan raya.
"Sempit, banyak nyamuk lagi. Masa iya tempat tinggalku sekarang jadi begini." Jeevan menatap ke sekeliling dengan perasaan enggan.
Andai dilogika, memang sangat bodoh meninggalkan Mauren yang punya segalanya demi Elsa yang tak punya apa-apa.
Akan tetapi, dalam diri Elsa-lah Jeevan menemukan rasa nyaman. Keahlian wanita itu dalam menghangatkan ranjang membuatnya tak bisa berpaling. Sementara Mauren, menurut Jeevan sangat pasif dan datar, sama sekali tidak menantang, malah terkesan membosankan.
"Andai saja kamu lebih mikirin aku, Ren. Semua ini nggak akan terjadi. Aku nggak akan selingkuh dan kita nggak perlu cerai. Dengan begitu, hidup kita akan baik-baik saja," gumam Jeevan.
______________
Deru kendaraan sudah berlalu lalang di jalanan, tetapi Elsa masih duduk malas di dalam kamarnya. Berulang kali matanya menilik ponsel yang sedari tadi hanya diam, lantas bibirnya berdecak kesal karena tak ada kabar dari Jeevan. Entah ke mana lelaki itu, ditelepon tidak diangkat, di-chat pun tidak dibaca.
"Ke kantor nggak, ya?" gumam Elsa. "Mauren datang lagi nggak sih hari ini?"
Setelah cukup lama menduga dan mengira, akhirnya ponsel yang digenggam berdering. Elsa tersenyum lebar dan lekas menatap ponselnya.
Akan tetapi, senyum Elsa memudar dalam hitungan detik. Pasalnya, bukan Jeevan yang menelepon, melainkan Mauren.
"Ngapain dia telfon aku? Angkat nggak, ya?" Elsa gugup dan bingung.
Pada panggilan pertama, Elsa mengabaikannya begitu saja. Namun, pada panggilan kedua Elsa menjawabnya meski dalam benak sangat berat.
"Ada apa?" tanya Elsa dengan nada datar.
"Datang ke kantor dan cepat ke ruanganku!" perintah Mauren dengan tegas.
"Untuk apa?"
"Nggak usah banyak tanya! Turuti aja kalau mau aman!" jawab Mauren dengan sinis.
"Kenapa aku harus nurut? Memangnya kamu siapa?" Elsa merasa tersinggung dengan ucapan Mauren yang menurutnya sok berkuasa.
Mauren tertawa, "Kamu lupa kalau aku atasanmu?"
"Atasanku Mas Jeevan, bukan kamu," sahut Elsa dengan cepat.
"Oh ya? Sejak kapan Mas Jeevan jadi pemilik Victory? Kamu nggak sedang amnesia kan, El?"
"Dasar wanita sombong!" umpat Elsa.
"Iya, aku memang sombong. Tapi ... gimana ya, masalahnya memang ada sih yang aku sombongin, nggak kayak ... kamu." Mauren kembali tertawa.
"Pantas Mas Jeevan nggak betah. Kamu___"
"Udah, nggak usah banyak omong, apalagi ungkit-ungkit laki yang hasil merebut, belum tentu juga dia setia sama kamu. Sekarang, cepat temui aku sebelum kesabaranku habis!" pungkas Mauren dengan nada tinggi.
"Jangan belagu, Ren! Aku tahu Victory punya kamu, tapi aku kerja hanya ke Mas Jeevan. Selama kamu yang menjabat di sana, aku tidak akan pernah datang ke kantor itu. Kamu pikir, hanya Victory yang bisa menggaji karyawan? Asal kamu tahu, ya, tanpa Victory aku juga bisa kerja kantoran." Elsa mulai emosi.
"Kalau kamu cerdas, pasti tahu aturan perusahaan. Nggak masalah kalau kamu berhenti, asal ada izin tertulis. Selama itu belum ada, kamu masih karyawan Victory dan wajib patuh dengan aturan di sana. Atau ... kamu mau dipecat secara tidak terhormat, atau mungkin di-black list sekalian?" sahut Mauren dengan santai.
"Kamu!" geram Elsa.
"Buruan datang! Masih ingat, kan, kalau zaman sekarang apa pun bisa terjadi karena uang."
Tanpa menunggu tanggapan Elsa, Mauren mengakhiri sambungan telepon secara sepihak. Dia tersenyum miring saat meletakkan ponselnya. Sementara di tempat lain, Elsa bergeming cukup lama. Perasaannya mendadak kacau usai mendengar ucapan Mauren yang menyiratkan ancaman.
Bersambung...
Maunya kamu aja SELINGKUH gk SETIA sm Perkawinan. Ohh gue 👊👊👊 nih laki