follow Ig : dhee.author
Mungkin ini tidak sepantasnya. Tapi apa daya kalau Mika terlanjur dibuat nyaman oleh kakak iparnya sendiri.
Sedangkan lelaki yang dia sebut suami, dia lebih mementingkan wanita lain ketimbang dirinya.
Nalurinya sebagai perempuan yang haus akan perhatian sudah terpenuhi oleh kakak iparnya, Gavin.
Hingga perlahan cinta itu tumbuh dan tak bisa dicegah lagi. Rasa ingin memiliki itu begitu kuat. Sekuat rintangan yang harus mereka lalui agar bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 12
Mikha tak dapat menyembunyikan kegelisahan yang dia rasakan. Gavin terlalu pandai untuk membaca apa yang tersirat di mata dan wajah Mikha.
Kedua tangan Mikha saling meremas. Duduknya terlihat tak tenang. Kadang juga menggigit kecil kuku-kukunya. Sebagian orang melakukan hal tersebut jika dia sedang merasa gelisah.
"Kenapa?" tanya Gavin untuk menuntaskan rasa penasarannya.
Mikha menatapnya dengan sayu. "Takut."
"Takut kenapa?"
"Gilang pasti udah pulang. Dia pasti juga udah tau kalau aku ke kantornya tadi. Kalau dia macam-macam gimana? Kemarin aja dia hampir gituin aku gara-gara aku minta cerai lagi."
Gavin tertawa kecil. Hal itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Meskipun dia tidak bisa menjaga Mikha secara langsung, tapi dia punya sejuta cara untuk menjaga gadis istri orang, kesayangannya.
"Kok, malah ketawa, sih, Kak? Emang ada yang lucu?"
"Enggak, Mikha. Kamu tenang aja. Anak buah aku akan berjaga di sekitar rumah kalian. Kalau Gilang macam-macam teriak aja sekencang-kencangnya. Mereka akan bantu kamu."
Perasaan Mikha terasa lebih baik setelah mendengar rencana Gavin. Meskipun rasa takut itu tetap ada, setidaknya pertolongan jika terjadi sesuatu yang tidak inginkan sudah ada.
Gavin segera menelpon anak buahnya. Memerintahkan mereka untuk berjaga di sekitar rumah Gilang dan Mikha. Mengatur strategi agar Gilang tidak menyadari keberadaan mereka. Tapi Mikha bisa mudah meminta bantuan mereka jika diperlukan.
Sesampainya di depan rumah, Mikha kembali menatap Gavin. Rasanya enggan untuk masuk ke dalam sana. Dia tidak ingin bertemu dengan Gilang setelah kejadian siang tadi. Mengingat saat Gilang bercumbu mesra dengan perempuan itu hanya membuat Mikha semakin sakit hati.
Bukan karena dia cemburu. Tapi karena cara memperlakukan Mikha dengan cara tidak adil. Tidak mau menceraikan, tapi kerjaan dia menebar benih di perempuan lain.
Bukan juga berarti Mikha ingin mendapatkan nafkah batin dari Gilang. Sudah cukup usahanya dulu untuk menarik simpati Gilang di awal-awal pernikahan.
Mikha hampir kehilangan harga dirinya karena berusaha memberikan seluruh diri dan hidupnya pada Gilang. Andai saat itu benar-benar terjadi, pasti sekarang Mikha akan sangat menyesal jika tahu kelakuan Gilang seperti ini.
"Kak..." rengekannya terdengar manja. Tapi sejujurnya dia sedang ketakutan.
Untuk menenangkan hati Mikha, Gavin memeluk dan menciumi puncak kepala Mikha berkali-kali. "Jangan takut. Kakak akan melindungi kamu. Atau perlu kakak di sini sampai besok pagi?"
Dalam pelukan Gavin, Mikha menggelengkan kepalanya. "Nggak perlu. Nanti yang ada malah makin runyam. Aku nggak mau kakak kenapa-kenapa kalau sampai Gilang main tangan ke kakak."
"Hey! Kakak laki-laki. Berantem itu hal yang lumrah bagi kami."
"Tapi buat aku nggak. Aku nggak mau kakak kenapa-kenapa."
"Oke. Iya, Sayang. Sudah, ya. Nggak perlu takut. Anak buah kakak udah ngabarin kalau mereka udah di depan komplek. Setelah kamu masuk, mereka akan mulai memposisikan diri mereka untuk menjaga kamu dari sini."
Mikha menghembuskan napas panjang. Mau tidak mau memang Mikha harus menghadapi Gilang. Lagipula Mikha merasa dirinya bukan wanita yang lemah. Dia pasti bisa melindungi dirinya sendiri. Kalaupun tidak bisa, orang suruhan Gavin sudah siap siaga menjaga dirinya.
"Terimakasih banyak ya, Kak. Aku nggak tau mesti gimana kalau nggak ada Kak Gavin."
Gavin tersenyum. Sejurus kemudian ia mencium kening Mikha dengan lembut. "Baik-baik, ya. Handphone harus selalu aktif biar kakak nggak khawatir."
"Siap, bos!"
Gavin tertawa kecil. Kemudian menganggukkan kepalanya untuk meyakinkan Mikha bahwa Mikha akan baik-baik saja.
***
Harapan Mikha, Gilang tidak pulang malam ini.
Tapi harapan hanyalah tinggal harapan. Kenyataannya, mobil Gilang sudah terparkir manis di garasi saat Mikha membuka pintu gerbang.
Jantung Mikha berdegup semakin kencang. Rasanya ingin berlari kembali masuk ke dalam mobil Gavin yang belum meninggalkan tempatnya. Gavin masih menunggu sampai benar-benar Mikha masuk ke dalam.
Langkah kaki Mikha terasa lebih berat. Pintu rumah semakin dekat saja dari jangkauannya.
Tapi Mikha terus melangkah maju. Meyakinkan dirinya bahwa dia bisa menghadapi Gilang. Gilang juga manusia biasa, sama seperti dirinya. Makanannya juga nasi, sama dengan dirinya.
Mikha merasa aman saat dia membuka pintu, tapi dia tak melihat Gilang sama sekali. Mungkin lelaki itu sedang berada di kamarnya, pikir Mikha.
Menjadi kesempatan bagi Mikha untuk segera berlari menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya sebelum kedatangannya di sadari oleh Gilang.
"Ehm!"
"Aduh."
Suara dehaman yang terdengar membuat Mikha tersandung anak tangga hingga tubuhnya pun terjerembab. Untung saja tak ada bagian dari tubuhnya yang terbentur sehingga dengan mudah Mikha menegakkan tubuhnya kembali.
"Lo tadi ngapain ke kantor?" Gilang bertanya tanpa basa-basi. Bahkan bertanya apakah Mikha baik-baik saja pun tidak.
Mikha menaikan sebelah alisnya. "Siapa yang ke kantor Lo? Ngapain juga gue ke sana? Kayak nggak punya kerjaan aja."
"Jangan bohong! Kenyataannya Lo memang ke sana, kan? Apa yang Lo lihat?"
Mikha membuang napas dengan kasar. "Tanpa Lo tanya kayaknya Lo juga udah tau kan, apa yang gue lihat?"
"Lo rekam juga, kan? Sekarang mana handphone Lo?"
Tanpa beban, Mikha menyerahkan handphone barunya kepada Gilang.
Gilang menaikkan kedua alisnya. Melihat Mikha dengan tatapan penuh tanya. "Serius?"
Mikha mengangguk yakin. "Katanya tadi minta handphone gue. Sekarang gue kasih malah Lo nggak mau pegang."
Dengan cepat Gilang menarik handphone tersebut dari tangan Mikha. "Ini bukan handphone Lo, Mikha." Selama ini Gilang tau betul, bagaimana warna dan tipe handphone Mikha.
Kali ini memang warnanya sama. Tapi tipe handphone tersebut bukan tipe handphone yang biasa Mikha pakai.
"Memang bukan," sahut Mikha dengan cuek. "Kan, tadi Lo minta handphone gue. Ya gue kasih lah."
"Handphone yang Lo buat merekam tadi," balas Gilang dengan sedikit geram.
"Oh..." Mikha melanjutkan langkahnya untuk menaiki tangga. Sedangkan Gilang mengikutinya dari belakang. "Mau buat apa? Mau hapus videonya, ya? Oh, tidak semudah itu, Bapak Gilang. Video itu nanti akan gue kirim ke Papa Anton dan Papa gue. Biar mereka tahu gimana kelakuan Lo yang sebenarnya."
Gilang yang semakin merasa geram pun mencekal pergelangan tangan Mikha, lalu memepetkan tubuh Mikha ke dinding. "Jangan macam-macam kalau Lo nggak mau gue main kasar!"
Sampai saat ini, Mikha masih merasa takut. Tapi mencoba untuk tetap baik-baik saja agar Gilang tidak bisa lagi seenaknya memperlakukan dirinya.
"Coba aja kalau berani! Sekali saja Lo menyentuh gue, gue akan langsung kirim video itu ke orangtua gue dan juga orangtua Lo." Mikha menatap Gilang dengan berani. Padahal, hatinya sudah berteriak memanggil Gavin meminta pertolongan.
"Lo udah mulai berani, ya, sekarang!"
"Kenapa gue mesti takut? Lo pikir gue akan terus-menerus diam Lo perlakukan seperti ini? Enggak, Gilang. Kesabaran gue udah mulai habis di saat Lo belum memanfaatkannya sama sekali."
Gilang menarik tangan Mikha dengan kasar. Tak peduli dengan teriakan Mikha yang meminta untuk dilepaskan.
Gilang mendorong tubuh Mikha dengan kasar hingga terjatuh ke atas tempat tidur. "Lo pilih hapus video tadi atau gue hamilin Lo, Mikha? Waktu berpikir Lo cuma satu menit."
"Gue nggak akan hapus video itu, Gilang. Gue juga nggak mau Lo sentuh sedikitpun."
"Lo harus pilih, Mikha Sayang. Sebelum gue main dengan cara kasar."
Gilang menyeringai. Terlihat semakin menakutkan di mata Mikha. Seketika Mikha lupa bahwa dia harus berteriak untuk meminta pertolongan.
Apalagi Gilang mulai membuka kancing bajunya satu persatu. "Sudah gue bilang, Mikha. Gue nggak akan pernah biarin Lo pergi dari gue."
"Dasar gila! Maksud Lo apa, Gilang? Lo nggak mau ceraiin gue. Tapi Lo punya pacar, kan? Bahkan hubungan kalian udah sepanas itu. Sebenarnya apa yang Lo mau?" Mikha sudah berhasil menegakkan tubuhnya kembali. Bersiap untuk menjauhi Gilang namun langkahnya kalah cepat dengan Gilang.
"Berisik! Jangan coba-coba lari, Mikha." Gilang kembali mendorong tubuh Mikha dengan kasar.
Gilang tak punya lagi kesabaran. Dengan cepat dia menindih Mikha, berusaha mencium bibir Mikha.
Tapi Mikha tak sudi mendapatkan sentuhan Gilang. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri berusaha menghindari bibir Gilang.
Hingga tangan Gilang menjepit dagu Mikha dengan kasar, dan dia benar-benar berhasil mencium bibir Mikha.
Tangan Mikha berusaha untuk melawan dengan mendorong tubuh Gilang. Kakinya juga berusaha untuk bisa menjauhkan Gilang dari tubuhnya. Tapi tenaganya tak cukup kuat. Hingga tak bisa berkutik lagi saat Gilang terus mencium bibirnya.
Air mata Mikha berjatuhan. Tidak rela jika Gilang mengambil semuanya dari dirinya. Tidak rela tubuhnya di sentuh oleh Gilang sedikitpun.