kisah cinta anak remaja yang penuh dengan kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cilicilian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecewa
Mentari pagi menyelinap di balik tirai jendela, menerobos masuk ke kamar Dara yang masih gelap. Libur panjang telah usai, dan hari ini menandai dimulainya kembali rutinitas sekolah yang terasa begitu berat. Dara masih terlentang di tempat tidurnya, tubuhnya lemas seakan terikat oleh selimut tebal yang membungkusnya.
Seulas keluhan lolos dari bibirnya, "Kenapa ya? Kalau hari libur, bangun pagi kaya ngak ada beban, tapi pas hari produktif tiba, bangun aja terasa berat banget." Ia menggeliat, tubuhnya berputar-putar di atas kasur, seakan mencari posisi yang paling nyaman untuk melanjutkan tidurnya.
Namun, rasa bersalah mulai menggerogoti hatinya. Hari ini adalah hari pertama sekolah setelah liburan yang panjang, dan ia tak bisa terus bermanja-manja dengan kelembutan kasurnya.
Dengan berat hati, Dara akhirnya bangkit. Ia berjalan gontai menuju cermin rias di sudut kamarnya, menatap bayangannya yang masih terlihat kusut dan mengantuk. Tatapannya berubah tegas. Sebuah senyum kecil terukir di bibirnya, "Dara, yok bisa yok! jangan males waktunya sekolah!" Ia mengusap wajahnya, mencoba mengusir sisa-sisa kantuk yang masih membayangi.
Aroma harum masakan pagi memenuhi ruang makan, meja makan yang telah tertata rapi dengan aneka hidangan menggugah selera. Di tengah suasana pagi yang tenang itu, Dara menuruni anak tangga, langkahnya ringan dan anggun.
Ia tampak begitu menawan dalam seragam sekolahnya yang modern dan stylish, blazer abu-abu pendek yang pas di tubuhnya, kemeja putih bersih, dasi merah marun bergaris putih yang menambah sentuhan elegan, dan rok pendek hitam plisket yang memperlihatkan kakinya yang jenjang. Rambutnya yang dipotong bob sebahu dengan poni tipis semakin mempercantik wajahnya yang manis.
"Selamat pagi Mah, Pah," sapa Dara dengan suara riang, suaranya memecah kesunyian pagi yang menyelimuti ruang makan. Namun, kedua orang tuanya tampak asyik bergulat dengan tumpukan berkas di atas meja, tatapan mereka terpaku pada angka-angka dan tulisan yang memenuhi lembaran-lembaran kertas tersebut.
Hanya Ibu yang memberikan balasan singkat, "Pagi, sayang," suaranya terdengar lelah, tatapannya masih tertuju pada berkas-berkas di tangannya, menunjukkan betapa sibuknya pagi ini.
Garpu Dara yang hendak membawa makanan ke mulutnya terhenti. Ia melihat kedua orang tuanya tiba-tiba berdiri, gerakan mereka tergesa-gesa, menunjukkan adanya sesuatu yang mendesak. Tas kerja mereka sudah tergenggam di tangan, jas dan mantel sudah dikenakan. Suasana pagi yang tadinya tenang, kini berubah menjadi sedikit kacau. Aroma masakan yang masih semerbak di udara seakan tak mampu menutupi rasa gelisah yang mulai merasuk hati Dara.
"Mah, Pah, kalian mau ke mana?" Pertanyaannya terdengar sedikit cemas, suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya.
"Ada pekerjaan mendadak, sayang," jawab Ibu, suaranya terburu-buru, jari-jarinya masih sibuk merapikan beberapa berkas di atas meja. Ayah hanya mengangguk mengiyakan, wajahnya menunjukkan keseriusan yang tak biasa. Keduanya sama-sama terlihat panik dan tak punya banyak waktu.
"Kalian ngak makan dulu? Temenin aku makan dulu, Mah, Pah," pinta Dara, suaranya sedikit bergetar, menunjukkan harapan agar kedua orang tuanya mau sedikit meluangkan waktu untuknya. Ia menatap kedua orang tuanya dengan mata yang berkaca-kaca, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.
"Maaf, sayang," Ibu menjawab dengan nada menyesal, suaranya terdengar berat. "Kita benar-benar harus berangkat sekarang. Ada urusan yang sangat penting dan tidak bisa ditunda." Ia mengulurkan tangan untuk mengelus rambut Dara, namun gerakannya terburu-buru, menunjukkan betapa terbatasnya waktu yang mereka miliki.
"Makanlah sendiri dulu, sayang," ujar Ayah, suaranya lembut, berusaha meredam kekecewaan yang tergambar jelas di wajah putrinya. "Malam nanti kita rayakan dengan makan malam spesial, ya?" Janji itu, meskipun tulus, terasa hampa bagi Dara. Ia mengangguk kecil, sendoknya bergerak lamban di atas piring.
Dara memalingkan wajahnya dan melanjutkan makannya.
Dara memalingkan wajahnya dan melanjutkan makannya. "Terserah kalian," jawab Dara, suaranya pelan, namun terdengar sedikit getir. Meskipun kata-kata itu terdengar singkat dan datar, namun tersirat di dalamnya rasa kecewa dan rasa kesepian yang menghimpit hatinya.
Pagi yang seharusnya dipenuhi kebersamaan keluarga, kini terasa sunyi dan sepi. Kehilangan kehadiran orang tuanya di pagi hari, meninggalkan luka kecil yang menggores hatinya. Bukan satu atau dua kali, tapi mereka hampir setiap hari tidak pernah menemani Dara.
Langkah kaki orang tuanya menghilang di balik pintu. Seketika, air mata Dara menetes, membasahi pipinya yang masih polos. Keheningan pagi itu terasa begitu berat, diiringi isak tangis yang pelan namun menyayat hati. Ia merindukan sentuhan hangat, perhatian penuh kasih sayang, dan kebersamaan yang tak tergantikan. Makanannya terasa hambar, sehambar suasana hati yang tengah dilanda kesedihan.
Pagi itu, sisa-sisa air mata masih meninggalkan jejak sembab di kedua mata Dara. Kejadian sebelumnya telah meninggalkan bekas yang mendalam, menghilangkan kilau ceria yang biasanya menghiasi wajahnya. Suasana hatinya kacau, seakan-akan ada badai yang mengamuk di dalam dirinya. Ia berangkat sekolah dalam keadaan yang jauh dari siap, bayangan kesedihan masih membayangi langkah kakinya.
Perasaan yang masih bergejolak membuatnya memilih diantar sopir pribadi. Mengemudikan mobil sendiri, dalam kondisi emosional yang belum stabil, terasa terlalu berisiko. Ia butuh ketenangan, meski tahu ketenangan itu sulit didapat di tengah badai emosi yang menerjang hatinya. Perjalanan menuju sekolah terasa begitu panjang, sepanjang perjalanan menuju penyembuhan luka batin yang masih menganga.
Halaman sekolah terlihat begitu ramai. Ia menarik napas panjang, mencoba menetralkan badai emosi yang masih mengamuk di dalam dirinya sebelum melangkah keluar dari mobil. Dara menetralkan emosinya dengan menarik napasnya dan mengeluarkannya secara perlahan sebelum ia keluar dari mobil.
Di balik kaca spion, bayangan dirinya sendiri terlihat pucat. Ia mengusap lembut jejak air mata yang masih membasahi pipinya, suara lirih namun tegas keluar dari bibirnya, "Ayo, Dara! Lo ngak boleh cengeng! Lo cantik, lo baik, lo luar biasa. Semangat!" Kata-kata itu, sebuah mantra penguat yang ia bisikkan pada dirinya sendiri, sebuah upaya untuk melawan kesedihan dan bangkit kembali. Ia harus kuat, ia harus mampu melewati hari ini, meski beban di hatinya masih terasa begitu berat.
"Dara!" Suara yang memanggil namanya dari belakang membuat Dara tersentak. Baru saja melangkah keluar dari mobil, ia mendapati Sella dan Dela, dua sahabatnya, sudah berdiri di sana, mengapit tubuhnya yang terasa begitu kecil di antara mereka. Kehadiran mereka yang tiba-tiba, memberikan sedikit kehangatan di tengah dinginnya suasana hati Dara.
"Dara, lo kalo dipanggil itu nyaut jangan diem," tegur Sella, dengan suara cemprengnya.
Dara hanya menjawab dengan datar, "Berisik lo." Kata-kata itu, walaupun singkat dan dingin, tak mampu menyembunyikan rapuhnya perasaannya.
Sella mengerutkan dahinya. "Lah sensi amat bocah, lo lagi dapet ya?" tanya Sella yang penasaran dengan sikap aneh Dara di pagi yang cerah ini.
Dela, dengan nada bercanda khasnya, menimpali. "Suara lo kaya kenalpot Sell!" Ucapannya, walaupun terdengar seperti ejekan ringan, bertujuan untuk mencairkan suasana tegang yang tercipta di antara mereka. Ia berharap leluconnya dapat sedikit meringankan beban yang tengah dirasakan Dara.
Dara menarik napas dalam-dalam, seakan menghirup kekuatan untuk mengubah suasana hatinya. Seketika, senyum merekah di wajahnya, menggantikan raut wajah sendu sebelumnya. "Sella, gue dari tadi diem karena gue laper pengin makan lo!"
Ia mencoba menyembunyikan kesedihannya dengan candaan, sebuah mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi perasaan yang masih menghimpit hatinya. Sella yang mendengar itu memilih melarikan diri, Dara tidak akan membiarkan Sella pergi.
"Sella gue laper pengin makan lo!" teriaknya, mengejar Sella yang terus berlari, suasana tegang tadi kini berubah menjadi kejar-kejaran yang penuh tawa.
Sementara Dela melihat keduanya yang seperti Kucing dan tikus. Perutnya terasa kaku karena tertawa terbahak-bahak melihat tingkah polah mereka yang begitu lucu dan menghibur.
"Akh!" Jeritan Dara yang tiba-tiba membuat Sella menghentikan langkahnya, tubuhnya berbalik cepat menuju sumber suara. Rasa khawatir langsung menyergap hatinya.
Melihat Dara yang sepertinya terjatuh, Dela segera berlari menghampiri. Langkah kaki mereka beradu cepat, didorong oleh rasa cemas yang sama.
Sesampainya di tempat Dara terduduk, keduanya mendapati Dara tengah memegangi kepalanya yang terlihat kesakitan. Sepertinya ada benturan yang cukup keras.
Di samping Dara, seorang laki-laki berdiri dengan raut wajah yang jelas menunjukkan kekhawatiran. Tatapannya tertuju pada Dara, menunjukkan kepedulian yang tulus. Suasana tegang langsung menyelimuti mereka bertiga, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.