Suatu kesalahan besar telah membuat Kara terusir dari keluarga. Bersama bayi yang ia kandung, Kara dan kekasih menjalani hidup sulit menjadi sepasang suami istri baru di umur muda. Hidup sederhana, bahkan sulit dengan jiwa muda mereka membuat rumah tangga Kara goyah. Tidak ada yang bisa dilakukan, sebagai istri, Kara ingin kehidupan mereka naik derajat. Selama sepuluh tahun merantau di negeri tetangga, hidup yang diimpikan terwujud, tetapi pulangnya malah mendapat sebuah kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ingin Kerja
Harga diri? Elno sendiri tidak tahu apa artinya. Baginya saat ini adalah mendapat uang secara halal. Ia membutuhkan pundi-pundi rupiah demi keluarga.
Mau jadi pembantu atau kacung sekalipun ia rela. Mereka membayar atas jasa yang Elno jual. Saat ini tenaganya diperlukan oleh teman-teman satu kampusnya.
"Ini air minumnya," ucap Elno sembari menyerahkan satu per satu botol kepada lima orang teman pria-nya termasuk Tedi dan Ilmi.
Elno dapat keuntungan dua puluh ribu hasil dari membeli minuman. Sari memperhatikan. Ia iba atas usaha Elno yang keras. Bukan Sari tidak mendengar saat Ilmi serta teman yang lain membicarakan Elno.
"Bawain sepatu aku, El," ucap Ilmi.
"Oke!" sahut Elno.
Sari dan Tedi yang melihat itu cuma diam sebab Ilmi telah membayar Elno hari ini. Teman yang lain juga meminta dibawakan tas olahraga mereka sampai ke tempat parkir motor.
"Biar aku bantu," ucap Sari.
"Enggak usah. Aku bisa sendiri, kok," kata Elno.
"Kamu bekerja keras, El."
"Iya. Aku membutuhkannya untuk anak dan istriku," ucap Elno.
"Oh, ya, selamat buatmu. Aku dengar dari Tedi kalau Kara sudah melahirkan."
"Terima kasih. Ngomong-ngomong, kamu pacaran sama Tedi?" tanya Elno.
"Enggak. Kita bukannya teman satu sekolah."
"Cuma kamu yang berbeda jurusannya, tapi masih nimbrung."
Sari tersenyum. "Rumahku enggak begitu jauh dari Tedi."
"Wah! Tedi enak, tuh. Kalau sakit tinggal lari ke rumah kamu saja. Hitung-hitung praktek."
"Kalian ngomongin aku, ya?" sahut Tedi yang ikut berjalan bersama Elno serta Sari.
"Elno bilang kalau kamu sakit tinggal suntik saja," ucap Sari.
"Ogah! Meski kamu nantinya dokter ternama, aku enggak bakalan berobat denganmu," kata Tedi.
"Omongan dijaga. Entar kamu sendiri yang cari-cari Sari," timpal Elno.
"Apa boleh buat jika cuma ada Dokter Sari di dunia ini." Tedi menyenggol bahu Sari.
Sari mendengkus. Ia berjalan cepat menyusul Ilmi yang berada di barisan depan. Tedi mengejarnya dan kembali menggoda gadis itu. Elno cuma menggeleng melihat mereka. Masa-masa seperti itu sudah hilang darinya.
...****************...
Di tengah perjalanan menuju rumah, Elno singgah dulu ke minimarket terdekat. Ia membeli dot bayi dan popok sekali pakai isi sedang. Elno juga singgah ke warung penjual buah membeli pisang satu sisir.
"Kara pasti kaget aku belanja banyak. Nanti sore ajak Kara jalan-jalan sama Finola juga," gumam Elno, lalu melanjutkan kembali perjalanan.
Matahari meninggi, tetapi Elno belum juga pulang. Kara sengaja menunggu di depan rumah sembari menjaga Finola. Cuaca panas. Kipas angin masih kurang untuk menghilangkan gerah di tubuh.
Kara tersenyum melihat Elno dari jauh. Ia bangkit berdiri. Matanya mengarah ke barang belanjaan yang berada di gantungan motor.
Elno sengaja membunyikan klakson. Kara lekas menempelkan jari telunjuknya ke bibir karena Finola tengah tidur siang.
"Lari pagi, tapi pulangnya siang," celetuk Kara.
"Lihat, Sayang. Apa yang aku bawa?" ucap Elno sembari menepuk plastik belanjaan. Ia melepas helm, lalu turun.
"Duit dari mana?"
"Kerja. Ilmi manggil buat bantuin dia bawain tas," kata Elno.
Senyum Kara menghilang. "Bawain tas?"
Elno menatap Kara. "Kalau gengsi enggak bakalan dapat uang."
"Kamu jadi pesuruh Ilmi?" tanya Kara.
"Yang penting dapat duit."
Kara mengangguk. Ia mengerjap beberapa kali. Suaminya memang benar. Tidak perlu gengsi demi mendapat uang.
"Sayang." Elno mendekat. "Aku baik-baik saja."
"Iya, aku maklum. Kita masuk saja."
"Kamu rebus pisangnya. Aku mau ngerjain tugas. Oh, nanti sore kita jalan-jalan bagaimana?" tawar Elno.
"Enggak kerja?"
"Aku masuk pukul enam sore," ucap Elno.
"Iya. Kita jalan-jalan," kata Kara seraya memberi Elno senyum manis.
...****************...
Pukul empat sore, Kara sudah siap untuk pergi jalan bersama suaminya. Si kecil Finola juga cantik dengan baju hangat yang dipakai. Elno akan membawa keduanya ke taman.
"Ini pertama kalinya Finola pergi jauh. Pasti kamu senang," ucap Elno seraya mengecup kening putrinya.
"Finola juga mau lihat langit sore," sahut Kara.
"Ayo, naik." Elno menepuk tempat duduk motornya.
Elno naik lebih dulu. Disusul oleh Kara di belakang. Mesin dihidupkan, lalu Elno mulai mengendarai motornya dengan kecepatan sedang.
"Rasanya sudah lama enggak jalan-jalan," ucap Kara.
"Ingat enggak waktu kita pacaran. Masa-masa itu asik, kan?"
"Iya," jawab Kara. Rasanya belum puas.
"Kamu tenang saja. Aku bakal cari waktu buat kita bersama. Doakan saja suami ini."
"El, kenapa kamu enggak kerja di kafe saja. Kerja di kelab malam terlalu menyita waktumu," ucap Kara.
"Gajinya lebih gede di sana, Sayang. Kamu tau sendiri kebutuhan kita banyak. Sudahlah. Nanti kita bahas lagi. Saat ini waktunya kita senang-senang."
Elno melajukan sepeda motor ke taman kota. Kara tersenyum ketika telah sampai. Elno memarkirkan motor bebeknya di antara kendaraan roda dua yang lain.
"Sudah lama banget enggak ke sini," ucap Kara.
"Aku juga," sahut Elno.
"Sayang, lihat. Kita sudah sampai di taman," kata Kara pada Finola.
"Finola malah tidur. Ayo, bangun, Sayang." Elno menoel-noel pipi putrinya.
Finola cuma mengeliat. Matanya enggan untuk terbuka. Kara tersenyum melihat tingkah putri kecilnya.
"Finola asik tidur karena dibawa jalan," kata Kara.
"Kita duduk di sana saja," ucap Elno, lalu mengiringi istrinya menuju bangku taman.
Pengunjung cukup ramai. Ada yang santai sore. Sekadar jalan-jalan bersama anak-anak mereka. Bersepeda dan lari sore. Pemandangan yang cukup mencuci mata Kara setelah lama berdiam diri di rumah.
"Aku ingin bekerja, El. Hitung-hitung buat bantu kamu," kata Kara.
"Kerja apa? Kita punya anak bayi."
"Enggak tau juga. Iya juga, sih. Finola belum bisa ditinggal. Tapi jualan tisu di lampu merah juga enggak masalah. Ada, kok, ibu-ibu bawa anak sambil jualan," kata Kara.
"Finola masih terlalu kecil. Dia juga masih menyusu asi. Jualan juga perlu modal, Sayang."
"Benar juga. Cari duit susah rupanya. Dulu kita tinggal minta saja," kata Kara.
"Kamu yang sabar. Aku akan secepatnya lulus kuliah. Aku akan cari kerja."
"Iya. Aku yakin kita bisa menghadapi ini semua," ucap Kara.
Bersambung
penuh makna
banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari cerita ini.
sampai termehek-mehek bacanya
😭😭😭😭🥰🥰🥰
ya Tuhan.
sakitnya