Gadis cantik bernama Kirei Fitriya Tsabita berprofesi sebagai jurnalis di sebuah media televisi swasta.
Cita-citanya lahir lewat tangan ayahnya yang juga seorang wartawan senior. Ayah baginya idola, cinta pertama dan kiblatnya. Hingga peristiwa yang menyebabkan ayahnya meninggal ia membulatkan tekad melanjutkan cita-citanya. Sebuah cita-cita sederhana berkat kekaguman seorang anak terhadap ayahnya.
Ternyata cita-cita sederhana itu membuatnya kalang kabut saat ia ditunjuk menjadi jurnalis lapangan divisi news program menggantikan rekannya yang resign. Meliput kejadian di luar dugaan program 'Telusur Peristiwa' dan harus menghadapi atasan yang ia juluki makhluk aneh dan sok menyebalkan.
Belum lagi harus berhubungan dengan Wadir Reskrimsus terkait beberapa kasus liputannya. Yang mana mengantarkannya pada 'pernikahan' yang tak disangka-sangka.
Apakah 'pernikahan' itu mampu menghadirkan cinta?
Setelah kenyataan di depan mata, orang-orang terkasihnya ternyata terkait dengan kejadian kematian ayahnya.
Follow ig : enel_choi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NL choi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Caribbean van Java (2)
...10. Caribbean van Java (2)...
Aldi
Menggunakan kapal penyebrangan Express Bahari mereka menempati kelas executive yang berfasilitas tempat duduk sesuai nomor tiket, ruangan ber-ac, kamar mandi serta tv.
Baginya ini bukan yang pertama kali. Tapi ia merasa perjalanan kali ini lebih menyenangkan. Diam-diam ia mengambil foto gadis itu yang tengah menatap pemandangan luar dari jendela dengan tangan menyiku menopang dagunya.
Keberaniannya hanya sebatas mengambil foto secara candid. Lalu ia mengulas senyum, menatap hasil jepretan foto di kamera ponselnya.
Aldi menghampiri gadis itu dan menawarkan sebotol air mineral.
“Minum ....” Tawarnya sembari menyodorkan botol air mineral itu di meja kecil yang menjadi sekat antara keduanya.
“Thanks, Mas.” Ia mengambil botol itu namun tak langsung meminumnya.
"Anytime ...."
“Di luar sudah terik jam segini. Mudah-mudahan dua hari ke depan di Karimun Jawa cuaca bersahabat," harapnya. Meski dalam hatinya ia berharap lebih lama lagi bersamanya di sana.
“Kamu bisa berenang, Rei?” Tanyanya kemudian.
“Bisa, tapi kurang lancar,” jawabnya malu-malu. Setelah sang ayah meninggal kegiatan berenangnya benar-benar terhenti. Dan semenjak itu pula ia bahkan tak pernah melakukan olahraga renang.
“Ambigu!” Semburnya dingin.
“Hah!” Ia terhenyak. “Maksudnya?”
“Jawab aja bisa atau tidak!” Ketusnya dengan santai.
“Dulu sewaktu kecil memang sering latihan. Tapi sudah empat belas tahun tidak pernah lagi,” jawabnya sedikit kesal.
“Kamu akan merasa rugi kalo gak bisa berenang saat di pulau. Pemandangan di sana lebih menggiurkan dibanding apa pun," ungkapnya. Meski dengan raut wajah tak terdeteksi, tapi menjelaskan bahwa ia sosok penyuka petualangan.
Gadis itu kembali menatap ke jendela. Tak mengacuhkannya yang duduk di hadapannya. Sambil menopang dagunya dengan tangan menyiku di atas meja.
“Pake!”
Kirei mendongak menatapnya lalu beralih menatap life jacket berwarna oranye yang dibawanya.
“Aku takut kamu tenggelam kalo kapal ini kenapa-kenapa,” ucapnya santai tapi dengan cibiran mengejek. Meski dalam hatinya tertawa senang melihat ekspresinya.
“Gak perlu kali, Mas. Yang lain juga gak pake kok. Tuh lihat.” Kirei menunjukkan penumpang lain dengan dagunya yang juga tak memakai jaket pelampung.
“Parno kali sih!” Sungutnya sebal atas tindakan Aldi yang berlebihan menurutnya.
Justru ia mengulum senyum, “Mencegah lebih baik, kan dari pada terlambat!”
“Iya ... iya aku pake nih!” Sembur Kirei dengan wajah yang ditekuk.
Perjalanan menggunakan kapal cepat hanya ditempuh dengan waktu kurang dari dua jam.
Tibalah mereka di pelabuhan Karimun Jawa.
***
Kirei
Disambut tugu selamat datang berwarna biru menandakan ia telah mendarat di pulau Karimun Jawa dengan selamat.
“Kita langsung ke penginapan dulu. Simpan barang,” ujar Aldi yang berjalan di sampingnya usai kapal mendarat di pelabuhan.
“Berat, Rei?” Tanya Mas Budi padanya yang melihat sedikit kerepotan dengan barang bawaannya. Tas ransel ukuran sedang dan sebuah tas jinjing yang berisi peralatan selama menginap.
“Sini aku bawain,” kata mas Budi menawarkan bantuan.
“Eh, gak usah Mas. Aku masih bisa handle,” kilahnya. Tidak mungkin ia merepotkan mas Budi yang jelas-jelas juga membawa banyak barang. Tas ransel gunung berukuran besar. Tas kamera beserta prentelannya. Belum lagi tripod.
Dan yang menyebalkan sosok Aldi yang hanya membawa satu tas ransel terlihat melenggang santai berjalan mendahului mereka.
“Gak peka,” gerutunya.
Menggunakan mobil sewaan mereka menuju penginapan yang tidak jauh dari pelabuhan.
Setelah melakukan koordinasi mereka sepakat untuk langsung ke lokasi peliputan. Sebuah kampung yang sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan.
Saat melakukan wawancara dengan narasumber, Aldi terlihat menepi dan menjauh. Tampak ia berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Namun tak berapa lama ia bergabung kembali.
“Sudah berapa narasumber?” Tanyanya saat ia duduk di sampingnya.
“Empat,Mas.” Jawabnya.
“Kita langsung temui ketua koperasinya dan kepala desa,” usulnya. “Kalo bisa hari ini selesai besok pagi kita bisa langsung balik ke Semarang.”
“Okay.” Sahutnya.
Dan bagai dikejar waktu, hari itu juga ia dan mas Budi menyelesaikan peliputan hingga sore hari. Sosok Aldi entah ke mana rimbanya.
“Rei, bentar ya. Aku telepon dulu sama istri anakku,” ucap mas Budi dengan sedikit menjauh.
"Aku duluan kalo gitu, ya, Mas." Ucapnya seraya melambaikan tangan dan dibalas dengan anggukkan.
Ia berjalan terlebih dulu menuju penginapan yang tidak terlalu jauh dari lokasi terakhir peliputannya.
Cuaca panas dan gerah langsung menyergapnya. Peluh membanjiri tubuhnya. Pakaian yang ia kenakan basah dan lengket. Padahal ia sudah memakai baju yang nyaman dan meresap keringat.
Berkali-kali ia mengipas-ngipaskan tangan di depan wajahnya. Mencoba menghalau gerah yang melingkupinya. Bahkan topi yang ia pakai pun tampaknya hanya bisa mengurangi sedikit panas teriknya. Padahal waktu sudah menunjukkan tiga lewat tiga puluh sore.
Setibanya di penginapan ia langsung menyalakan pendingin ruangan. Melempar topi dan ranselnya begitu saja di atas meja kecil yang berada di pojok ruangan. Merebahkan tubuhnya yang lelah.
Ia membuka matanya ketika dering ponselnya meraung-meraung memaksanya untuk bangun. Diraihnya ponsel yang tergeletak di atas nakas.
“Rei,” ucap seseorang dari ujang sana.
“Hem ...."
“Kamu masih tidur?”
“Hem, yaa.”
“Oh ... come on. Di sini bagus pemandangannya.”
“Di mana?” Sahutnya dengan mata masih terpejam dan ponsel masih menempel di pipi kanannya.
“Kamu udah ditunggu Budi di depan kamar. Aku tunggu sekarang di pantai.”
Tut...tut...tut
Sambungan telepon diputus dari seberang.
Dengan malas, ia membuka matanya. Masih menguap beberapa kali. Lalu terdengar pintu kamar diketuk dari luar.
“Rei ....” Panggil seseorang dari balik pintu.
Ia bangun dengan langkah gontai membuka pintu, “Mas Budi,”
“Aku tunggu, ya. Aldi sudah nunggu kita di pantai."
Ia mengangguk, “Aku ganti baju dulu, Mas.” Ia kembali menutup pintu dan lekas ke kamar mandi berganti pakaian.
Sesampainya di pantai Aldi sudah lengkap dengan peralatan snorkeling-nya. Lalu menyodorkan snorkeling-nya satunya padanya.
“Pakai!” Titahnya.
“WHAT!” Pekiknya dalam hati.
“Ta-tapi ....”
Namun Aldi sudah memakaikannya terlebih dahulu.
“Jaket pelampung biar kamu gak tenggelam,” katanya sambil memakaikan di tubuhnya.
“Masker biar bisa melihat pemandangan di bawah laut. Terus pakai ini juga snorkel.” Katanya lagi.
“Mas, a-aku ....”
Ia lalu ditarik dan disuruh memakai sepatu fin (kaki katak).
“Pas?” Tanyanya.
Ia hanya mengangguk tapi malas untuk menanggapi.
Beruntung ia memakai baju renang panjang yang sudah disiapkan sejak keberangkatannya sehingga dalam kondisi seperti ini ia siap untuk terjun ke laut. Meski sebenarnya ia ragu, sebab sudah lama tak berenang.
Kirei masih bergeming di tempatnya. Sementara mas Budi tengah asyik ber-snorkeling.
Namun tiba-tiba ia terkesiap saat tangannya di tarik begitu saja oleh Aldi.
“Sampai kapan kamu mematung di situ?” Dengusnya sembari terus menariknya ke tengah.
“Keburu gelap dan pemandangan di dalam laut tidak bisa lagi dilihat.” Tandasnya kesal.
Ombak yang tenang memudahkannya melihat dasar laut. Dengan kedalaman sedada orang dewasa ia mencoba ber-snorkeling. Melihat pemandangan biota bawah laut.
Ia tersenyum senang dalam hati saat melihat ikan Nemo yang berkejaran dengan ikan Dori. Seperti di film yang pernah ditontonnya. Lalu starfish yang melayang bak di udara dan berbagai jenis ikan yang ia tak hafal namanya tapi yang pasti begitu indah dengan warna warni yang menyolok mata. Amazing!
Tanpa sadar saking keasyikan ia sudah hampir ke tengah dengan kedalaman yang lebih dari sebelumnya. Terapung-apung dengan tangan yang berupaya menggapai apa saja di dekatnya.
Mendadak ia merasakan kram pada kaki dan tangannya dan berusaha untuk menggerakkannya namun begitu sulit sakit.
***
Aldi
Oleh Aldi panik bukan main ketika melihat gadis itu sudah jauh ke tengah mengapung-apung.
Ia berusaha berenang dengan kecepatan penuh demi mendapati Kirei yang terlihat something has happened.
Benar saja, setelah meraih tubuh gadis itu. Ternyata ia sudah tak sadarkan diri. Dengan panik dan rasa khawatir berlebih ia lalu membawanya ketepian. Di sana sudah ada Budi yang siap menunggunya.
Gadis itu ia baringkan di atas kain kering. Lalu diselimuti dengan handuk.
“Rei ....” Panggilnya dengan menepuk pipinya. Namun ia bergeming dengan mata terpejam.
“Kirei,” panggilnya lagi seraya memeriksa denyut nadinya.
“Normal,” ucapnya.
“Mungkin dia shock,” sahut Budi.
“Kita bawa aja ke penginapan. Bisa jadi dia juga kedinginan, Al. Mukanya pucat begitu. Tangan dan kakinya juga dingin.”
Tanpa berpikir panjang, ia membopong gadis itu menuju penginapan yang memang tak jauh dari tempatnya snorkeling.
-
-
Terima kasih yang sudah mampir, membaca dan memberikan dukungan like, comment, tips dan vote-nya....🤗🙏.