Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembuatan Bumbu Kacang
Kegelapan total itu hanya berlangsung sesaat, digantikan oleh seberkas cahaya kelabu yang kembali menembus celah saat bayangan itu bergeser. Han Qiu dan Li, yang membeku dengan napas tertahan, mengangkat kepala mereka perlahan. Sebuah wajah tua yang penuh kerutan mengintip dari celah papan lantai yang lapuk. Mata sayu Koki Tua Zhang menatap mereka, bukan dengan amarah, melainkan dengan kejengkelan seorang kakek yang memergoki cucunya bermain api.
“Sudah kubilang, kalian anak-anak bodoh,” desis Zhang dari atas, suaranya teredam oleh kayu.
“Langkah kaki kalian seperti gajah yang mencoba menari balet. Setengah istana bisa tahu ada yang tidak beres di bawah sini.”
Li hampir pingsan karena lega, tubuhnya merosot ke lantai yang lembap.
“Paman Zhang… Anda membuat jantungku hampir copot.”
“Baguslah,” gerutu Zhang.
“Biar kalian ingat kalau nyawa kalian itu lebih rapuh dari kulit pangsit. Cepat selesaikan urusan kalian. Salah satu mandor kepercayaan Gao sedang berkeliling, mengeluh soal bau jamur dari gudang utara. Aku berhasil mengalihkannya untuk sementara, tapi tidak akan lama.”
Bayangan itu menghilang, dan suara langkah kakinya yang diseret menjauh terdengar samar sebelum lenyap ditelan keheningan malam.
Han Qiu mengembuskan napas panjang dan gemetar. Peringatan itu adalah anugerah sekaligus cambuk. Mereka tidak punya banyak waktu. Ia menatap dua puluh tusuk sate yang berbaris rapi di atas kain. Mereka adalah tubuh tanpa jiwa. Indah, tetapi bisu.
“Belum selesai,” bisik Han Qiu, lebih pada dirinya sendiri.
“Bagian paling penting, bagian yang paling berbahaya, baru akan kita mulai.”
“Apa lagi?” tanya Li, suaranya masih serak karena takut.
“Bukankah ini sudah cukup gila? Kita punya daging curian yang direndam pembersih panci dan ditusuk bambu tikar bekas. Apa lagi yang lebih buruk dari ini?”
Han Qiu tidak menjawab. Ia merogoh ke dalam peti kayu lapuk dan mengeluarkan dua benda. Yang pertama adalah sebuah batu giling kecil, sepasang cakram granit kasar yang biasa digunakan untuk menumbuk biji-bijian obat. Benda itu berat dan kuno. Yang kedua adalah bungkusan kain yang ia jaga seperti nyawanya sendiri—harta karun dari pasar gelap. Kacang tanah sangrai.
“Ini,” kata Han Qiu sambil membuka bungkusan itu,
“adalah jiwa dari sate. Tanpa ini, semua yang kita lakukan sia-sia. Kita hanya akan memanggang daging tawar di atas tusukan kayu.”
Aroma gurih dan hangat dari kacang sangrai langsung menyeruak, mengisi ruang bawah tanah yang pengap itu dengan janji kenikmatan. Itu adalah aroma yang hampir membuatnya tertangkap kemarin, dan sekarang ia akan memperkuatnya seratus kali lipat.
“Kau mau menggilingnya di sini?” tanya Li ngeri.
“Suaranya akan terdengar sampai ke kamar Kaisar! Dan baunya… Gao akan turun sendiri ke sini dengan kapak.”
“Itulah kenapa kita harus cepat,” balas Han Qiu. Ia menuangkan segenggam kacang ke lubang di tengah batu giling. Tangannya memegang tuas kayu dan mulai memutar.
Awalnya, suara yang keluar serak dan memekakkan telinga. Krrkkk… grrrkkk… Suara batu yang beradu dengan biji-biji kering. Li meringis, matanya melesat ke arah langit-langit seolah mengharapkan Gao akan menerobos papan lantai detik itu juga. Tapi Han Qiu terus memutar dengan ritme yang stabil dan kuat.
Perlahan, suara serak itu berubah. Biji-biji kacang mulai hancur, melepaskan minyak alaminya. Suara gerusannya menjadi lebih basah, lebih lembut, dan aroma gurih yang tadi hanya samar kini meledak menjadi aroma yang pekat.
Ruang bawah tanah itu tidak lagi berbau jamur dan tanah basah. Kini ia beraroma surga bagi para pecinta makanan. Aroma kacang yang dipanaskan matahari, sedikit manis, dengan sentuhan bau tanah yang jujur.
“Cepat sedikit,” desis Li, mengendus udara dengan cemas.
“Aku bersumpah aku bisa mencium bau ini dari koridor utama.”
Han Qiu mengabaikannya. Konsentrasinya penuh. Ini bukan sekadar pekerjaan kasar; ini adalah seni. Ia menambahkan sedikit air hangat yang mereka selundupkan dalam sebuah guci kecil, sesendok demi sesendok. Pasta kacang yang kasar itu mulai berubah menjadi adonan yang lebih halus dan lembut.
Kemudian, ia membuka bungkusan-bungkusan kecil lainnya dari kantong terlarangnya. Pertama, beberapa cabai kering keriting yang langsung ia masukkan ke dalam gilingan, menciptakan letupan aroma pedas yang tajam. Kedua, sejumput biji ketumbar. Terakhir, sebongkah kecil gula aren gelap yang ia hancurkan dengan gagang batu.
“Gula? Cabai?” bisik Li, kebingungan dan ketakutan berebut di wajahnya.
“Kau sedang membuat apa sebenarnya? Makanan atau ramuan penyihir?”
“Keseimbangan, Li. Keseimbangan,” jawab Han Qiu, matanya berbinar di bawah cahaya redup.
“Gurih dari kacang, pedas dari cabai, manis dari gula. Mereka harus menari bersama, bukan saling membunuh.”
Aroma di ruangan itu kini menjadi semakin kompleks dan tak tertahankan. Itu bukan lagi sekadar bau kacang. Itu adalah bau janji makan malam yang hangat, bau tawa di pinggir jalan, bau kehidupan yang jauh dari protokol steril Chef Gao.
Dan bau itu, seperti hantu yang tak terlihat, mulai merayap keluar dari celah-celah papan lantai, naik ke atas, dan menyebar ke lorong-lorong asrama pelayan yang sunyi.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki di luar gudang kayu bakar di atas mereka. Bukan langkah kaki mandor yang berat atau langkah Zhang yang diseret. Ini adalah langkah kaki ringan dan ragu-ragu.
“Ssst!” desis Li, tubuhnya kembali menegang.
Han Qiu berhenti menggiling. Mereka berdua menahan napas, mendengarkan.
“Aku menciumnya… di sekitar sini,” terdengar suara bisikan seorang pelayan perempuan.
“Iya, baunya enak sekali. Seperti… seperti kue kacang buatan ibuku,” balas suara lain, seorang pemuda.
Han Qiu mengumpat dalam hati.
Sial. Ia tahu ini akan terjadi. Aroma ini terlalu jujur untuk diabaikan.
Pintu gudang di atas mereka berderit pelan. Dua kepala muncul, mengintip ke dalam kegelapan gudang.
“Baunya datang dari bawah sini,” kata si pemuda, menunjuk ke arah papan lantai yang menutupi ruang bawah tanah mereka.
Li menatap Han Qiu dengan panik, matanya memohon untuk melakukan sesuatu. Otak Han Qiu berputar cepat. Ia butuh kebohongan lamanya, tetapi dengan sentuhan baru yang lebih menjijikkan.
Dengan sengaja, ia menuangkan terlalu banyak air ke dalam adonan bumbunya, membuatnya sedikit encer dan berantakan. Lalu ia meraih segenggam lumut basah dari dinding dan melemparkannya ke dekat batu giling.
“Siapa di sana?” panggil Han Qiu dengan suara serak, berpura-pura terkejut.
Dua pelayan itu terlonjak.
“Xiao Lu? Apa yang kau lakukan di bawah sana?”
“Aku… aku sedang membuat obat,” jawab Han Qiu, nadanya ia buat terdengar sengsara.
“Obat? Obat apa yang baunya seenak ini?” tanya si pelayan perempuan, rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takutnya.
“Ini bukan bau enak!” bentak Han Qiu, berusaha terdengar tersinggung.
“Ini ramuan untuk mengobati bisul di punggung Paman Zhang! Campuran kacang busuk, akar beracun, dan lumut dari dinding. Baunya memang manis di awal, tapi setelah dioleskan akan menjadi sangat busuk dan gatal!”
Untuk menambah efek, ia mencolek sedikit bumbu kacang itu dengan jarinya, lalu dengan cepat menggosokkannya ke lumut di lantai sebelum menunjukkannya kepada mereka. Pasta cokelat itu kini terlihat kotor dan menjijikkan.
“Lihat? Menjijikkan, kan? Kata tabib tua, racun harus dilawan dengan racun yang lebih bau,” lanjutnya, mengarang dengan cepat.
Wajah kedua pelayan itu langsung berubah dari penasaran menjadi jijik total. Gagasan mengoleskan pasta kacang yang dicampur lumut ke kulit mereka sudah cukup untuk membuat perut mereka mual.
“Oh… maaf mengganggu,” kata si pemuda buru-buru, menarik temannya menjauh.
“Kami kira ada yang memasak kue.”
“Memasak kue?” Han Qiu tertawa getir.
“Di neraka ini? Cepat pergi sebelum baunya menempel di baju kalian dan Nyonya Gao menuduh kalian punya penyakit kulit!”
Ancaman itu berhasil. Kedua pelayan itu bergegas pergi, pintu gudang ditutup kembali dengan suara gedebuk pelan.
Li menatap Han Qiu dengan campuran antara ngeri dan kagum.
“Kacang busuk? Akar beracun? Kau benar-benar gila.”
“Terkadang, kau harus membuat surga terdengar seperti neraka agar tidak ada yang mau mengikutimu,” balas Han Qiu, kembali fokus pada pekerjaannya.
Ia melanjutkan prosesnya hingga bumbu itu mencapai konsistensi yang sempurna: kental, sedikit kasar, berwarna cokelat gelap yang berkilau karena minyak kacang alami. Ia mencicipinya dengan ujung jari. Sempurna. Ledakan rasa gurih langsung memenuhi mulutnya, diikuti oleh sengatan pedas yang hangat dan diakhiri dengan rasa manis yang memeluk lidah. Ini adalah rasa kemenangan.
Dengan sangat hati-hati, ia menuangkan bumbu berharga itu ke dalam sebuah guci tanah liat kecil dan menutupnya rapat-rapat dengan beberapa lapis kain basah untuk memerangkap sisa aromanya. Senjata pamungkas mereka telah siap.
Mereka membersihkan batu giling itu sebersih mungkin dan menyembunyikannya kembali. Ruang bawah tanah itu kembali sunyi, hanya menyisakan aroma samar yang menempel di udara.
“Selesai,” kata Han Qiu, menepuk guci itu dengan puas. Ia menatap Li yang masih tampak tegang.
“Kita berhasil, Li. Kita punya dua puluh tusuk sate dan bumbu kacang terbaik di seluruh Dinasti Song.”
Li mengangguk pelan, matanya menatap sate dan guci itu bergantian. Kelegaan mulai menjalari dirinya, tetapi dengan cepat digantikan oleh sebuah pertanyaan mengerikan yang belum terpikirkan oleh mereka.
“Bagus,” kata Li, suaranya terdengar hampa.
“Kita punya daging. Kita punya bumbu. Sekarang jawab aku, Xiao Lu…”
Ia menatap Han Qiu lurus-lurus, matanya memantulkan ketakutan yang murni.
“Api. Di mana kita akan menyalakan api di neraka ini?”