Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Lelaki yang Tidak Kabur
Roy masuk ke rumah tanpa menoleh.
Begitu pintu kamarnya tertutup, ia melempar tas ke meja dan menjatuhkan tubuh ke ranjang.
Tok. Tok.
“Sayang,” suara Lisa terdengar dari balik pintu. “Ini Mama.”
Roy berdecak pelan, lalu bangkit membuka pintu.
“Ada apa, Ma?” tanyanya malas.
Tanpa menjawab, Lisa sudah melangkah masuk. Roy menutup pintu kembali.
“Duduk sini,” ujar Lisa, menepuk tepi ranjang.
Roy duduk, menyandarkan punggung ke kepala ranjang.
“Katakan pada Mama,” suara Lisa merendah, penuh selidik, “apa kau bikin Papamu kesal?”
Roy tertawa pendek. “Sejak Papa tahu aku taruhan sama Raska, tiap hari rasanya kayak diinterogasi.”
Lisa menghela napas kesal. “Sudah Mama bilang, jangan buat Papamu marah. Fokus sekolahmu. Kau tahu sendiri… sejak ibu anak itu mati, Papamu jadi ketat.”
Roy menatap lantai.
Ketat. Kata yang terlalu halus.
Jam pulang dicatat. Pengeluaran diawasi. Kartu tambahan bisa dibekukan kapan saja.
Bahkan Mamanya pun—
Lisa menghela napas panjang. “Mama saja sekarang harus minta izin cuma buat belanja. Undangan arisan diseleksi. Rekening Mama… kamu tahu sendiri.”
Roy menoleh. “Papa benar-benar paranoid.”
“Bukan paranoid,” Lisa tersenyum getir. “Takut kehilangan kendali.”
Ia terdiam sesaat, lalu melipat tangan di dada.
“Dan semua itu karena anak itu.”
“Raska?” Roy mengangkat alis.
“Siapa lagi,” sahut Lisa cepat. “Selama dia ada, Papamu selalu punya alasan untuk menahan kita.”
Roy tersenyum tipis. "Mama tenang saja. Dia bukan ancaman.”
Lisa menatapnya tajam. “Jangan meremehkan. Kau tahu sendiri, Papamu lebih percaya dan melindungi dia.”
Roy terdiam sejenak, lalu tersenyum. Tenang, yakin. “Mama belum dengar kabar ini.”
“Kabar apa?”
“Raska masuk militer.”
“Apa?!” Mata Lisa melebar. “Kau bercanda?”
Roy menggeleng. “Sudah menyebar. Anak emas itu jadi taruna.”
Lisa terdiam lama. Lama sekali.
Lalu bibirnya melengkung tipis. Senyum yang tak sepenuhnya bahagia.
“Kalau begitu…” gumamnya pelan, “dia memilih jalan yang berat.”
Roy mengangguk. “Dan jalan itu… menjauhkannya dari perusahaan.”
Lisa menatap anaknya. Untuk pertama kalinya malam itu, ada harapan kecil di matanya.
“Selama Papamu yang pegang uang, kuasa, dan aturan,” ujarnya lirih, “kita hanya perlu bertahan.”
Roy membalas tatapannya. Tenang. Sabar. “Dan menunggu,” tambah Roy pelan.
***
Peluit memekik tajam.
“FORMASI REGU. GERAK!”
Raska langsung mengangkat tangan. “Regu Tiga, dengar!”
Ia menilai medan dalam sepersekian detik. Lapangan dipenuhi rintangan buatan. Tumpukan karung pasir, parit dangkal, dan bangunan kayu setinggi dada.
“Kanan lindungi!”
“Kiri cover!”
“Depan tekan maju pelan!”
“Belakang siap backup!”
Regu bergerak sesuai aba-aba. Sepatu menghantam tanah, tubuh merendah, senjata latihan terangkat ke posisi siap. Semuanya nyaris sempurna.
Nyaris.
Dua orang di sisi kanan saling berpandangan. Tanpa aba-aba tambahan, mereka bergerak lebih cepat, menerobos celah antara karung pasir, berusaha menusuk garis depan sendirian.
“BERHENTI!” suara Raska mengeras.
“KANAN, TAHAN POSISI!”
Terlambat.
“Kontak kiri!” teriak seseorang.
Instruktur meniup peluit pendek, tanda simulasi musuh bergerak.
Karena sisi kanan kosong, regu mereka kehilangan pelindung. Formasi pecah.
“Belakang, backup!” Raska mencoba menutup celah.
“Kiri, jangan maju!”
Namun simulasi sudah berjalan.
Instruktur kembali meniup peluit panjang.
“BERHENTI SEMUA!”
Debu berputar di udara. Napas berat terdengar di antara regu yang kini terjebak di posisi terbuka. Secara teori, habis ditembak dari dua arah.
Instruktur turun dari menara, langkahnya cepat dan dingin.
“Siapa yang meninggalkan posisi tanpa perintah?”
Sunyi.
Raska menoleh tajam ke kanan. “Kalian melanggar instruksi.”
Salah satu dari mereka mengangkat bahu. “Kami lihat celah, Komandan. Inisiatif.”
Yang satunya menyeringai. “Kalau nunggu, musuh keburu maju.”
Semua langsung diam saat instruktur makin dekat.
Instruktur berhenti tepat di depan mereka. “Dan karena inisiatifmu,” ucapnya datar, “regumu terkepung.”
Dua orang itu berdiri tegak , menatap ke depan tanpa berani membantah.
Instruktur menoleh ke seluruh anggota. “Di medan tempur, ini namanya bunuh diri kolektif.”
Lalu pandangannya beralih ke Raska.
“Dan kau, sebagai pemimpin regu, gagal menjaga formasi.”
Instruktur sudah berdiri tepat di depan mereka. “Medan nyata,” ulangnya dingin, “tidak mengenal kata inisiatif bodoh.”
Ia menatap dua prajurit itu, lalu beralih ke Raska.
“Kenapa mereka bergerak?”
Raska menelan ludah. “Siap! Karena saya gagal memastikan kepatuhan regu, Pak.”
Instruktur menyipitkan mata. “Jawaban benar.”
Ia menoleh ke seluruh regu. “Catat baik-baik.”
Suara itu meninggi. “Satu orang tidak patuh, semua bisa mati. Satu pemimpin lalai, satu regu habis.”
Sunyi. Napas berat. Keringat menetes ke tanah.
Instruktur mundur selangkah.
“LATIHAN SELESAI.”
Ia menatap Raska terakhir kali.
“HUKUMAN.”
Satu kata.
Cukup.
“POSISI SIAP PUSH UP.”
Tubuh Raska dan regunya jatuh ke tanah.
Tanpa hitungan. Tanpa aba-aba. Hanya waktu… dan rasa sakit.
Tanah basah menyentuh telapak tangannya. Dingin. Licin. Bau lumpur menusuk hidungnya. Otot lengannya sudah bergetar sejak push up pertama.
Lima.
Sepuluh.
Dua puluh.
“JANGAN TURUN KEPALA!”
Suara sepatu menghantam tanah di dekat wajahnya.
Raska mengangkat dagu. Rahangnya mengeras. Giginya terkatup rapat.
Tiga puluh.
Empat puluh.
Lengannya mulai mati rasa. Bahunya seperti ditarik dari soketnya sendiri. Napasnya tak lagi rapi, tersedak, terpotong.
Bayangan ibunya melintas.
Lantai kamar. Tubuh dingin. Pil berserakan. Lengannya hampir runtuh.
“BERHENTI?”
Satu kata itu menggantung.
Raska menggeleng. Kecil. Tapi jelas.
“LANJUT.”
Lima puluh.
Enam puluh.
Keringat jatuh ke tanah. Penglihatannya mulai kabur di tepi. Ada suara muntah dari barisan belakang. Ada yang tumbang. Diseret keluar.
Raska masih di situ. Bukan karena ia paling kuat. Tapi karena ia tidak mengizinkan dirinya berhenti.
Dalam kepalanya, bukan teriakan instruktur yang terdengar. Tapi suara Elvara.
Tenang. Lembut. Kecewa.
"Kalau kau jatuh di sini, Ras… kau jatuh untuk selamanya."
Tujuh puluh.
Lengannya menyerah. Tubuhnya ambruk. Dada menghantam tanah.
Sunyi.
Satu detik.
Dua.
Sepatu instruktur berhenti tepat di samping wajahnya.
“BANGUN!”
Raska menelan ludah. Lidahnya kering. Kepalanya berdenyut.
Ia menekan tanah.
Gagal.
Ia menekan lagi.
Gagal.
Untuk sesaat, dunia berputar. Gelap. Hampir hilang.
Hampir.
Ia menarik napas dalam-dalam. Bukan untuk membuktikan apa pun pada siapa pun.
Tapi karena ada satu hal yang harus ia lakukan sebelum mati:
Berdiri.
Dengan sisa tenaga yang bahkan bukan miliknya lagi, Raska mendorong tubuhnya ke atas.
Berdiri.
Sempoyongan.
Tapi berdiri.
Instruktur menatapnya lama.
“Kau tahu kenapa kau belum saya hentikan?” tanyanya.
Raska tak menjawab. Napasnya terlalu kacau.
“Karena kau belum minta berhenti.”
Instruktur melangkah mundur.
“ISTIRAHAT.”
Kata itu jatuh seperti anugerah yang tidak dirayakan.
Raska berdiri terpaku. Dadanya naik turun. Tangannya gemetar hebat.
Ia menatap tanah di depannya. Dalam diam, ia berkata pada dirinya sendiri. Ini bukan tentang menjadi tentara terbaik. Ini tentang menjadi pria yang tidak kabur.
Tentang suatu hari berdiri di depan seorang ibu… Dan berkata tanpa menunduk:
"Saya mungkin tidak sempurna. Tapi saya layak menjaga putri Ibu."
Raska menegakkan punggungnya. Meski tubuhnya hampir runtuh. Ia masih berdiri.
Dan hari itu… itu sudah cukup.
...🔸🔸🔸...
..."Ada lelaki yang bertahan karena kuat....
...Ada yang bertahan karena takut....
...Dan ada yang bertahan… karena tidak mau lari lagi."...
..."Berdiri bukan soal tenaga....
...Tapi soal alasan."...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??