Keira Anindya memiliki rencana hidup yang sempurna. Lulus kuliah, kerja, lalu menikah dengan pria dewasa yang matang dan berwibawa. Namun rencana itu hancur lebur saat ayahnya memaksanya menikah dengan anak rekan bisnisnya demi menyelamatkan perusahaan.
Masalahnya calon suaminya adalah Arkan Zayden. Pria seumuran yang kelakuannya minus, tengil, hobi tebar pesona, dan mulutnya setajam silet. Arkan adalah musuh bebuyutan Keira sejak SMA.
"Heh Singa Betina! Jangan geer ya. Gue nikahin lo cuma biar kartu kredit gue gak dibekukan Papa!"
"Siapa juga yang mau nikah sama Buaya Darat kayak lo!"
Pernikahan yang diawali dengan 'perang dunia' dan kontrak konyol. Namun bagaimana jika di balik sikap usil dan tengil Arkan, ternyata pria itu menyimpan rahasia manis? Akankah Keira luluh atau justru darah tingginya makin kumat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
Pagi ini rumah mewah pasangan Zayden terasa jauh lebih dingin dari biasanya. Padahal suhu pendingin ruangan sudah diatur di angka dua puluh lima derajat Celcius, angka yang normal untuk ukuran rumah tropis. Namun bagi Arkan Zayden, suhu di rumah ini terasa minus sepuluh derajat. Penyebabnya bukan karena AC yang rusak, melainkan karena sikap istrinya yang berubah menjadi bongkahan es berjalan.
Arkan terbangun di ranjang yang kosong. Sisi kasur di sebelahnya sudah dingin dan rapi. Biasanya Keira masih bergulung dalam selimut atau minimal menyisakan bantal guling sebagai pembatas wilayah. Namun pagi ini tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana.
Kepanikan melanda Arkan seketika. Pikiran buruk langsung menyergap otaknya. Apakah Keira kabur? Apakah Keira tahu soal pertemuan rahasianya dengan Clara kemarin dan memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya?
Arkan melompat dari kasur tanpa mencuci muka. Dia berlari menuruni tangga dengan jantung berdegup kencang seperti sedang dikejar penagih utang.
"Keira! Ra! Lo di mana?" teriak Arkan panik.
Langkah Arkan terhenti di ambang pintu dapur. Pemandangan di depannya membuatnya mengerem mendadak. Keira sedang duduk santai di kursi bar dapur. Dia mengenakan piyama sutra berwarna merah marun, rambutnya dicepol rapi, dan tangannya memegang cangkir teh dengan anggun. Wajahnya tenang, terlalu tenang malah.
"Kenapa teriak-teriak pagi buta begini, Arkan? Lo pikir ini hutan Tarzan?" tanya Keira tanpa menoleh. Dia meniup uap panas dari cangkirnya.
Arkan menghembuskan napas lega yang panjang. Syukurlah. Istrinya masih ada. Istrinya belum kabur.
"Kirain lo minggat. Gue bangun lo enggak ada di kamar. Bikin jantungan aja," Arkan berjalan mendekat lalu duduk di kursi sebelah Keira. Dia mencoba meraih tangan Keira, tetapi gadis itu dengan halus memindahkan cangkir tehnya sehingga tangan Arkan hanya menyentuh meja marmer yang dingin.
"Minggat? Kenapa gue harus minggat? Ini rumah gue juga. Lagian kalau gue minggat, nanti siapa yang ngurusin bayi gede kayak lo," jawab Keira datar. Nada bicaranya santai, tetapi sorot matanya tajam menusuk.
Arkan menelan ludah. Dia merasakan aura permusuhan yang kental. Keira sedang melancarkan aksi Perang Dingin. Ini jauh lebih menakutkan daripada Keira yang marah meledak-ledak. Kalau Keira marah sambil lempar bantal, Arkan masih bisa menangkis. Tapi kalau Keira diam dan sinis begini, Arkan mati kutu.
"Lo... lo marah sama gue soal kemarin?" tanya Arkan hati-hati.
Keira menoleh perlahan. Dia tersenyum. Senyum manis yang tidak mencapai mata.
"Marah? Enggak kok. Gue cuma kecewa dikit. Dikit banget. Seujung kuku semut," sindir Keira.
Arkan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia harus melakukan sesuatu untuk mencairkan suasana. Dia harus mengambil hati Keira kembali. Ide brilian muncul di kepalanya. Memasak. Kata orang, cara terbaik meluluhkan hati wanita adalah lewat perutnya.
"Gue masakin sarapan ya hari ini. Lo duduk manis aja di situ. Biar Chef Arkan beraksi," kata Arkan penuh percaya diri. Dia berdiri dan menggulung lengan piyamanya.
Keira menaikkan satu alisnya. "Yakin? Terakhir kali lo masuk dapur, lo hampir minum sabun cuci piring karena lo kira itu sirup melon."
"Itu kan dulu. Sekarang gue udah belajar dari YouTube. Gue mau bikin American Breakfast. Telur mata sapi, sosis panggang, sama roti bakar. Gampang banget itu mah. Level anak TK juga bisa," sombong Arkan.
Keira mengangkat bahu acuh tak acuh. "Silakan. Asal jangan bakar dapur gue aja."
Arkan mulai beraksi. Dia mengeluarkan teflon, spatula, telur, sosis, dan mentega. Gayanya sudah meyakinkan seperti peserta MasterChef. Dia menyalakan kompor dengan api paling besar agar cepat matang. Logika Arkan sederhana, makin besar api, makin cepat matang, makin cepat makan.
Dia melempar sosis beku langsung ke atas teflon panas tanpa minyak. Suara mendesis nyaring terdengar. Cesss. Lalu dia memecahkan telur dengan gaya satu tangan. Kulit telurnya ikut masuk ke dalam teflon, tetapi Arkan masa bodoh.
"Liat nih, Ra. Teknik memecahkan telur gaya internasional," pamer Arkan.
Keira hanya diam menonton sambil menyesap tehnya. Dia melihat api kompor yang terlalu besar itu menjilat-jilat pinggiran teflon. Asap mulai mengepul.
"Arkan, apinya kegedean," tegur Keira datar.
"Tenang. Ini teknik searing. Biar luarnya garing dalamnya juicy," jawab Arkan sok tahu.
Semenit kemudian, asap hitam pekat mulai memenuhi dapur. Aroma gosong yang menyengat menusuk hidung. Sosis yang tadi beku sekarang sudah berubah warna menjadi hitam legam seperti arang. Telur mata sapinya bergejolak mengeluarkan buih aneh dan pinggirannya hangus.
"Uhuk! Uhuk!" Arkan terbatuk-batuk terkena asap. Matanya perih. "Kok asepnya banyak banget sih? Ini kompornya rusak apa gimana?"
Keira turun dari kursinya dengan tenang. Dia berjalan melewati Arkan yang panik, lalu mematikan kompor.
"Bukan kompornya yang rusak. Otak lo yang perlu di-servis," kata Keira.
Dia menyalakan cooker hood penyedot asap dan membuka jendela dapur lebar-lebar. Asap perlahan keluar. Arkan berdiri mematung memegang spatula dengan wajah cemong terkena jelaga entah dari mana.
Keira menatap nanar ke arah teflon mahal kesayangannya. Di sana tergeletak dua benda hitam tak berbentuk yang Arkan sebut sebagai sosis dan telur.
"Ini apa, Arkan? Fosil dinosaurus?" tanya Keira sambil menunjuk hasil karya suaminya.
Arkan nyengir kuda. "Ini Black Pepper Sausage, Ra. Varian baru. Rasanya eksotis ada pahit-pahit kehidupan dikit."
"Lo makan sendiri tuh pahit kehidupan. Minggir. Biar gue yang masak sebelum rumah ini jadi abu," usir Keira.
Dia mendorong tubuh besar Arkan menjauh. Dengan cekatan, Keira membersihkan kekacauan itu. Dia mencuci teflon, mengambil bahan baru, dan mulai memasak dengan benar. Gerakannya luwes dan terampil. Arkan menonton dari pojokan seperti anak magang yang sedang dimarahi bos.
Dalam waktu sepuluh menit, dua piring nasi goreng sosis sederhana sudah tersaji di meja. Aromanya harum dan warnanya cantik.
Arkan duduk dengan wajah memelas. "Maaf ya, Ra. Niat gue baik kok. Gue cuma mau nyenengin lo."
Keira meletakkan piring di depan Arkan dengan sedikit hentakan.
"Kalau mau nyenengin gue, bukan dengan cara bakar dapur, Arkan. Tapi dengan cara jujur. Dapur ini bukan laboratorium kimia tempat lo eksperimen," sindir Keira tajam.
Arkan terdiam. Kata 'jujur' itu kembali menamparnya.
Mereka makan dalam diam. Hanya suara sendok beradu dengan piring. Arkan merasa nasi goreng buatan Keira ini enak sekali, tetapi sulit ditelan karena rasa bersalah yang mengganjal di tenggorokan.
"Nanti malam gue lembur. Jangan tungguin gue," kata Arkan tiba-tiba di sela makan.
"Tumben. Biasanya lo paling anti lembur. Mau ketemu klien muda lagi?" tanya Keira tanpa menatap Arkan.
Arkan tersedak nasinya. Dia buru-buru minum air putih.
"Enggak. Ini beneran kerjaan kantor. Akhir tahun banyak laporan yang harus diperiksa," jawab Arkan cepat.
Sebenarnya Arkan berencana menemui pengacara pribadinya nanti malam. Dia ingin berkonsultasi tentang ancaman Clara dan bagaimana cara melindungi aset serta nama baiknya jika Clara benar-benar menyebar fitnah. Dia tidak mau Keira tahu dia menyewa pengacara, karena itu pasti akan menimbulkan pertanyaan baru.
"Oh. Ya sudah. Baguslah kalau sibuk kerja. Asal jangan sibuk bikin anak orang nangis aja," gumam Keira pelan, namun cukup jelas di telinga Arkan.
Arkan menatap Keira lekat. Istrinya ini sepertinya tahu lebih banyak dari yang dia duga. Tapi seberapa banyak? Apakah Keira tahu soal Clara? Atau Keira hanya menebak-nebak?
Siang harinya di kantor Zayden Group, Arkan duduk di kursi kebesarannya dengan wajah kusut. Di hadapannya berdiri Bimo, asisten pribadinya yang setia namun seringkali kurang ajar.
"Bos, muka Bos kayak baju belum disetrika. Kusut banget. Ada masalah apa lagi? Bu Bos ngamuk lagi?" tanya Bimo sambil meletakkan tumpukan berkas.
Arkan memijat pelipisnya. "Lebih parah dari ngamuk, Bim. Dia mendiamkan gue. Dia masakin gue, nyiapin baju gue, tapi ngomongnya irit banget dan nusuk. Gue lebih milih dia teriak-teriak lempar piring daripada didiemin gini."
"Wah, itu namanya Silent Treatment, Bos. Bahaya itu. Tanda-tanda kiamat rumah tangga sudah dekat," kompor Bimo.
Arkan melempar pulpen ke arah Bimo. "Jangan nakut-nakutin lo! Terus gue harus gimana? Gue udah coba masak buat dia tapi malah dapur hampir kebakaran."
Bimo memungut pulpen itu sambil geleng-geleng kepala. "Ya ampun Bos. Bos kan kaya. Jangan masak. Belikan berlian. Tas bermerek. Atau kalau mau yang lebih menyentuh, belikan martabak manis keju cokelat spesial wisman. Cewek itu kalau dikasih yang manis-manis biasanya luluh."
"Martabak?" Arkan berpikir sejenak. "Simpel banget ide lo. Tapi boleh juga dicoba. Keira emang suka ngemil sih."
"Dan satu lagi Bos," Bimo memasang wajah serius. "Kalau ada rahasia, mending diungkap sekarang. Bangkai tikus mau disimpen di brankas baja juga baunya bakal kecium."
Arkan tertegun. Ucapan Bimo kali ini terdengar bijak.
"Gue belum siap, Bim. Gue takut dia pergi," lirih Arkan.
"Bos, dia pasti lebih marah kalau tahu dari orang lain. Apalagi kalau orang lainnya itu si Nenek Lampir Clara," saran Bimo.
Arkan menghela napas panjang. Dia tahu Bimo benar. Tapi keberaniannya menciut setiap kali membayangkan tatapan kecewa Keira.
Malam harinya pukul sepuluh malam. Arkan pulang membawa sekotak martabak manis premium sesuai saran Bimo. Rumah sudah sepi. Lampu ruang tengah masih menyala redup.
Arkan melihat Keira tertidur di sofa dengan TV yang masih menyala menayangkan film kartun. Keira meringkuk memeluk bantal sofa, terlihat sangat polos dan damai.
Hati Arkan menghangat melihat pemandangan itu. Dia meletakkan martabak di meja, lalu berjongkok di depan sofa. Dia menatap wajah istrinya lekat-lekat.
"Maafin gue, Ra," bisik Arkan pelan. Tangannya terulur merapikan anak rambut yang menutupi wajah Keira.
Keira bergerak sedikit, lalu membuka matanya perlahan. Dia mengerjap-ngerjap melihat wajah Arkan yang begitu dekat.
"Lo udah pulang?" suara Keira serak khas bangun tidur.
"Udah. Kenapa tidur di sini? Kan gue bilang jangan tungguin," kata Arkan lembut.
Keira bangun dan duduk sambil mengucek mata. "Gue enggak nungguin lo. Gue nungguin film kartunnya tamat, terus ketiduran."
Arkan tersenyum, tahu kalau itu cuma alasan gengsi Keira. "Nih, gue beliin martabak keju cokelat. Masih anget. Mau?"
Mata Keira langsung berbinar melihat kotak martabak itu. Pertahanan dinginnya runtuh seketika oleh godaan aroma mentega wisman.
"Boleh deh. Sedikit aja," kata Keira malu-malu.
Arkan membuka kotaknya. Mereka makan berdua di karpet ruang tengah. Suasana jauh lebih cair daripada tadi pagi. Martabak manis memang ajaib.
"Enak?" tanya Arkan sambil memperhatikan Keira makan dengan pipi menggembung.
Keira mengangguk semangat. Ada sisa cokelat di sudut bibirnya.
Tanpa sadar, Arkan mengulurkan jempolnya dan mengusap sisa cokelat itu dari sudut bibir Keira. Gerakan yang sangat intim dan natural.
Keira mematung. Dia berhenti mengunyah. Matanya bertemu dengan mata Arkan. Jarak mereka sangat dekat. Keira bisa melihat ketulusan di mata cokelat itu.
"Ra," panggil Arkan pelan. Suaranya rendah dan dalam.
"Ya?"
"Ada yang mau gue omongin. Ini soal ... masa lalu gue," kata Arkan. Jantungnya berdegup kencang. Dia memutuskan untuk mencoba jujur sedikit demi sedikit.
Keira meletakkan potongan martabaknya. Dia menatap Arkan serius. "Soal apa? Soal Clara?"
Nama itu meluncur mulus dari bibir Keira, membuat Arkan kaget setengah mati.
"Lo ... lo tahu dari mana nama itu?" tanya Arkan gagap.
Keira tersenyum tipis. Senyum yang sulit diartikan.
"Gue istri lo, Arkan. Gue tahu lebih banyak dari yang lo kira. Gue cuma nunggu kapan lo punya nyali buat cerita sendiri," jawab Keira tenang.
Arkan merasa skakmat. Keira sudah tahu. Tapi seberapa banyak?
"Gue ... gue sama dia udah enggak ada hubungan apa-apa, Ra. Sumpah. Dia cuma masa lalu yang terobsesi. Gue cuma cinta sama lo. Sekarang dan nanti," ucap Arkan panik, takut Keira salah paham.
Keira menatap mata Arkan dalam-dalam, mencari kebohongan di sana. Tapi yang dia temukan hanya ketakutan dan harapan.
"Gue pegang omongan lo, Arkan. Kalau lo cuma cinta sama gue, buktikan. Jangan cuma ngomong. Dan selesaikan urusan lo sama dia secepatnya. Sebelum kesabaran gue abis," kata Keira tegas.
Dia mengambil satu potong martabak lagi lalu berdiri.
"Gue mau tidur di kamar. Lo kunci pintu dan matiin lampu. Jangan lupa gosok gigi," perintah Keira lalu berjalan naik ke tangga meninggalkan Arkan yang masih terpaku di karpet.
Arkan menghembuskan napas panjang. Dia selamat untuk malam ini. Keira memberinya kesempatan. Dan Arkan berjanji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia akan membereskan Clara, apa pun caranya. Bahkan jika dia harus bermain kotor sekalipun.
"Tunggu pembalasan gue, Clara," gumam Arkan sambil mengepalkan tangan, lalu memakan sisa martabak dengan ganas seolah sedang mengunyah kepala musuhnya.