Lanjutan Beginning And End Season 2.
Setelah mengalahkan Tenka Mutan, Catalina Rombert berdiri sendirian di reruntuhan Tokyo—saksi terakhir dunia yang hancur, penuh kesedihan dan kelelahan. Saat dia terbenam dalam keputusasaan, bayangan anak kecil yang mirip dirinya muncul dan memberinya kesempatan: kembali ke masa lalu.
Tanpa sadar, Catalina terlempar ke masa dia berusia lima tahun—semua memori masa depan hilang, tapi dia tahu dia ada untuk menyelamatkan keluarga dan umat manusia. Setiap malam, mimpi membawakan potongan-potongan memori dan petunjuk misinya. Tanpa gambaran penuh, dia harus menyusun potongan-potongan itu untuk mencegah tragedi dan membangun dunia yang diimpikan.
Apakah potongan-potongan memori dari mimpi cukup untuk membuat Catalina mengubah takdir yang sudah ditentukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 : Mata Kutukan.
Api pink di punggung Catalina padam perlahan-lahan, seolah nyala lilin yang ditiup angin—shiiiing… shiiiing…—sayapnya menghilang menjadi serpihan cahaya yang melayang lembut di udara sebelum lenyap tanpa jejak. Scythe raksasanya juga menyusut perlahan, berubah menjadi partikel pink yang terbang seperti bunga terbang—pfrrtt… pfrrtt…—hanya meninggalkan aroma api hangat di udara. Gaun Prime CIP-nya luruh perlahan, seolah kain yang terbang terbuka, kembali menjadi gaun pesta putih-pink yang sederhana seperti sebelumnya—hanya sedikit kusut di bagian bawah karena menyentuh tanah.
Catalina turun dengan lembut, kedua kakinya menyentuh rumput basah yang masih basah akibat embun malam—thap…—suaranya lembut sehingga tidak mengganggu Kurumi. Tubuhnya sempat goyah, dada nya naik turun berat karena lelah—“huuff… huuff…—tapi ia memaksakan diri untuk berlutut di samping Kurumi, tangannya meraih ke arah gadis kecil itu dengan hati-hati.
“Kurumi… hei… lihat aku. Kau nggak apa-apa?” suaranya lembut tapi bergetar, matanya penuh kekhawatiran dan lembut. Ia mengangkat jari telunjuknya sedikit, seolah takut menyentuh Kurumi yang masih gemetar.
Kurumi memeluk dirinya sendiri dengan kuat, tangan mungilnya menutup rapat mata kirinya yang nyeri—“gigit… gigit…—dia menggigit bibirnya sampai berdarah agar tidak menangis terlalu keras. Tubuhnya gemetar hebat, seolah sedang dingin padahal malam ini tidak terlalu sejuk. “Siapa… kamu?” napasnya tersengal, suara yang lembut penuh ketakutan. “A-aku mohon… jangan sakiti aku…”
Catalina menggeleng cepat, wajahnya panik dan lembut bercampur jadi satu. Ia mendekat sedikit, tangannya masih tergantung di udara. “Tidak! Tidak, Kurumi… Aku Catalina. Anak dari Andras dan Leon. Aku tidak akan menyakitimu. Aku di sini untuk menolongmu.” katanya dengan suara yang penuh keyakinan, meskipun hatinya masih berdebar kencang.
Kurumi mengerang lembut, memelototkan mata kanan yang masih normal untuk melihat Catalina. “Catalina… mataku… mata kiriku… SAKIT…” suaranya penuh rasa sakit, air mata mulai menetes dari mata kanannya.
Catalina terkejut, tubuhnya sedikit melompat ke depan. Ia meraih wajah Kurumi dengan kedua tangan yang lembut, jari-jari nya menyentuh pipi Kurumi yang pucat. “Kurumi, coba aku lihat. Pelan… ya?” katanya dengan suara yang perlahan, memberikan kesempatan kepada Kurumi untuk menolak.
Kurumi ragu, tubuhnya masih gemetar, tapi perlahan-lahan ia menurunkan tangannya yang menutupi mata kirinya—gerakan nya lambat seperti takut akan apa yang akan dilihat.
KUTUKAN TENKA — MATA BARU KURUMI
Begitu tangan Kurumi turun sepenuhnya…
Catalina menahan napas, matanya membesar penuh kejutan.
Mata kiri Kurumi kini berubah total—bukan mata manusia lagi.
Sebuah diamond hijau yang kecil dan sempurna, bersinar lembut di dalam kelopak mata—namun dari dalamnya memancarkan aura gelap kehijauan yang menakutkan. Aura itu berdenyut dengan irama yang lambat tapi pasti—doom… doom… doom…—seperti jantung terkutuk yang baru bangun dari tidur panjang, memancarkan rasa bahaya yang tersembunyi.
Catalina tercengang, mulutnya terbuka tapi tidak bisa mengeluarkan suara. “Kutukan Tenka… Udah masuk. Dan dia masih hidup… Syukurlah.” dalam hati ia lega, sekaligus takut—lega karena Kurumi belum tewas, takut karena kutukan itu sudah menjadi bagian dari tubuhnya.
Kurumi mulai menangis, suaranya kecil dan menyedihkan. “Catalina… mataku jadi aneh…” katanya sambil melihat cermin cahaya bulan yang memantulkan mata barunya, wajahnya penuh kekhawatiran.
Catalina memeluknya singkat untuk menenangkan—pelukannya lembut sehingga tidak menyakitkan Kurumi. “Tidak apa-apa. Kamu aman. Aku janji.” katanya dengan suara yang penuh kasih, mengelus punggung Kurumi yang gemetar.
Tiba-tiba—“WHUMMM!!!”
Sebuah getaran kuat melintasi tanah, membuat rumput dan daun bergetar. Udara menjadi dingin seketika, seolah ada lubang hitam yang terbuka.
PORTAL KUTUKAN MUNCUL
Sebuah portal hijau gelap kehitaman terbuka di samping Kurumi, muncul dengan cepat seperti gelembung yang pecah—“pop…—lingkaran portal itu berwarna hijau tua yang mematikan, dengan garis-garis hitam yang berputar di tengahnya. Angin dingin menyedot daun-daun dan rumput ke dalamnya—“swoosh… swoosh…—membuat rambut Catalina terangkat sedikit ke atas.
“GROOOOO—OOHH…”
Suara gemuruh dari dalam portal terdengar, seperti suara monster yang tidur di dalam gua. Dari portal itu, sebuah pistol silver unik terlempar keluar dengan kecepatan—“thump…—mendarat di rumput di depan Catalina. Pistol itu penuh dengan ukiran bunga yang rumit, gagang melengkung yang nyaman di genggaman, dan bercahaya aura kehijauan seperti racun hidup yang menyala.
Catalina memicingkan mata, memeriksa pistol itu dengan cermat. “Pasti… ini senjata dari kutukan itu. Dan itu berarti… ini milik Kurumi.” ia gumam dalam hati, menyadari bahwa senjata ini muncul karena kutukan yang ada di tubuh Kurumi.
Kurumi mundur ketakutan, tubuhnya menempel ke tanah. “E-eh… a-apa itu? Jangan dekat dekat…!” serunya dengan suara yang gemetar, takut senjata itu akan menyakitinya.
Catalina mengambil pistol itu perlahan dengan satu tangan—senjata itu terasa dingin seperti es, tapi tidak memusuhi Catalina. Ia mengangkatnya, melihat ukiran-ukiran yang indah di tubuh pistol. “Kurumi… Dengarkan aku. Kamu mungkin belum mengerti semuanya… Tapi senjata ini milikmu. Terimalah.” katanya dengan suara yang tegas tapi lembut, menyodorkan pistol itu ke arah Kurumi.
Kurumi ragu, matanya membelalak melihat pistol yang menyala aura hijau. “Ta-tapi… menyeramkan…” katanya dengan suara yang kecil.
Catalina tersenyum lembut, matanya penuh keyakinan. “Ambil. Aku janji tidak apa-apa.”
Kurumi mengulurkan kedua tangan mungilnya dengan hati-hati, jari-jari nya gemetar. Begitu ia menyentuh pistol—
“ZRUUUP!”
Pistol itu terserap masuk ke kulitnya dengan cepat, hilang tanpa jejak—hanya meninggalkan bekas cahaya hijau yang sebentar menyala di telapak tangannya. Kurumi kaget, memandang tangan nya yang kosong. “Eh?! Kok hilang?!” serunya dengan suara yang terkejut.
Catalina menepuk bahunya dengan lembut—“thump…—senyumnya semakin lebar. “Itu berarti dia sudah memilih kamu sebagai tuannya. Dia akan muncul lagi ketika kamu butuhnya.”
MEREKA AKAN KETAUAN
Catalina tiba-tiba mendongak, matanya menyipit. Ia merasakan sesuatu—aura besar, banyak sekali, dan kuat—bergerak cepat ke arah halaman belakang. “Kurumi… gawat. Mereka datang!” katanya dengan suara yang tertahan, menarik tangan Kurumi untuk bersembunyi.
“Siapa?!” Kurumi terkejut, suara nya kecil.
“Semua orang!!” Catalina menarik tangan Kurumi dan berlari cepat—tap tap tap tap!—langkah mereka kecil tapi cepat, membawa gadis kecil itu ke balik rerumputan tinggi di dekat sisi rumah yang tebal.
Mereka menunduk di balik rerumputan, tubuhnya saling bersandar. Kurumi terengah-engah karena berlari cepat—“huuff… huuff…—Catalina mengintip dari sela-sela rumput yang tinggi, matanya penuh waspada.
SEMUA PAHLAWAN BESAR TIBA
Gerbang belakang rumah terbuka dengan suara keras—“DUAAK!—angin malam membawa aura berat dan penuh waspada masuk ke halaman. Kei melangkah keluar pertama—mata nya tajam bak elang perang, tubuhnya tegak dan penuh kekuatan. Reina di sampingnya, wajah cantiknya menegang dan penuh waspada, tangan nya siap untuk mengeluarkan kekuatan.
Berikutnya adalah Kenzi, Hanna, Leon, Andras, Chins, Hiro, Lynn, Mike, Alisiya, Guri, Emi, Earl, Ryu, Zerav, Yumi, Max, Zen, Yuuka—semua berdiri dalam barisan yang rapi, aura mereka kuat dan padat seperti tembok yang tak bisa ditembus.
Dan di belakang mereka, anak-anak: Yoru, Matsu, Remi, Haken, Kasemi, Mayuri, Rintaro, Dheon, Shinn, Asuna—semua terlihat penasaran tapi takut, mengikut langkah orang dewasa. Rui berdiri paling depan dari barisan anak-anak, katana panjangnya sudah keluar dari sarung—sebuah naga air kecil terbang mengelilingi bilah katana, mengeluarkan suara “shraaa… shrrraaa…” yang lembut tapi menakutkan.
Aura seluruh halaman begitu padat, rumput bahkan bergetar—“getar… getar…—seolah merasakan kekuatan yang ada di sekitar. Kei memeriksa area yang hancur dengan mata yang tajam, melihat pohon yang tumbang dan tanah yang terbelah. “Ini… ada serangan.” suaranya rendah dan berat, penuh kekhawatiran.
Reina meraba bekas tebasan di tanah dengan jari-jari nya, matanya menyipit. “Tapi siapa yang mengatasinya? Kita semua ada di dalam ruangan barusan. Tidak ada yang keluar.” katanya dengan suara yang penuh keheranan.
Chins memejamkan mata, mengaktifkan Yin-Yang CIP-nya—“wuuuum… wuuuum…—aura putih dan hitam menyelimuti tubuhnya, membuatnya bisa merasakan energi yang tersisa. “Aku merasakan dua energi besar…” katanya dengan suara yang tenang. “Yang pertama: aura mutan tingkat tinggi. Setara Khaou. Tapi dia menghilang beberapa menit lalu.”
Semua orang menegang, tangan mereka siap untuk bertarung. Chins melanjutkan, mata nya masih tertutup. “Yang kedua… Prime CIP. Tapi belum stabil. Api iblis merah muda… tapi beda dari api pink Reina.”
Reina mengernyit, matanya penuh keheranan. “Siapa? Kekuatan besar seperti ini tidak ada selain kita yang ada di Tokyo lalu Pengguna api pink cuma aku.”
Andras menatap bekas luka tanah yang masih menyala cahaya pink sedikit, wajahnya penuh pemikiran. Leon memicingkan mata, melihat ke segala arah seolah mencari jejak.
Kurumi menelan ludah dari balik rumput, tubuhnya gemetar. Catalina menutup mulutnya dengan tangan kecilnya, sambil berkata dalam hati: “Aduh… ketahuan dikit lagi… aku harus cepat berpikir!”
CATALINA MUNCUL — MENGALIHKAN PERHATIAN
Catalina menepuk-ntepuk rumput yang menutupi tubuhnya, lalu muncul di belakang mereka sambil mengangkat tangan—“tap…—langkahnya lembut sehingga tidak mengherankan orang dewasa. “Kalian semua! Ada apa?” serunya dengan suara yang ceria, meskipun hatinya masih berdebar kencang.
Andras dan Leon langsung memutar badan, matanya penuh kekhawatiran. “Catalina!” Andras mendekat dengan langkah cepat, tangan nya meraih kepala Catalina untuk mengelusnya. “Kamu ke mana saja, nak? Kita khawatir!”
Catalina tersenyum canggung, pipinya sedikit memerah. “Eee… aku bantu Kurumi cari toilet. Dia lupa jalan, jadi aku ajak dia. Ada apa memangnya, Mama?” katanya dengan suara yang ceria, mencoba mengalihkan perhatian mereka dari area yang hancur.
Semua dewasa otomatis diam, mereka saling melihat satu sama lain. Mereka tidak mau bikin panik anak-anak, jadi mereka memutuskan untuk tidak bicara lebih lanjut di depan mereka.
Sementara itu, Kurumi berjalan cepat ke arah Chins dan Hiro, tubuhnya masih gemetar tapi ia berusaha kuat. “Papa, Mama! Ayok makan kue lagi!” serunya dengan suara yang lembut, memeluk kaki Chins dan Hiro.
Hiro mengelus kepala Kurumi dengan lembut, tersenyum. “Baiklah, sayang. Kita makan kue yang enak ya.” Chins menatap mata kiri Kurumi sekilas—pupil hijau diamond itu tampak berdenyut lembut di bawah cahaya bulan. Chins menegang, tubuhnya sedikit kaku—dia tahu sesuatu berubah, bahwa Kurumi sudah tidak sama lagi.
KEMBALI KE DALAM
Kei berkata dengan suara yang tegas, “Baik. Semuanya. Masuk ke dalam. Ancaman sudah pergi.” Anak-anak segera masuk dengan antusias, Rui memasukkan katana ke sarungnya dengan suara “klik” yang tajam. Orang dewasa menyusul, mereka masih saling melihat satu sama lain dengan wajah yang penuh pemikiran.
Hanya Catalina dan Kurumi yang saling menatap diam-diam di belakang barisan orang dewasa. Kurumi mengangkat mata, melihat Catalina dengan mata kanan yang normal dan mata kiri yang terkutuk. Catalina menyenyum lembut, mengangkat jari telunjuknya untuk menandai bahwa mereka harus diam.
Keduanya tahu:
Pertempuran baru saja dimulai. Dan ini hanya awal dari apa yang akan datang.