Di Shannonbridge, satu-satunya hal yang tidak bisa direncanakan adalah jatuh cinta.
Elara O'Connell membangun hidupnya dengan ketelitian seorang perencana kota. Baginya, perasaan hanyalah sebuah variabel yang harus selalu berada di bawah kendali. Namun, Shannonbridge bukan sekadar desa yang indah; desa ini adalah ujian bagi tembok pertahanan yang ia bangun.
Di balik uap kopi dan aroma kayu bakar, ada Fionn Gallagher. Pria itu adalah lawan dari semua logika Elara. Fionn menawarkan kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan kesuksesan di London. Kini, di tengah putihnya salju Irlandia, Elara terperangkap di antara dua pilihan.
Apakah ia akan mengejar masa depan gemilang yang sudah direncanakan, atau berani berhenti berlari demi pria yang mengajarkannya bahwa kekacauan terkadang adalah tempat ia menemukan rumah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chrisytells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 11 : Panggilan dari Dublin dan Jarak Emosional
Pagi itu, di pondok Fionn, suasana terasa sangat berbeda dari hari-hari sebelumnya. Malam kuis pub telah berakhir dengan ciuman yang mengesankan, dan Elara—yang masih mengenakan sweter rusa kutub Fionn yang berkedip-kedip—terbangun di sofa Fionn, merasakan kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Fionn sedang membuat sarapan: pancake yang sangat tidak teratur bentuknya.
“Selamat pagi, Nona Perencana Kota,” sapa Fionn, menyerahkan piring pancake yang gosong di satu sisi. “Ini adalah Pancake Improvisasi Pagi Pertama. Tidak efisien, tapi penuh cinta.”
Elara tersenyum, senyum yang tulus. “Terima kasih, Fionn. Aku harus mencatat di Gantt Chart bahwa ‘Ciuman Fionn’ memiliki Integritas kepuasan yang sangat tinggi.”
Saat mereka tertawa, tawa itu terpotong oleh suara yang memecah keheningan perdesaan. Dering telepon Elara.
Elara melihat layar tablet-nya. Wajahnya langsung tegang.
“Fionn, ini... ini Kepala Divisi Perusahaan. Dari Dublin. Ini pasti hal penting.”
Elara segera bangkit dan mengangkat panggilan itu, nadanya langsung berubah dari lembut menjadi profesional dan dingin.
“Selamat pagi, Tuan Doherty. Ya, saya Elara. Ada perkembangan?”
Fionn memperhatikan Elara. Elara yang tadi hangat dan santai, kini telah digantikan oleh Elara O’Connell, City Planner ulung. Bahasa tubuhnya tegak, fokusnya tajam, dan matanya memancarkan kecerdasan yang serius.
“...Ya, saya telah menyelesaikan analisis dampak penuh untuk zona K2. Saya bisa segera mengirimkan draf rekomendasi untuk Proyek Danube.”
“...Tentu, saya akan terbang kembali ke Dublin untuk rapat strategi akhir, segera setelah laporanku di Shannonbridge selesai.”
“...Tidak, saya tidak terganggu. Proyek Danube adalah prioritas. Anda benar, ini adalah proyek terpenting dalam karier saya.”
Fionn mendengarkan percakapan itu, senyumnya memudar. Kata-kata seperti 'Proyek Danube', 'rapat strategi akhir', dan 'prioritas' bergema di pondok kecilnya. Elara berbicara tentang hal-hal yang besar, global, dan serius.
Ketika Elara mengakhiri panggilan, dia kembali menatap Fionn, matanya masih berkilauan oleh ambisi.
“Fionn, itu dia. Proyek Danube. Ini adalah proyek paling prestisius di Dublin. Mereka memanggilku kembali. Itu artinya laporanku di sini harus segera diselesaikan dengan sempurna. Aku harus segera kembali.”
Fionn tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa minder yang tiba-tiba menyerang.
“Tentu saja, Elara. Proyek Danube. Itu terdengar… sangat penting. Lebih penting dari Pancake Improvisasi.”
“Ini karierku, Fionn. Ini adalah Kehidupan yang selama ini kujalani,” kata Elara, meraih jaketnya, aura profesionalnya kini mendominasi sweter rusa kutub yang konyol itu.
...****************...
Menjelang siang, Mereka pindah ke The Crooked Spoon untuk melanjutkan Gantt Chart mereka, tetapi fokus Fionn telah hilang. Dia terus membandingkan skala Pancake Improvisasi miliknya dengan skala Proyek Danube milik Elara.
Saat mereka membahas penataan inventaris, pintu kedai terbuka. Cillian masuk, kali ini berpakaian lebih rapi, tetapi tatapannya masih sinis dan percaya diri.
Cillian langsung berjalan menuju meja mereka, mengabaikan Fionn.
“Ah, Elara! Aku tahu kau akan membutuhkan sedikit istirahat dari angka-angka. Aku dengar kau menghancurkan Malam Kuis. MIP dan Melanosit? Itu... sangat seksi.” Cillian tersenyum licik, mencondongkan tubuh ke Elara. “Aku tahu, mungkin kau tidak bertahan lama di desa kecil ini dan akan segera kembali ke tempat asalmu. Tapi kau tahu, Elara... sebelum itu terjadi, wanita yang sangat cerdas sepertimu tidak boleh pergi tanpa pengalaman perpisahan yang pantas.”
Elara segera mengangkat tangannya, wajahnya menunjukkan ketidaknyamanan dengan kehadiran pria itu. “Cillian, kami sedang dalam jam kerja yang efisien. Kami sedang membahas Rasio Perputaran Persediaan. Setiap interupsi adalah kerugian yang tidak terukur.”
“Ratio perputaran persediaan? Kedengarannya sangat membosankan, nona. Aku bisa menawarkanmu tingkat kegembiraan yang tidak terukur,” Cillian tertawa, menatap Elara dengan tatapan merendahkan. “Kau wanita ambisius. Kau akan kembali ke Dublin, ke proyek besar. Fionn hanya akan melayani teh dan berharap Biscotti tidak mencuri leash lagi. Tinggalkan dia. Malam ini, aku akan menunjukkan padamu sisi liar yang dibutuhkan seorang Perencana Kota sebelum kau kembali ke kehidupan teraturmu.”
Fionn, yang sudah dipenuhi rasa minder, kini merasa marah. Cillian kini menyerang Elara dan meremehkan Fionn secara bersamaan.
“Cillian, Nona O’Connell sudah menjelaskan padamu. Dia bekerja, dan kami tidak membutuhkan ‘tingkat kegembiraan’ yang kau tawarkan,” kata Fionn, mencoba mempertahankan ketenangannya.
Cillian justru menyeringai. “Fionn, tenang saja. Aku tahu bagaimana cara menyenangkan wanita kota. Kami butuh tantangan. Fionn terlalu aman. Aku adalah faktor risiko yang dia butuhkan sebelum dia kembali ke Dublin, jauh dari pancake gosongmu.”
Cillian kembali maju, mengabaikan ucapan Fionn. Elara bisa mencium aroma cologne mahal Cillian yang terlalu kuat. Elara merasa terpojok, tetapi tekadnya lebih kuat. Dia tidak akan membiarkan pria ini merusak ketenangannya lagi.
Kali ini, Elara menatap Cillian lurus di mata, nadanya dingin dan mematikan.
“Cillian,” kata Elara, suaranya sangat tajam. “Aku akan memberimu analisis data yang sangat efisien. Aku tidak tertarik padamu. Aku tidak menyukai godaanmu yang agresif. Aku menghargai kehangatan yang konsisten dan dapat diandalkan, bukan faktor risiko yang hanya mementingkan ego. Aku telah meminta Anda pergi dua kali. Ini adalah Pelanggaran Protokol Sosial yang ketiga. Sekarang, silakan keluar dari kedai ini.”
Kejelasan dan ketegasan Elara seharusnya membuat Cillian mundur. Tetapi Elara salah. Cillian, yang tidak pernah ditolak, justru semakin marah dan tertantang.
Cillian maju selangkah, senyumnya menghilang. “Kau menyembunyikan api di balik spreadsheet-mu, Elara. Kau hanya takut untuk mengakuinya. Aku bisa menunjukkan padamu api itu,” bisik Cillian, amarahnya terlihat jelas.
“Aku sudah selesai denganmu, Cillian. Pergi sekarang,” kata Elara, mencoba berdiri.
Cillian bergerak cepat. Dalam gerakan yang mengejutkan dan menjijikkan, Cillian menahan Elara di kursinya dan menyentuh bagian privasi Elara, tepat di atas pinggulnya.
“Aku tidak pernah ditolak selama ini. Semua wanita menyukai sedikit chaos,” Cillian berbisik, nadanya merendahkan, mencoba memaksakan kehendaknya.
Elara membeku, mata terbelalak karena kaget dan ngeri. Sentuhan itu melanggar semua batas. Dia tidak takut pada chaos; dia takut pada pelanggaran seperti ini. Elara merasakan gelombang kepanikan yang familiar, tetapi jauh lebih kuat.
“LEPASKAN AKU!” pekik Elara dengan suara yang dipenuhi ketakutan.
Melihat hal itu, Fionn, yang selama ini menahan diri karena rasa minder dan rasa hormatnya pada ketegasan Elara. Dia melihat kengerian di mata Elara. Dia melihat 'pelecehan' yang tidak terukur dan tidak termaafkan itu terjadi di depan matanya.
Semua rasa minder tentang Proyek Danube, semua ketakutan tentang sweter rusa kutub—semuanya lenyap. Hanya ada satu hal yang penting: melindungi wanita yang ia cintai.
Fionn bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan. Tidak ada planning. Yang ada kini, hanya suatu reaksi nyata.
“JANGAN SENTUH DIA BE**NGS*K!” Raungan Fionn membelah udara, suaranya bukan lagi teriakan, melainkan gemuruh yang memenuhi setiap sudut kedai.
BUAGH!!!
Detik berikutnya, segalanya terjadi begitu cepat. Fionn bukan hanya menarik kerah Cillian, ia melompat maju. Gerakannya gesit, mendadak, seolah topeng kecerobohan telah terlepas. Dengan cengkeraman baja, Fionn menarik tubuh Cillian, memutarnya, dan mendorongnya ke dinding kayu yang berderak.
Pukulan pertama Fionn mendarat telak, bukan di wajah, melainkan di tulang rusuk Cillian. Cillian terkesiap, rasa sakit menjalar instan, tapi ia bukan tipe yang menyerah. Didorong oleh amarah dan rasa malu, Cillian membalas. Tanpa membuang waktu, sikunya menyambar, mengarah ke dagu Fionn.
Fionn miring sedikit, pukulan itu hanya menyerempet bahunya, namun cukup untuk melepaskan cengkeraman.
“Kau pikir kau siapa, hah? Pahlawan?” Cillian meludah, matanya menyala. Ia menyadari Fionn yang ada di depannya adalah Fionn yang berbeda—sosok yang terlatih, atau didorong oleh insting primal.
Cillian mengambil langkah taktis. Ia menendang salah satu kursi di dekatnya ke arah Fionn sebagai pengalih perhatian. Fionn menghindarinya dengan gesit, tapi jeda itu cukup bagi Cillian untuk meraih sebuah mug porselen berat dari meja terdekat.
“Ini pelajaran, Fionn!” Cillian meraung, mengayunkan mug itu ke kepala Fionn.
Fionn bergerak refleks. Ia menangkis lengan Cillian, suara mug hancur berderai di lantai, hanya beberapa sentimeter dari telinganya. Pecahan porselen terpental, melukai pipi Fionn. Darah tipis mengalir, dan rasa sakit itu memicu ledakan amarah Fionn yang sesungguhnya.
“Kau menyentuhnya, Cillian!”
Kemarahan Fionn membakar habis kendali. Dengan kekuatan yang tak terduga, ia mendorong Cillian hingga punggungnya menghantam meja utama kedai. Meja itu patah menjadi dua bagian, piring dan gelas jatuh pecah dengan suara gemerincing. Cillian terhuyung, lidahnya terasa kelu.
Fionn tidak memberinya waktu bernapas. Ia meraih kerah Cillian, memaksa tatapan mereka bertemu. Mata biru jernih Fionn kini berkobar, intensitasnya membakar. Dia berbisik, suaranya rendah dan mematikan, hanya untuk didengar Cillian.
“Kau berani menyentuh Elara lagi, aku akan memastikan kau tidak akan pernah bisa memegang apa pun seumur hidupmu. Aku bersumpah demi nyawaku, Cillian. Aku akan memotong habis kedua tanganmu!!”
Wajah Fionn yang berlumuran darah tipis membuat ancamannya terasa nyata, dingin, dan mematikan.
Cillian tahu pertarungan itu hilang. Bukan karena Fionn lebih kuat, tapi karena Fionn telah berubah menjadi sesuatu yang tak dapat ia lawan—seorang pria tanpa rasa takut, yang melindungi. Dengan rasa jijik, Cillian menarik diri, menjauh dari reruntuhan meja.
“Ini belum berakhir, Fionn. Kau akan membayar untuk ini!” Cillian terhuyung mundur, melompati puing-puing, dan lari keluar kedai, meninggalkan jejak sepatu dan darah.
Fionn berdiri tegak di tengah kehancuran kedai, napasnya memburu, dadanya naik turun seolah baru berlari maraton. Ia tidak lagi melihat kepergian Cillian. Matanya terkunci pada Elara, singa yang baru saja bangun dari tidur panjangnya, memancarkan ancaman yang jelas kepada siapa pun yang berani mendekati wilayahnya.
...****************...
Fionn berdiri di sana sejenak dengan napas memburu, tinjunya masih mengepal. Moira segera menghampirinya, khawatir.
“Fionn! Ya Tuhan! Kau baik-baik saja, Nak?”
Fionn tidak menjawab Moira. Dia hanya berbalik dan bergegas menuju Elara.
Elara masih duduk di kursinya, tubuhnya gemetar. Kepalanya menunduk, tangannya memeluk dirinya sendiri. Trauma itu kembali, bukan dari kegagalan planning, tetapi dari pelanggaran privasi yang brutal.
Fionn berlutut di depannya. Dia tidak menyentuhnya, tahu bahwa Elara butuh ruang.
“Elara. Elara, lihat aku. Kau aman sekarang. Dia sudah pergi. Aku berjanji, dia tidak akan pernah mengganggumu lagi,” Fionn berbicara dengan suara serak, dipenuhi kekhawatiran.
Elara perlahan mengangkat wajahnya. Air mata membasahi pipinya, tetapi matanya menatap Fionn dengan sesuatu yang luar biasa: kepercayaan mutlak.
“Fionn… kau… kau tidak merencanakan itu,” bisik Elara, suaranya gemetar.
“Tidak. Itu adalah reaksi naluriah. Melindungimu adalah satu-satunya planning yang penting, Elara. Aku tidak peduli dengan Proyek Danube sekarang. Aku hanya peduli padamu,” Fionn meraih tangan Elara, yang gemetar, dan mencium buku jarinya yang dingin.
Elara bersandar ke depan dan memeluk Fionn erat-erat. Dia memeluknya bukan karena dia lembut, tetapi karena dia kuat dan melindungi. Dia memeluk chaos yang baru saja menghajar seorang pria demi keselamatannya.
“Aku takut, Fionn,” bisik Elara, membenamkan wajahnya di leher Fionn.
“Aku tahu. Tapi aku di sini. Aku tidak akan pernah membiarkan orang merusak fondasimu lagi. Aku mungkin tidak memiliki Proyek Danube, tapi aku memiliki kemauan untuk melindungimu. Dan itu adalah janji yang bisa kupegang, Nona City Planner,” Fionn berjanji, memeluknya erat-erat.
Mereka duduk di sana, di tengah kedai kopi yang kacau, dengan Moira yang membersihkan darah Cillian.
Elara akhirnya melepaskan diri, matanya menunjukkan tekad yang kuat.
“Aku harus pergi ke Dublin, Fionn,” kata Elara.
“Aku tahu.”
“Aku harus pergi dan menyelesaikan Proyek Danube. Aku harus membuktikan bahwa aku tidak takut pada dunia luar. Aku harus membuktikan bahwa aku bisa mengendalikan Rencana A-ku,” kata Elara, tatapannya dingin.
“Aku mengerti. Pergilah. Tapi kau harus berjanji padaku satu hal, Elara,” kata Fionn, memegang tangannya erat.
“Apa itu?”
“Bawa sweter rusa kutub itu ke Dublin. Pakai di rapat strategimu. Dan ingat: kau memiliki fondasi yang kuat. Dan di Shannonbridge, ada Rencana B yang menunggumu. Jangan pernah takut lagi.”
Elara mengangguk, air matanya bercampur dengan air mata syukur. Dia tahu, dia akan kembali. Dia harus kembali ke Rencana B-nya, ke chaos yang penuh cinta dan perlindungan.