Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JALAN KE MALL
Rencana Adit untuk membawa Asha ke taman urung terlaksana begitu Ratna muncul sambil menggandeng Lilia. Mereka berdua meminta pergi untuk berjalan-jalan ke mall. Bahkan, untuk mengunjungi pemakaman Ibu pun terlewat atas kemauan Ratna. Hal itu jelas membuat Asha kecewa dan terpaksa harus mengalah.
Di dalam mobil, suasana awalnya hening. Hanya suara AC dan denting halus sabuk pengaman yang terpasang. Saat Adit mengendarai mobilnya, sesekali ia melirik kaca spion tengah—dan di sanalah matanya tertumbuk pada Asha.
Asha duduk di belakang, di samping Lilia yang sibuk dengan bonekanya. Senyumnya kecil, dipaksakan. Pandangannya jatuh ke pangkuannya, seolah ingin mengecilkan diri agar tidak mengganggu siapapun.
Yang seharusnya duduk di kursi depan, di sisi Adit… adalah Asha. Namun Ratna sudah lebih dulu membuka pintu itu dan duduk di sana tanpa memberi kesempatan.
Seolah itu haknya,
Seolah Asha hanyalah tamu di dalam hidup yang bahkan tak seharusnya datang untuk keluarga Adit.
Adit menarik napas pelan. Sungguh… perasaan bersalah itu menggelayuti dadanya. Ia kembali melihat lewat spion, memastikan Asha baik-baik saja. Namun kali ini, Asha memalingkan wajah ke jendela, menatap dunia luar yang buram oleh cahaya.
Diam-diam menelan kenyataan pahit bahwa di hadapan Ratna, ia seolah tidak punya hak untuk berada di sisi Adit… walau ia adalah istrinya. Perih itu ada—senyap, tapi nyata.
Setengah jam perjalanan terasa lebih panjang dari biasanya. Mereka akhirnya tiba di mall yang Ratna dan Lilia mau. Saat mobil akhirnya menuruni ramp menuju basement mall, cahaya luar perlahan terganti oleh lampu-lampu putih pucat yang memantul di dinding beton. Suara roda beradu dengan lantai semen menggema lembut.
Adit memutar kemudi, mencari tempat parkir yang kosong. Lajur-lajur basement tampak padat, dipenuhi mobil lain. Ratna sibuk memperhatikan papan petunjuk, memberi arahan seolah ia yang memegang kendali.
“Dit, ke arah kiri. Dekat lift lebih enak,” Ucap Ratna sambil menunjuk.
Adit mengangguk pelan, mengikuti tanpa banyak suara.
Di kursi belakang, Asha menatap sekeliling—lampu-lampu parkir yang redup, garis-garis kuning di lantai, dan deretan mobil lain. Ia merapikan helai rambutnya, bersiap turun meski hatinya belum sepenuhnya pulih dari perjalanan emosional tadi.
Lilia bersorak kecil ketika mobil mulai melambat. “Horeeeee kita sampai! Kita sampai, Omaaa!”
"Iya dong, sayang." Ucap Ratna menepuk tangan. "Hari ini Lilia temani Oma belanja, ya."
Lilia mengangguk cepat, semangatnya meletup. Tangannya menggenggam tangan Asha erat-erat, seakan memilih Asha sebagai tempat bercerita nanti.
“Oh ya…” Ratna menoleh, matanya menyapu singkat ke arah Adit. “Kamu bukannya udah gajian kemarin, kan?”
Nada suaranya terdengar ringan di permukaan, tetapi ada sesuatu yang terselip di dalamnya—dorongan halus, tuntutan yang tersembunyi, atau mungkin pengingat bahwa hari ini bukan sekadar menemani… tapi membeli.
Adit mengangguk, raut wajahnya tetap tenang meski sedikit kaku. “Iya, Ma. Baru kemarin.”
Ratna tersenyum, puas. “Bagus. Berarti kita bisa belanja lebih leluasa. Lilia mau pilih-pilih, kan? Nanti Om Adit yang bayar.”
Asha berdiri di samping Lilia, mendengar percakapan itu tanpa suara. Ada bagian kecil di hatinya yang meluruh—bukan iri, bukan marah… hanya perasaan terpinggirkan yang diam-diam muncul.
Mata Adit kembali melirik Asha dari balik kaca spion mobilnya. Dan, kali ini mereka saling menatap cukup lama. Asha tahu Adit bukan tipe yang menolak permintaan orangtuanya.
"Udah yuk, turun! Oma udah gak sabar mau belanja!" Gumam Ratna keluar dari mobilnya, di susul Lilia dan Asha.
Kemudian, Adit, ia memeriksa semua pintu mobilnya, memastikan semuanya aman terkunci. Mereka pun mulai melangkah. Ratna berjalan paling depan, Adit di samping dan
Asha sedikit di belakang bersama Lilia. Perbedaan posisi sederhana, tapi cukup untuk membuat Asha sadar betapa jauhnya ia hari itu, meski berdiri hanya beberapa langkah dari suaminya.
Ratna yang masih berjalan paling depan, langkahnya mantap mengarah ke sebuah butik pakaian wanita. Display manekin berdiri rapi di balik kaca, menampilkan gaun-gaun baru yang mencolok. Begitu tiba di depan toko, Ratna langsung berbelok ke dalam, menggandeng Lilia sambil menunjuk beberapa dress warna pastel. “Ayo, sayang. Lihat-lihat sama Oma,” Katanya ceria.
Lilia pun ikut tertawa kecil, matanya berbinar melihat rak-rak penuh warna.
Asha mengikuti dari belakang, langkahnya tertahan sejenak di ambang pintu. Ia menatap etalase—indah… tapi bukan tempat yang ingin ia kunjungi hari ini. Namun ia tetap melangkah masuk, menjaga sikap.
Adit yang kini berada di sampingnya, sempat menoleh dan mendekatkan wajahnya sedikit ke arah Asha. "Sayang, kalau kamu mau baju... pilihlah yang kamu suka." Lirihnya, suaranya pelan, seakan tak ingin Ratna mendengar. "Maaf ya. Aku nggak bisa nolak keinginan Mama.”
Asha tersenyum kecil, senyum yang lembut tapi menyimpan lelah yang tak ia ungkapkan.
“Iya, Mas… nggak apa-apa. Aku paham kok.”
Ia menatap Adit sebentar, cukup lama untuk membuat Adit merasakan perih yang ia sembunyikan, dan cukup lama untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar mengerti… meski hatinya sedikit terlipat oleh keadaan.
Adit ingin bicara lebih banyak, ingin menjelaskan dirinya, ingin mengatakan bahwa ia juga ingin menghabiskan waktu berdua di taman seperti rencana awal. Sungguh, permohonan maaf sepertinya tak cukup membuat Asha untuk memahami apa yang ia rasakan.
"Kita kesana yuk, cari baju." Ajak Adit kemudian sambil menggandeng baju Asha masuk ke dalam. "Pilihlah apa yang kamu suk—"
"Adit," Panggil Ratna. Lengannya melambai ke udara seakan meminta Adit untuk menghampirinya.
“Mas, Mama panggil kamu,” Ucap Asha pelan sambil menatap Adit. Ia berusaha menjaga suaranya tetap ringan, seolah tidak ingin menambah beban di pundak suaminya. “Nggak apa-apa, aku bisa pilih sendiri dulu. Nanti aku temani Lilia.”
Adit menatapnya lama, seolah ingin memastikan ia benar-benar tidak apa-apa. Ada keraguan terselip—dia tahu Asha sedang bersikap kuat.
Tapi sebelum ia sempat berkata apa pun, suara Ratna terdengar lagi, kali ini lebih keras dan mendesak.
“Adit, ayooo sini!” Panggil Ratna, seakan Adit telah terlalu lama mengabaikannya.
Adit memejamkan mata sepersekian detik. Tarikan napasnya terdengar samar.
Ia kembali melihat Asha, tatapannya dipenuhi permintaan maaf yang tak bisa terucapkan.
Adit akhirnya hanya mengangguk.
Diam. Patuh. "Sebentar ya, sayang." Katanya lirih pada Asha sebelum berbalik menuju Ratna.
Asha mengangguk kecil, tersenyum—senyum yang lembut tapi tidak sepenuhnya bahagia.
Ia mengamatinya pergi, punggung Adit menjauh menuju ibunya yang menunggu penuh tuntutan.
Saat Adit kembali larut dalam permintaan-permintaan Ratna, Asha menunduk sebentar, menghembuskan napas panjang. Ia mencoba menata hatinya sendiri sambil bergerak ke arah Lilia.
****
Usai puas berbelanja—dua kantong besar di tangan Ratna, satu kantong kecil untuk Lilia, dan Adit menjinjing satu kantong milik Asha. Mereka akhirnya memutuskan untuk makan siang. Mall siang itu cukup ramai, suara langkah kaki dan percakapan bercampur menjadi dengung lembut yang memenuhi koridor.
Mereka berjalan menuju sebuah restoran keluarga yang cukup luas, lampu-lampunya hangat, dan aroma makanan langsung menyambut ketika pintu terbuka. Adit membantu membuka pintu untuk semuanya, sikap kecil yang tetap ia lakukan meski hatinya tampak lelah.
Ratna langsung memilih meja paling pojok dekat jendela, area yang menurutnya paling nyaman. “Di sini saja,” Katanya sambil menepuk kursi dengan percaya diri.
Adit duduk di samping Ratna—lagi-lagi sesuai arahannya. Sementara, Asha duduk di seberang, bersama Lilia yang masih riang memilih menu anak-anak.
Asha membuka buku menu perlahan, berusaha terlihat wajar. Namun dari posisi duduknya, ia jelas bisa melihat betapa jaraknya dengan Adit terasa lebih jauh dari sekadar meja kayu di antara mereka. “Mas mau pesan apa?” tanyanya lembut.
"Udah... biar Mama aja!" Ucap Ratna merebut buku menu itu dalam satu tarikan. Matanya yang tajam di balik sapuan maskara tebal dan rapi, mulai menyapu daftar menu yang tertera seolah hanya dirinya yang mampu memilihkan yang terbaik. Cara ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan membuatnya tampak seperti penguasa meja itu.
Adit terdiam, memaksakan senyum tipis yang hampir tak terlihat. Di seberang, Asha menunduk pelan, mencoba menyembunyikan kegelisahan kecil di dadanya.
"Mama mau ini!" Tunjuk Ratna ke arah salah satu barisan menu Paket istimewa. "Lilia mau ini juga?" Katanya, sambil memperlihatkan menu itu pada Lilia.
“Mau Omaaa!” Seru Lilia polos, kedua tangannya terangkat kecil, wajahnya cerah penuh antusias.
Ratna tersenyum lebar, puas melihat cucunya begitu bersemangat. “Ya udah, kita pesan ini buat empat porsi ya!” Katanya cepat, tanpa benar-benar menunggu persetujuan siapa pun.
Adit hanya mengangguk—gerakan kecil, nyaris seperti refleks. Ia menatap menu sebentar, seolah ingin memastikan apakah Asha baik-baik saja dengan pilihan itu, namun Asha hanya tersenyum lembut dan mengangguk kembali. Melihat semuanya tampak “siap,” ia melambai ke arah pelayan.
Pramusaji bercelemek hitam itu mendekat dengan sopan, mencatat pesanan tanpa banyak tanya. Ratna menyebut menu yang sudah ia pilih untuk semuanya. Tidak ada satu pun pertanyaan, Asha mau apa?
Sungguh, tidak ada ruang untuk itu.
Setelah pelayan pergi, meja itu kembali dipenuhi keheningan singkat sebelum suara restoran menyusup lagi—gelas beradu, langkah kaki, suara riuh tenang makan siang.
Beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang. Aromanya memenuhi meja, membawa suasana hangat yang kontras dengan perasaan kecil yang terjepit di dada Asha.
“Yuk, kita makan,” Ucap Adit pelan, menatap Asha sejenak—tatapan yang seakan meminta maaf untuk hal yang tidak pernah benar-benar ia pilih.
Asha tersenyum kembali, menunduk menahan perasaan yang sempat naik ke tenggorokan sambil membantu Lilia dengan piring kecilnya, mencoba memusatkan diri pada momen yang ada.
"Makasih ya, Tante!" Seru Lilia.
Asha tersenyum sambil mengusap lembut helai rambut gadis kecil itu. "Sama-sama, sayang." Jawabnya hangat.
"Kamu itu keibuan banget, sayang." Kata Adit menatap Asha lekat sambil melahap makanannya. "Kelihatan sekali kalau kamu sayang banget sama Lilia. Padahal, kalian baru kenal."
Asha tersenyum dengan anggukkan. "Kebetulan, aku juga suka anak kecil Mas. Mereka lucu dan menggemaskan."
"Syukurlah. Jadi kalau kita punya anak... kamu gak perlu belajar lagi buat nerima."
"Yakin dia bisa punya anak?!" Celetuk Ratna memecah udara. Ucapannya meluncur cepat, tanpa filter, tanpa berpikir apakah itu pantas diucapkan di depan menantunya sendiri. Suaranya tidak keras, namun cukup tajam dan menancap.
Adit langsung menoleh, matanya membesar sedikit. “Ma…” Tegurnya lirih, tapi Ratna hanya pura-pura sibuk merapikan serbet di pangkuannya. Ia bersikap seolah komentar itu hanyalah angin lalu.
Asha hanya terdiam. Sejenak, dunia seperti berhenti di antara detak jantungnya. Ia memaksakan senyum kecil, tapi bibirnya bergetar samar. Tangannya otomatis mengusap punggung Lilia, mencari pijakan agar emosinya tidak pecah di meja makan itu.
Sementara, Adit kembali menatap ke arah Asha. Penuh rasa bersalah, marah, dan proteksi yang terpaksa ditahan. Maafkan aku, Asha.
****