Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Bu Maryam nyaris tersedak ketawa.
Baru lima menit membantu, Aira sudah mengeluh lagi.
“Ma, ini kampung atau training militer sih? Baru jam lima lewat sudah kerja.”
“Kamu pikir ibu-ibu yang mau nanam padi itu mesin? Mereka juga capek, makanya kita bantu menyiapkan sarapan.”
“Tapi Ma… aku tuh orang kota. Jam biologisku beda,” gumam Aira sambil memotong tempe, dan… tentu saja… tidak presisi sama sekali.
Bi Sumi menggeleng sambil menahan tawa. “Tempenya bukan puzzle, Neng. Ini mau digoreng, bukan disusun.”
“Aku kira estetika juga penting, Bi,” sahut Aira.
Bu Maryam memukul pelan punggung Aira. “Yang penting cepat dan rapi. Bukan estetik!”
Mereka terbahak.
***
Sekitar setengah enam. Suara ibu-ibu mulai terdengar dari luar rumah. Mereka datang lebih awal untuk membantu sawah. Aira langsung panik.
“Ma… mereka datang? Aku begini? Rambut belum bener, wajah belum di cuci, mental belum siap!”
“Tuh kan,” komentar Bu Maryam. “Cocok mondok. Biar dibina.”
“MA...!”
Dan Bu Maryam sudah berjalan keluar menyambut ibu-ibu.
Aira menatap tempe, wajan, dan Bi Sumi.
Bi Sumi tersenyum nakal.
“Ayo Neng, sebelum ngantukmu bangun lagi, gorengin tempenya.”
Aira menghela napas panjang.
“Baiklah… jalani saja hidup ini.”
***
Setelah menggorang tempe, Aira diminta mengambilkan minum untuk para ibu-ibu keluar.
Dia berjalan dengan langkah sempoyongan membawa nampan berisi teko besar berisi teh hangat dan gelas-gelas plastik. Tangannya gemetar sedikit karena panas dan… karena dia belum sepenuhnya sadar.
“Ma… dari pada capek begini, lebih baik beli aja di warung. Simple, praktis, tinggal bayar,” keluh Aira sambil mengangkat teko seolah itu beban sekarung beras.
Bu Maryam langsung menoleh cepat. “Hussst! Rajin dikit, Ra. Latihan jadi istri.”
Aira langsung memekik kecil. “Mamaaaa… ngomong apa sih! Aku belum daftar kelas pra-pernikahan.”
“Iya kan, biar nanti nggak kaget kalau punya suami petani,” celetuk Bu Maryam sambil tersenyum misterius.
Aira tersedak udara.
Begitu keluar, di mana tempat ibu-ibu duduk sambil menunggu sarapan, mereka spontan langsung bersorak kecil melihat Aira datang membawa teko.
“Wahhh, Neng Aira sudah mirip menantu idaman, tuh!” ujar Bu Lilis sambil mengipasi diri dengan kerudungnya.
“Iya, iya… tangannya tuh, lihat, udah terampil banget bawa teko panas,” tambah Ibu Wati.
“Betul! Tinggal besok diajarin bikin serabi, lengkap sudah calon istrinya,” goda Bu Ina.
Aira langsung mendecak. “Bu-buu… aku ini masih muda. Masih unyu-unyu. Jangan langsung di-branding calon istri.”
Bu Lilis malah nyengir makin lebar. “Eh, yang muda mah justru banyak yang ngantri, Neng.”
Aira nyaris tersedak napas lagi.
Saat hendak menuangkan teh, tangannya hampir goyah.
“Eh hati-hati, Ra,” bisik Bu Maryam.
“Ma… sumpah, ini tekanan batin. Aku tuh malu digodain begini,” gumam Aira sambil menuang teh dengan gaya sok profesional.
Ibu-ibu malah terbahak.
“Tenang, Neng. Belum ada jodohnya lewat sini kok…” kata Bu Ina sambil tertawa kecil.
“…kecuali kalau Ustadz Fathur lewat,” sambung Bu Wati iseng sekali.
Aira langsung tersentak dan hampir menjatuhkan teko.
“BUU!! Jangan panggil-panggil orangnya! Nanti kaget!”
Semua ibu-ibu makin terbahak.
Bu Maryam menepuk bahu Aira sambil tertawa. “Sudah, Ra. Anggap aja ini latihan mental.”
Aira mendesah panjang. “Latihan jadi istri, latihan mental, latihan bangun pagi… Ma, aku ini magang apa gimana?”
Para ibu serempak menjawab, “MAGANG JADI MENANTU!”
Aira menutup wajahnya dengan tangan.
“Hidupku… kapan balik normal, Ya Allah…”
***
Setelah sarapan.
Aira kembali berjalan menuju sawah sambil menyeret langkah. Matahari masih lembut, tapi wajahnya sudah manyun setengah mati. Kali ini dia memakai celana pendek selutut dan crop top warna biru tua. Rambutnya diikat tinggi, gaya seperti mau jogging di taman kota, bukan ke ladang.
Begitu Bu Maryam melihat penampilan itu… “Aira! Yang sopan! Ini mau nanam padi, bukan mau nongkrong di mall!”
Aira langsung membela diri cepat. “Ma… aku nggak bisa pakai baju panjang. Nanti basah, lepet, terus melorot. Aku trauma, Ma, kemarin hampir kecemplung lagi!”
“Ya Allah, Ra… bukan melorot. Kotor namanya!” Bu Maryam geleng-geleng, tapi akhirnya pasrah.
Dari kejauhan…
Di pematang sawah, Pak Hadi dan Ustadz Fathur sudah lebih dulu berdiri menunggu rombongan ibu-ibu.
Ustadz Fathur yang sedang mencatat pembagian bedeng padi, tiba-tiba menoleh karena mendengar suara ribut-ribut. Dan begitu melihat Aira…
Beliau langsung diam tiga detik, lalu mengusap wajah seperti orang menahan sabar.
Geleng.
Geleng lagi.
Dan geleng ketiga… pasrah.
Pak Hadi mendecak. “Ya ampun, itu anak…”
Aira menghampiri mereka sambil melambaikan tangan. “Pagi, Tadz! Jangan protes yaaa… aku sudah tahu wajah-wajah mau menasihati!”
Ustadz Fathur menahan tawa. “Saya tidak protes, Neng Aira. Saya cuma… mengingatkan saja.”
Aira langsung menaikkan alis. “Iyaaa, iyaaa. Tadz pasti mau bilang: ‘Aira, pakai baju yang sopan.’ Kan?”
“Tidak begitu,” jawab Ustadz Fathur tenang. “Saya cuma bilang… bisa dibiasakan memakai lengan panjang. Perlahan-lahan.”
Aira memutar bola mata dramatis. “Nanti ya, Tadz… nanti. Kalau aku nikah, mungkin aku bisa perbaiki.”
Ustadz Fathur terdiam sepersekian detik.
Ibu-ibu yang mendengar langsung ribut kecil di belakang.
“Eh, sudah ngomongin nikah!”
“Ustadz, catet nomor bajunya Aira dulu!”
“Belum apa-apa udah kode, Neng Airaa~”
Aira langsung panik. “Buuu! Aku ngomong asal! ASAL!”
Pak Hadi memijat pelipis. “Ya Allah… anak ini.”
Ustadz Fathur hanya tersenyum sangat kecil—senyum tipe “saya pura-pura tidak dengar tapi saya dengar” sambil membetulkan pecinya.
“Baiklah, Neng Aira,” ujarnya lembut.
“Kita mulai saja menanamnya. Tapi tolong hati-hati… jangan sampai satu bedeng korban lagi.”
Aira manyun. “Tadz, itu kecelakaan tidak disengaja kemarin…”
Pak Hadi menimpali, “Neng, yang kemarin itu bukan kecelakaan. Itu musibah alam.”
Semua ibu-ibu kembali terbahak.
Aira menatap sawah, menatap baju crop top-nya, lalu menatap Ustadz Fathur. “Kalau aku jatuh lagi, jangan salahkan bajunya ya, Tadz…”
Ustadz Fathur balas menatap singkat. “Saya tidak salahkan bajunya. Saya salahkan yang memilihnya.”
Aira diam mematung,
sedangkan ibu-ibu bersorak. “WOOOOO~!”
***
Setelah perdebatan kecil, Aira akhirnya mencoba menanam padi dengan benar setelah diajari ibu-ibu.
Awalnya… ajaib.
Tangan kirinya pegang bibit, tangan kanan menancap tanah, miring-miring sedikit, ulang.
Bi Sumi sampai memuji, “Wah, Neng Aira, sudah mulai paham nih!”
Aira langsung bangga, mendorong dagu ke atas. “Ya iyalah, Bi. Aku ini cepat belajar. Mana coba yang bilang aku bikin bedeng rusak?”
Pak Hadi batuk-batuk palsu. “Ehem. Yang bilang tuh bedengnya, Ra.”
Semua tertawa.
Lima belas menit kemudian…
Aira berdiri sambil memegangi pinggangnya dramatis seperti nenek delapan puluh tahun.
“MAAA…! Pinggang aku patah! Ini sawah atau tempat fitness sih?!”
Bu Maryam yang sedang menanam padi juga sampai hampir jatuh saking kagetnya. “Aira! Baru lima belas menit itu!”
“LIMA BELAS MENIT ITU LAMA, MA!” Aira teriak sambil meringis. “Aku nggak dibuat untuk pekerjaan ekstrem begini. Aku tuh makhluk indoor!”
Ibu-ibu langsung heboh sambil terbahak.
Belum selesai mengeluh, Aira hendak berdiri tapi…
Kakinya terpeleset.
“AAAA—”
BLUK!
Aira jatuh terduduk, lutut sampai paha penuh lumpur.
Crop top-nya juga kecipratan. Rambut acak-acakan.
Aira cuma bisa menatap tanah seperti baru ditinggal sahabatnya.
“Udah, Ra… udah,” ucap Bu Maryam sambil menahan tawa. “Jangan drama.”
“Ma… aku trauma sawah. Aku mau pindah planet aja.”
Sementara dari sisi lain sawah…
Ustadz Fathur sedang bekerja serius merapikan bedeng dengan alat landak sawah atau alat kayu dengan roda kecil berduri untuk meratakan tanah. Tubuhnya sedikit membungkuk, lengan bajunya digulung, dan fokus sekali dengan pekerjaannya.
Aira yang berantakan melihat itu. “Eh… keren amat,” gumamnya tanpa sadar.
Karena penasaran, Aira bangun dengan susah payah, berjalan mendekat sambil menyeret kaki berlumpur.
“Tadz… itu alat apa?”
Ustadz Fathur menoleh sekilas, kaget melihat kondisi Aira.
Lalu spontan berkata pelan, “Masya Allah… Neng, itu baju… sudah… menyatu sama sawah.”
Aira cemberut. “Tadz, fokus ke alatnya, jangan ke aku.”
Ustadz Fathur menahan senyum. “Ini untuk meratakan tanah sebelum bibit ditanam.”
Beliau memegang gagang kayu, mendorongnya perlahan untuk menunjukkan.
Aira mendekat. “Tadi aku lihat ustadz dorongnya keren… boleh aku coba?”
“Tidak usah, Neng. Kotor.”
“Tadz…” Aira menatap dirinya sendiri. “Aku sudah tidak punya harga diri, lihat ini.”
Ustadz Fathur akhirnya menyerah. “Baik, tapi hati-hati.”
Aira memegang gagang kayu itu.
Tangan mereka bersentuhan sedikit.
Aira refleks berhenti.
Ustadz Fathur juga diam.
Sama-sama sadar.
Sama-sama pura-pura tidak sadar.
Aira cepat-cepat menarik tangannya sedikit.
“Eh… maaf. Ustadz duluan aja deh.”
“Tidak apa-apa,” jawab Ustadz Fathur dengan nada lebih pelan dari biasanya.
Aira mencoba mendorong alat itu.
Tapi tenaganya kurang…
Alatnya tidak bergerak.
Dia memaksa… dan memaksa… sampai tubuhnya oleng ke depan.
Ustadz Fathur refleks meraih lengannya agar tidak jatuh lagi.
Aira sampai terpaku.
Ustadz Fathur juga terlihat sedikit kaget karena memegangnya spontan.
“A..aku nggak apa-apa, Tadz,” ucap Aira pelan sambil menolak halus.
Ustadz Fathur melepaskan tangannya cepat.
“Iya… hati-hati, Neng.”
Bersambung