Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11. NASI GORENG TENGAH MALAM
..."Di antara isak yang tak terdengar dan aroma bawang yang terbakar pelan, dua jiwa saling menemukan cara baru untuk tetap hidup tanpa perlu kata, hanya dengan rasa."...
...---•---...
Doni terbangun karena suara. Samar, seperti tangisan yang ditahan jauh di ujung koridor. Matanya terbuka dalam gelap, berusaha mengenali dari mana asalnya. Jam digital di meja samping menunjukkan pukul setengah tiga pagi.
Ia berbaring diam, mendengarkan. Rumah besar itu punya akustik aneh. Suara dari lantai atas kadang terdengar lewat ventilasi, terdistorsi tapi cukup jelas untuk dikenali. Dan suara ini, walau pelan, membawa beban emosi yang berat.
Naira menangis.
Doni duduk di tepi tempat tidur, menimbang-nimbang. Ini bukan urusannya. Pasal 12 dengan jelas menyebut: jaga jarak profesional, jangan ikut campur urusan pribadi. Naira menangis di kamarnya adalah wilayah yang seharusnya tidak ia sentuh.
Tapi bagian lain dalam dirinya, bagian yang membuatnya jadi koki bukan karena uang melainkan karena peduli, berbisik keras: dia menangis sendirian di malam yang dingin. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari itu.
Doni mengenakan kaus dan celana training, lalu keluar kamar dengan langkah pelan. Koridor gelap, hanya cahaya taman dari luar yang menembus jendela, memberi sedikit penerangan. Ia tidak naik ke lantai dua. Itu terlalu jauh, terlalu melanggar privasi.
Ia menuju dapur.
Kalau ada satu hal yang ia tahu bagaimana melakukannya ketika seseorang terluka, itu adalah memasak. Ia tidak bisa memeluk Naira, tidak bisa menepuk punggungnya sambil bilang semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia bisa membuat sesuatu yang hangat, yang akrab, sesuatu yang berbicara tanpa kata-kata: kamu tidak sendirian.
Dapur menyambutnya dalam gelap. Doni menyalakan satu lampu di atas kompor, tidak ingin rumah terlalu terang. Cahaya lembut menerangi meja dapur dan area memasak, sisanya tetap tenggelam dalam bayangan.
Ia membuka kulkas, mengeluarkan nasi putih sisa kemarin. Bawang merah, bawang putih, cabai, terasi, kecap manis, telur. Bahan-bahan untuk nasi goreng kampung yang dua minggu lalu membuat Naira menangis, tapi saat itu tangis pembebasan. Kali ini, Doni berharap nasi goreng yang sama bisa menjadi jangkar, menarik Naira kembali dari jurang pikirannya.
Ia mulai mengiris bawang merah tipis-tipis. Pisau bergerak dalam ritme meditatif. Suara tok-tok-tok pelan mengisi keheningan dapur. Bawang masuk ke wajan berisi minyak panas, aroma harum langsung menguar.
Sementara bawang digoreng, Doni membuat minyak bawang merah segar. Irisan bawang digoreng pelan sampai keemasan, ditiriskan, lalu minyaknya disimpan. Sama seperti dua minggu lalu. Detail yang sama. Kehangatan yang sama.
Wajan besar dipanaskan. Minyak bawang merah dituangkan. Bawang putih dan bawang merah iris kasar ditumis hingga harum. Aroma itu memenuhi dapur, merembes lewat ventilasi, naik ke lantai atas. Doni tahu, aroma ini akan sampai ke kamar Naira.
Cabai rawit masuk, sedikit terasi, lalu nasi. Ia mengaduknya dengan gerakan memutar, memastikan setiap butir terlapisi bumbu. Kecap manis dituangkan, nasi berubah warna jadi cokelat keemasan. Sedikit garam, gula, dan penyedap. Api besar menjaga nasi tetap kering, tidak lembek.
Di wajan terpisah, telur diceplok. Kuningnya setengah matang, mengilap seperti matahari sore. Kerupuk digoreng cepat sampai mengembang sempurna.
Lima belas menit kemudian, nasi goreng sudah siap. Doni menatanya di piring sama seperti pertama kali: gunungan nasi di tengah, telur ceplok di atas, kerupuk berdiri tegak di samping, taburan bawang goreng, irisan timun dan tomat di tepi piring.
Ia menyeduh teh chamomile panas, menambahkan madu sedikit. Lalu semua ia taruh di atas nampan, dan duduk di kursi dapur menunggu.
Menit berlalu lambat. Jam dinding berdetak terlalu keras di keheningan itu. Doni menatap nampan di depannya, berharap ia tidak salah. Berharap Naira akan turun, seperti dulu.
Pukul seperempat empat, terdengar langkah kaki di tangga. Pelan, ragu-ragu, seperti seseorang yang belum yakin apakah ia bermimpi atau tidak.
Naira muncul di pintu dapur. Rambutnya berantakan, mata merah dan bengkak, pipinya basah bekas air mata. Ia mengenakan cardigan tebal yang terlalu besar, membungkus tubuh kurusnya seperti selimut. Ia tampak rapuh seperti boneka porselen yang retak.
"Masak tengah malam?" Suaranya serak.
"Saya dengar seseorang tidak bisa tidur," jawab Doni lembut. "Pikir mungkin nasi goreng bisa bantu."
Naira berjalan pelan menuju meja dapur, duduk di kursi seberang Doni. Matanya menatap piring nasi goreng, tapi tidak menyentuh sendok.
"Seharusnya Anda tidak repot-repot."
"Ini bukan repot. Ini pekerjaan saya."
"Pekerjaan Anda masak jam tujuh pagi, jam setengah satu siang, dan jam enam sore. Bukan jam tiga pagi untuk seseorang yang sedang menangis sendirian."
Doni mendorong piring lebih dekat kepadanya. "Pekerjaan saya bikin Anda makan. Waktu tidak penting."
Naira akhirnya mengambil sendok. Tangannya gemetar. Ia memecahkan kuning telur, kuningnya meleleh seperti matahari tenggelam di atas nasi cokelat. Ia mengaduk pelan, lalu menyuap sedikit.
Ia berhenti mengunyah. Matanya tertutup. Air mata jatuh lagi, deras tapi diam.
"Kenapa," bisiknya, "kenapa setiap kali saya makan ini, saya menangis?"
"Karena makanan ini terhubung dengan kenangan paling dalam," jawab Doni. "Dengan cinta yang tulus. Dengan masa ketika dunia masih terasa aman."
Naira membuka mata, menatap Doni. "Anda tahu kenapa saya bangun menangis malam ini?"
Doni menggeleng. Ia membiarkan Naira bicara kalau mau.
"Mimpi buruk. Tentang Rendra." Nama itu keluar getir dari mulutnya. "Tentang malam-malam dia pulang marah, tentang kata-kata yang dilempar seperti pisau, tentang tangan yang... yang..."
Suaranya pecah. Ia tidak melanjutkan. Tidak perlu, Doni sudah mengerti.
"Tiga tahun," lanjut Naira perlahan, "tiga tahun saya hidup dalam pernikahan itu. Semua orang pikir saya hidup dalam dongeng. Aktris terkenal menikah dengan pengusaha sukses. Rumah mewah, mobil mahal, liburan ke luar negeri. Tapi di balik pintu tertutup, saya hidup di neraka."
Doni diam, mendengarkan. Ia tahu kadang orang tidak butuh jawaban, hanya pendengar.
"Awalnya dia manis. Perhatian. Romantis. Memberikan bunga tiap minggu, makan malam mewah, kata-kata manis yang bikin saya merasa paling istimewa." Naira tersenyum pahit. "Tapi setelah menikah, topengnya lepas. Pelan tapi pasti."
Ia makan beberapa suap lagi, seolah butuh tenaga untuk terus bercerita.
"Ia mulai mengatur segalanya. Apa yang saya pakai, siapa yang saya temui, film apa yang boleh saya ambil. Katanya karena ia sayang, karena protektif. Tapi itu bukan cinta, itu kepemilikan. Saya bukan istri, saya trofi."
"Lalu ia mulai marah. Hal kecil bisa memicu. Makanan kurang asin, saya pulang lima menit terlambat dari syuting, atau tersenyum ke aktor pria di lokasi. Marahnya bukan sekadar teriak. Ia lempar barang, banting pintu, dan kadang..." Naira menarik napas panjang. "Kadang tangannya bukan cuma lempar barang."
Doni mengepalkan tangan di bawah meja, menahan amarah.
"Saya tidak bisa cerita ke siapa pun. Rendra selalu bilang, kalau saya buka mulut, dia akan hancurkan karier saya. Ia punya koneksi di media, di produser, di sutradara. Satu kata dari dia, karier saya habis."
Naira terus makan. Tiap suap seperti perlawanan terhadap kenangan yang menghantam.
"Perceraian itu bukan keputusan mudah. Saya butuh enam bulan kumpulkan keberanian. Enam bulan hidup dalam ketakutan, menunggu waktu tepat, mengumpulkan bukti diam-diam. Dan saat akhirnya saya gugat cerai, dia melakukan persis seperti ancamannya. Ia sebarkan ke media kalau saya yang selingkuh, saya yang egois, saya yang menghancurkan rumah tangga."
Piringnya kini kosong. Naira menatapnya sejenak, lalu mendorongnya menjauh. "Media menelan mentah-mentah ceritanya. Siapa yang percaya aktris cantik bisa jadi korban? Pasti saya yang salah. Pasti saya yang cari sensasi. Tidak ada yang tanya sisi saya."
"Sekarang mereka tahu?" tanya Doni pelan.
"Beberapa orang. Pengacara, Ratna, keluarga dekat. Tapi publik? Mereka masih lihat saya sebagai penjahat dalam cerita itu. Dan sejujurnya..." Naira menatap cangkir teh, "saya terlalu lelah untuk klarifikasi. Terlalu lelah untuk bertarung. Saya cuma ingin hilang, tidak dilihat, tidak dihakimi."
"Tapi hilang tidak sama dengan sembuh."
Naira menyesap teh perlahan. "Anda bicara seperti orang yang sudah pernah hilang dan kembali."
"Saya pernah," ucap Doni pelan. "Setelah Sari meninggal, saya hilang setahun. Tidak benar-benar hilang secara fisik, tapi secara jiwa. Saya makan, kerja, tapi kosong. Hidup otomatis, seperti robot."
"Apa yang membuat Anda kembali?"
Doni berpikir sejenak. "Pelanggan di restoran. Ibu tua yang datang tiap minggu, pesan sup ayam. Suatu hari dia bilang, 'Mas, sup ini ngingetin saya sama anak saya yang sudah tiada. Setiap kali makan ini, rasanya dia masih di sini.' Saat itu saya sadar, masakan saya bisa nyembuhkan luka yang tidak kelihatan. Dan saya tahu, Sari tidak ingin saya mati bersamanya. Ia ingin saya hidup."
Naira menatapnya dengan mata lebih jernih. "Anda pikir saya bisa begitu juga? Hidup lagi setelah semua ini?"
"Saya tidak pikir. Saya tahu," kata Doni mantap. "Karena Anda masih di sini. Karena Anda turun ke dapur jam tiga pagi, cari sesuatu yang bikin Anda merasa hidup. Karena Anda masih menangis, dan menangis artinya Anda masih bisa merasa. Orang yang benar-benar mati tidak menangis."
Keheningan menyelimuti mereka. Bukan canggung, tapi tenang.
"Terima kasih," ucap Naira akhirnya. "Untuk nasi goreng ini. Untuk mendengar. Untuk tidak menghakimi."
"Tidak ada yang perlu dihakimi. Anda korban, bukan pelaku. Anda kuat, hanya dengan masih bertahan."
Naira berdiri, mengambil piring dan cangkir. "Biar saya cuci."
"Tidak usah, saya..."
"Tolong." Suaranya lembut tapi tegas. "Biarkan saya lakukan sesuatu yang normal. Sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan jadi artis atau korban. Cuma cuci piring seperti orang biasa."
Doni mengangguk, membiarkannya. Ia memperhatikan Naira di depan wastafel, menyalakan air, menuang sabun, menggosok piring pelan. Suara air mengalir memecah sunyi.
Selesai, Naira mengeringkan tangan dengan handuk, lalu bersandar di meja, menatap Doni.
"Anda tahu apa yang paling aneh?" katanya pelan. "Saya sudah cerai tiga bulan. Sudah bebas dari Rendra. Tapi saya masih merasa terjebak. Seperti bayangannya masih di setiap sudut rumah, berbisik di telinga: 'Kamu tidak cukup baik. Tidak ada yang akan mau kamu. Kamu rusak.'"
Matanya kosong menatap jendela dapur yang gelap.
"Dan kadang, di malam-malam seperti ini," bisiknya, "saya percaya pada bisikan itu."
Tangannya bergerak ke lengan kiri, menyentuh sesuatu di balik cardigan tebal. Sesuatu yang tersembunyi. Sesuatu yang tampaknya ingin ia tunjukkan, tapi takut.
Doni melihat keraguan di matanya. Pergulatan antara ingin dipahami dan takut dihakimi. Ia berdiri perlahan, siap menghadapi apa pun yang akan Naira lakukan selanjutnya.
Tapi bukan kata-kata yang keluar. Dengan gerakan gemetar, Naira mulai menggulung lengan cardigannya, memperlihatkan sesuatu yang selama ini ia sembunyikan dari dunia.
...---•---...
...Bersambung...