Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7 > Pilihan Yang Tak Pernah Benar
Malam hari di kediaman Varendra tidak lagi terasa seperti rumah. Serene Avila berdiri sendirian di koridor panjang lantai dua. Ia memandangi bayangan dirinya yang terpantul samar di dinding kaca. Lampu-lampu temaram menyala lembut, namun justru mempertegas kesunyian yang menekan dadanya.
Raiden belum kembali. Setelah makan malam yang berakhir tanpa keputusan, tanpa penjelasan, dan tanpa penenang, Raiden pergi tergesa dengan wajah yang sulit dibaca. Yang tertinggal hanyalah Serene bersama tatapan dingin keluarga Varendra dan senyum tipis Aurelia Adrian yang menusuk seperti duri halus. Serene menarik napas panjang, lalu mengusap perutnya perlahan.
“Kita harus kuat,” bisiknya. “Apa pun yang terjadi.”
Namun bahkan kalimat itu terdengar rapuh. Ia kembali ke kamar, duduk di tepi ranjang, dan menunggu. Menunggu seseorang yang bahkan belum berjanji akan kembali memilihnya.
***
Sementara itu, di gedung Varendra Corp yang menjulang angkuh di pusat kota, Raiden Varendra berdiri di ruang rapat utama dengan ekspresi dingin yang menutupi badai di dalam kepalanya. Beberapa direktur duduk mengelilingi meja panjang. Wajah-wajah serius. Grafik-grafik merah terpampang di layar besar. “Serangan ini terkoordinasi,” ujar salah satu direktur. “Saham kita dijatuhkan secara sistematis sejak sore.”
Raiden mengepalkan tangannya. “Siapa dalangnya?”
“Kami menduga konsorsium Adrian ikut bermain.”
Nama itu membuat udara di ruangan berubah. “Ini peringatan,” lanjut direktur lain. “Jika Tuan Raiden tidak segera mengamankan aliansi keluarga, serangan ini bisa meluas.”
Raiden menatap layar dengan sorot mata tajam. Pernikahan. Mereka menginginkannya bukan sebagai ikatan, tapi sebagai alat. “Siapkan rencana darurat,” perintah Raiden dingin. “Aku akan menangani sisanya.” Ia keluar dari ruang rapat tanpa menoleh.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, kekuasaan yang selalu ia kendalikan kini menuntut harga yang terlalu mahal.
***
Jam menunjukkan hampir tengah malam ketika Raiden akhirnya kembali ke rumah. Serene terbangun oleh suara langkah kaki di luar kamar. Jantungnya langsung berdegup kencang. Ia bangkit dan membuka pintu sebelum pikirannya sempat menghalanginya.
Raiden berdiri di sana. Wajahnya lelah. Jasnya kusut. Tatapan matanya berat.
“Kau belum tidur,” katanya pelan.
“Aku menunggu,” jawab Serene jujur.
Raiden masuk dan menutup pintu. Keheningan mengisi ruangan. “Ada apa?” tanya Serene akhirnya.
Raiden tidak langsung menjawab. Ia berjalan ke jendela, menatap gelap malam sebelum berkata, “Perusahaan sedang diserang.”
Serene menelan ludah. “Karena… aku?”
“Karena keputusan yang belum kuambil,” jawab Raiden. “Dan karena mereka tahu di mana titik lemahku.”
Serene tersenyum pahit. “Aku.”
Raiden berbalik cepat. “Jangan katakan itu.”
“Tapi itu benar,” ucap Serene lirih. “Aku datang ke hidupmu sebagai masalah.”
Raiden mendekat, berhenti tepat di hadapannya. “Kau datang sebagai kenyataan.”
Serene mengangkat wajahnya. “Lalu apa rencanamu?”
Raiden terdiam.
“Aurelia?” tanya Serene pelan namun tajam.
Raiden menutup mata sesaat. “Pernikahan itu akan menghentikan serangan.”
“Dan aku?” suara Serene bergetar.
Raiden membuka mata, menatapnya lurus. “Aku tidak akan meninggalkan anak-anakku.”
Serene tertawa kecil. “Jawaban yang sangat… bisnis.”
Raiden mengepalkan tangan. “Apa yang kau inginkan dariku, Serene?”
Serene menarik napas panjang. “Kejujuran.”
Raiden terdiam lama. “Aku tidak tahu apakah aku mencintaimu,” katanya, jujur dan kejam. “Tapi aku tahu… kehilanganmu bukan pilihan yang bisa kuterima.”
Air mata Serene jatuh tanpa bisa dicegah. “Lalu kenapa kau masih ragu?” tanyanya lirih.
“Karena jika aku memilihmu,” jawab Raiden rendah, “aku akan berperang dengan seluruh duniaku.”
Serene mengangguk pelan. “Dan jika kau tidak memilihku… kau akan menghancurkanku.” Kalimat itu menggantung berat di udara. Raiden tidak menyangkalnya.
***
Keesokan harinya, Serene bangun dengan tubuh lemas dan kepala pening. Mual hebat menyerangnya hingga ia harus berpegangan pada wastafel kamar mandi. Dokter datang lebih cepat dari biasanya.
“Kondisi kehamilanmu sensitif,” ujar dokter itu lembut. “Stres berlebihan bisa membahayakan janin.”
Serene tersenyum tipis. “Sepertinya itu tidak bisa dihindari.”
Dokter menatapnya penuh arti. “Kau perlu ketenangan. Dan keputusan yang jelas.” Kata keputusan kembali menghantam Serene.
Siang ini, Elviera Varendra datang menemuinya. Tanpa Raiden. Serene duduk tegak di ruang tamu kecil, mencoba menahan gemetar di tangannya. “Kau gadis yang cerdas,” ujar Elviera membuka percakapan. “Itulah sebabnya aku datang langsung.”
“Apa yang Nyonya inginkan?” tanya Serene sopan namun tegas.
“Pergi,” jawab Elviera tanpa basa-basi.
Serene terdiam.
“Aku akan memastikan kau dan anak-anak itu hidup berkecukupan,” lanjut Elviera dingin. “Tapi Raiden akan menikah dengan Aurelia.”
Serene mengepalkan jemarinya. “Aku tidak menjual anak-anakku.”
Elviera tersenyum tipis. “Kau tidak punya posisi untuk menolak.”
Serene berdiri. “Aku ibu mereka. Itu posisiku.”
Tatapan Elviera mengeras. “Cinta tidak pernah cukup di dunia kami.”
“Aku tidak bicara tentang cinta,” balas Serene. “Aku bicara tentang pilihan.”
Elviera menatapnya lama, lalu berkata pelan namun mengancam, “Jika kau bertahan… kau akan hancur.”
Serene mengangkat dagunya. “Aku sudah hancur sejak malam itu.”
Keheningan menyelimuti mereka.
Elviera akhirnya berdiri. “Pikirkan baik-baik. Untuk anak-anakmu!" Kalimat terakhir itu jauh lebih kejam daripada ancaman apa pun.
***
Malam kembali datang.
Serene berdiri di kamar, menatap koper yang kini terbuka lebar. Beberapa pakaian sudah ia lipat rapi. Dokumen penting ia simpan dalam tas kecil. Keputusan itu terasa pahit… namun jelas.
Pintu kamar terbuka tiba-tiba. Raiden berdiri di sana. Tatapannya langsung tertuju pada koper. “Apa yang kau lakukan?” tanyanya rendah.
Serene menoleh, air matanya menggenang namun wajahnya tenang. “Aku membuat pilihan.”
Raiden melangkah cepat. “Kau tidak bisa pergi.”
“Aku bisa,” jawab Serene pelan. “Dan aku harus.”
Raiden meraih lengannya. “Serene-”
“Jangan,” potongnya. “Jika kau tidak bisa memilihku di depan semua orang… maka aku tidak akan memaksamu memilihku dalam diam.”
Raiden terdiam. “Ini bukan tentang tidak memilihmu.”
“Tapi hasilnya sama,” balas Serene.
Raiden menghela napas berat. “Jika kau pergi sekarang, kau tidak akan aman.”
Serene tersenyum pahit. “Aku tidak pernah aman sejak memasuki hidupmu.”
Keheningan kembali menggantung.
Raiden menatap Serene seolah ingin menghafalnya. “Jika aku memintamu tinggal satu malam lagi?”
Serene menutup matanya sesaat. “Untuk apa?”
“Untuk memberiku waktu,” jawab Raiden pelan. “Satu malam. Aku akan menghentikan semuanya.”
Serene membuka mata. Tatapannya penuh luka.
“Janji?” tanyanya lirih.
Raiden terdiam terlalu lama.
Dan jeda itu… cukup untuk menghancurkan sisa harapan Serene. Ia menarik lengannya perlahan. “Aku tidak bisa hidup dari janji yang belum tentu ditepati.” Serene mengangkat tasnya.
Raiden menatapnya dengan napas tertahan. Langkah Serene menuju pintu terasa berat, namun pasti. Tepat sebelum ia membuka pintu, ponsel Raiden berdering keras. Ia melihat layar. Wajahnya berubah.
“Serene,” katanya cepat. “Tunggu.”
Serene menoleh. Raiden menatapnya dengan mata yang untuk pertama kalinya benar-benar kehilangan kendali. “Kita punya masalah besar,” ucapnya pelan.
“Dan masalah itu… melibatkan anak-anak kita.”
Serene membeku. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan suara gemetar.
Raiden membuka mulut untuk menjawab. Namun sebelum satu kata pun keluar, suara sirene terdengar dari luar rumah, memecah keheningan malam. Serene dan Raiden saling menatap. Dan pada detik itu, Serene tahu... keputusan yang ia ambil malam ini
akan menentukan apakah ia pergi sebagai ibu yang melindungi anak-anaknya atau bertahan sebagai wanita yang harus berhadapan langsung dengan bahaya yang belum pernah ia bayangkan.
***
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Stay tune