Apa jadinya jika dua orang sahabat memiliki perasaan yang sama, tapi sama-sama memilih untuk memendam perasaan itu daripada harus mengorbankan persahabatan mereka? Itulah yang saat ini dirasakan oleh dua orang sahabat, Bulan dan Bintang.
Bulan, sahabat sejak kecil seorang Bintang, menyukai pemuda itu sejak lama tapi perasaan itu tak pernah terungkap. Sementara Bintang, baru menyadari perasaannya terhadap gadis cantik itu setelah dirinya mengalami kecelakaan.
Keduanya terjebak dalam perasaan yang tak terungkap. Mereka tidak tahu harus melakukan apa. Keduanya hanya tahu bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain. Tapi, akankah persahabatan itu berubah menjadi sesuatu yang lebih?
---------------------------------------------------------------------------
"Lo keras kepala banget! Lo gak tau apa gue khawatir, gue sayang sama lo." gumam gadis itu lirih, bahkan hampir tak terdengar.
"Lo ngomong apa tadi?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NdahDhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Merawat Bintang
Setelah melihat kondisi Bintang, ayah dan ibu Bulan pun berpamitan untuk pulang kepada kedua anaknya yang sedang menjaga pemuda tampan itu di rumah sakit.
Bulan tidak ingin meninggalkan Bintang, sementara ayahnya pun tak ada di sana. Aksa yang juga tidak tega, akhirnya mengurungkan niatnya untuk pulang. Digantikan dengan tinggal di sana untuk menemani Bintang.
"Ayah, Bunda hati-hati ya di jalan. Bulan izin untuk nemenin Bintang dulu, gapapa kan?" Ujar Bulan kepada kedua orang tuanya.
"Gapapa sayang, ayah sama bunda ngerti kok. Kamu juga jaga kesehatannya ya, besok sekolah kan?" Ujar ibunya mengerti.
Bulan terdiam sejenak, ia melirik Bintang yang sudah terlelap dalam tidur. Sejujurnya ia ingin merawat Bintang jika kedua orang tuanya memberinya izin.
"Hmm, kalo Bulan izin dulu untuk beberapa hari boleh gak yah, bun?" Ujarnya ragu-ragu.
Kedua orang tuanya saling pandang untuk sejenak. Sementara Alvian yang masih ada di sana, jelas terkejut mendengar penuturan Bulan.
Kedua orang tua Bulan akhirnya mengangguk setuju, membiarkan Bulan untuk merawat Bintang. Terlebih mereka pun tahu bagaimana keadaan keluarga Bintang yang berantakan.
"Boleh sayang. Ayah dan bunda izinkan. Tapi, jangan lupa meminta izin sama sekolah ya? Kamu harus tetap menjaga nilai dan prestasi kamu." Ujar ayah Bulan lembut.
"Iya ayah, bunda. Terima kasih." Ujar Bulan dengan seutas senyum.
Setelahnya, kedua orang tua Bulan pun langsung beranjak pergi meninggalkan ruangan itu. Sementara Alvian masih terlihat terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Bulan akan rela untuk meninggalkan sekolah hanya untuk merawat Bintang. Ia memandang Bulan dengan kagum, Bulan benar-benar peduli pada Bintang.
"Lo bener-bener peduli sama Bintang. Gue gak tau peduli karena sahabat atau..." Alvian mencoba untuk menggoda Bulan tapi ia menghentikan perkataannya.
Bulan yang terkejut langsung mengalihkan pandangannya, mencoba untuk menutupi wajahnya yang mulai merona.
"Apa sih lo! Enggak lo enggak bang Aksa sama aja!" Ujar Bulan sedikit kesal.
Aksa dan Alvian terkekeh pelan sangat pelan, ketika melihat Bulan yang kesal. Karena tidak ingin mengganggu istirahat Bintang, Alvian pun akhirnya berpamitan untuk pulang.
"Bang, Bulan gue balik duluan ya." Ujar Alvian kepada keduanya.
Aksa mengangguk perlahan, sementara Bulan langsung kembali menoleh ke arah temannya itu.
"Iya Vian, thanks ya udah bawa Bintang ke sini." Ujar Bulan.
Alvian hanya mengangguk singkat, lalu ia pun melangkahkan kakinya menuju pintu sambil mengeluarkan kunci mobilnya. Suasana di ruangan itu menjadi hening, tak ada satu percakapan pun antara Bulan dan kakaknya.
Bulan kembali duduk di samping Bintang, sementara Aksa kembali duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.
"Dek, besok biar gue aja yang izinin lo ke sekolah. Sekalian sambil pergi kuliah." Ujar Aksa setelah hening cukup lama.
Bulan tersenyum sedikit, ia pun mengangguk perlahan. "Boleh bang. Thanks ya." Ujarnya.
...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...
Keesokan harinya, Bintang terbangun dari tidurnya. Ia mendapati ruangan itu yang kosong, ia menghela nafas mungkin semuanya sudah pulang saat ia tertidur.
Bintang merasa kesepian, orang tua yang tidak ada di sisinya serta Bulan sekarang yang sudah pasti pergi ke sekolahnya meninggalkan Bintang sendirian. Ya, setidaknya begitulah yang dipikirkan Bintang saat ini.
Ia meraih ponselnya yang diletakkan di atas meja, dengan niat untuk menghubungi teman-temannya dan juga Reva, kekasihnya.
Beberapa saat menunggu, tak ada jawaban apapun walau hanya salah satu dari mereka. Bintang melirik jam di atas layarnya, masih menunjukkan pukul 06.45 pagi. Jelas saja kegiatan belajar mengajar belum dimulai.
Bintang sudah terbiasa jika itu teman-temannya, karena biasanya ketiga temannya itu tak memegang ponsel ketika pagi hari. Tapi Reva, jelas saja membuat hati Bintang sedikit sakit. Reva yang selalu fast respon, mengapa kini mengabaikannya ketika Bintang mengabari bahwa dirinya mengalami kecelakaan.
Bintang menghela nafas, lalu memandangi langit-langit ruangan itu dengan perasaan yang campur aduk.
Ceklekk!
Tiba-tiba saja pintu toilet di ruangan itu terbuka, Bintang langsung menoleh dan mendapati Bulan yang berdiri di sana. Bintang merasa heran dan mengernyitkan dahinya, seharusnya Bulan sudah pergi ke sekolah jam segini.
"Morning Bintang! Gimana keadaannya hari ini?" Ujar Bulan berjalan mendekat sambil meletakkan pakaian di tangannya ke dalam tasnya.
"Sedikit lebih baik. Lo kenapa masih di sini? Gak sekolah?" Tanya Bintang heran.
Bulan yang masih sibuk meletakkan baju di dalam tasnya, langsung menoleh ke arah Bintang dengan seutas senyum manisnya.
"Enggak, Bintang. Gue izin ke sekolah." Ujarnya.
"Kenapa?" Ujar Bintang semakin heran, mengingat Bulan yang ternyata berganti pakaian di dalam toilet, tapi bukan dengan seragam sekolah melainkan dengan pakaian sehari-hari.
"Mau rawat lo. Gak tega gue tinggalin lo sendirian." Ujar Bulan langsung berterus terang.
Mendengar perkataan Bulan yang terdengar serius, Bintang pun mendelik kaget. Bahkan sebelah alisnya ia naikkan, seakan tidak percaya apa yang baru saja ia dengar.
"Lo serius?" Ujar Bintang masih tidak percaya.
"Jadi, lo pikir gue lagi bercanda?"
Bintang terdiam, ia tidak tahu harus mengatakan apa. Padahal Bulan hanya seorang sahabatnya, tapi kepeduliannya seakan Bulan adalah keluarganya.
"Tenang aja, gue udah izin kok. Bang Aksa udah izinin gue ke wali kelas. Gue bakal rawat lo sampe lo kembali ke sekolah." Lanjut Bulan yang hanya melihat keheningan dari Bintang.
Bintang akhirnya tersenyum tipis, ia benar-benar merasa bersyukur memiliki sahabat seperti Bulan yang selalu mengerti dirinya.
"Thanks, Lan. Lo bener-bener sahabat terbaik." Ujar Bintang.
Bulan tersenyum, tapi senyum itu jelas sedikit dipaksakan. Mendengar perkataan Bintang yang hanya menganggapnya sebagai sahabat, jelas saja membuat hati Bulan berkecamuk.
Bulan berusaha untuk menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. Ia tidak ingin Bintang tahu bahwa perasaannya lebih dari sekedar persahabatan. Bulan memutuskan untuk tidak memikirkan tentang perasaannya sendiri dan hanya fokus untuk merawat Bintang. Ya, setidaknya untuk saat ini.
"Lo udah minum obat? Tadi suster udah bawain bubur buat lo. Makan dulu ya?" Ujar Bulan mengalihkan pembicaraan.
Bintang hanya mengangguk singkat lalu berusaha mengambil nampan di atas meja. Ia terlihat kesusahan untuk sekedar meraih air minum di atas meja karena posisinya yang sedikit lebih jauh dari tangan Bintang.
Bulan yang melihat itu langsung mengambil air untuk Bintang. Tapi, ia tak sengaja menyentuh tangan Bintang membuat hatinya langsung berdegup kencang.
Bulan langsung menarik tangannya dan langsung mengambil gelas air itu. Ia tidak ingin Bintang tahu ada sesuatu yang terjadi di dalam hatinya karena sentuhan singkat itu. Bulan pun memberikan gelas air itu untuk Bintang, tapi tangannya sedikit bergetar.
Bintang yang tidak menyadari hal itu, langsung menerima gelas dari tangan Bulan lalu meneguknya.
"Thanks, Lan."
Bulan Hanya tersenyum tipis dengan anggukan singkat. Ia pun duduk di kursinya lalu mengambil mangkuk bubur ayam yang masih hangat itu. Entah keberanian dari mana, tiba-tiba saja Bulan menyuapi Bintang.
Bintang pun terlihat tidak menolak, bahkan ia langsung membuka mulutnya untuk menerima suapan itu dari tangan sahabatnya.
Bulan merasa deg-degan ketika Bintang dengan santainya menerima suapan itu dari tangannya. Ia merasa senang bisa merawat Bintang. Tapi di lain sisi, ia tetap saja bertengkar dengan perasaannya sendiri.
Bintang sama sekali tidak menyadari apapun yang terjadi dengan Bulan saat ini. Baginya, hadirnya Bulan di sisinya hanya membuatnya merasa sedikit lebih baik.
"Andai aja Reva yang ada di sini, pasti lebih seneng gue." Ujar Bintang tiba-tiba, membuat Bulan langsung menghentikan tangannya di udara.
Bulan langsung menurunkan tangannya serta sendok yang dipegangnya. Ia merasa seperti terkena petir, ketika Bintang tiba-tiba saja menyebutkan nama kekasihnya itu.
"Lo tau kan ini masih pagi? Pasti Reva lagi sibuk di sekolah. Gue yakin nanti dia bakal ke sini kok." Ujar Bulan mencoba untuk menutupi rasa cemburunya.
Bintang tidak menyadari bahwa Bulan merasa cemburu. Ia hanya menganggukkan kepalanya dan mempercayai kata-kata Bulan.
Tapi, Bulan sendiri merasa tidak percaya diri. Ia tidak tahu bagaimana ia bisa bersaing dengan kekasih Bintang. Bulan merasa sedih, tapi ia tak ingin menunjukkan itu kepada Bintang. Ia juga tersenyum, tapi senyum itu terasa canggung.
"Gue mau ke toilet bentar," ujar Bintang sambil mencoba untuk berdiri.
Tapi, Bintang langsung terkejut dan syok ketika kakinya terasa kaku untuk digerakkan. Wajahnya mulai panik, ia menoleh ke arah Bulan yang terlihat khawatir dalam diamnya. Bahkan, Bulan langsung meletakkan mangkuk itu di atas meja lalu memegangi bahu Bintang.
"Bintang, lo jangan banyak gerak dulu." ujar Bulan mencoba untuk menenangkan.
"Lan, kaki gue kenapa? Kok gak bisa digerakin?" Ujar Bintang mencoba untuk menenangkan diri.
Bulan terlihat sedih dan bingung. Ia merasa berat ingin memberitahu kepada Bintang bahwa ia mengalami kelumpuhan. Tapi, cepat atau lambat Bintang juga harus tahu tentang kondisinya.
"Jawab gue Bulan, kaki gue kenapa?!"
Bintang mengulang pertanyaannya, tapi lagi-lagi Bulan hanya bungkam, ia tidak tahu harus mengatakan apa kepada Bintang. Terlebih kondisinya yang masih lemah membuat Bulan merasa bahwa ini bukanlah waktu yang tepat untuk mengatakannya kepada sahabatnya itu.
"Bulan, please jawab gue. Apa yang terjadi dengan kaki gue?" ujar Bintang yang terus mendesak Bulan dengan harapan bahwa gadis itu akan mengatakan sesuatu.
Bulan menggelengkan kepalanya perlahan, bibirnya seolah mengatakan sesuatu tapi tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Sementara Bintang, pikirannya sudah melayang kemana-mana. Ia tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini.
^^^Bersambung...^^^