"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Masih Tentang Gosip
Binar menggerakkan kakinya, sebagai upaya untuk mengusir rasa groginya sebelum wawancara. Meskipun sudah terbiasa dengan situasi ini, tapi ternyata membuatnya seakan mengulang dari awal. Tidak lupa botol air mineral yang sudah tinggal separo isinya itu berada di sampingnya.
Suaminya, Tama yang bekerja di sini pun enggan menemaninya. Tidak tahu apa alasannya, Binar harus terlihat sendiri di sini, tanpa membawa nama Tama.
"Binar Senja" sebuah suara memanggilnya, pertanda dia harus masuk ke dalam ruangan untuk melakukan wawancara. Suara ketukan sepatu yang yang beradu dengan lantai marmer itu mengeluarkan bunyi konstan. Binar tersenyum pada yang memanggil namanya, kemudian masuk ke dalam ruangan. Terdapat tiga orang yang duduk di sana, dan sebuah kursi yang harus dia duduki. Dua orang wanita dan seorang pria berjas rapi, ingatan Binar mencoba mengasah memori. Karena dia merasa pernah melihat pria itu. Tapi belum berhasil.
Pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari tim tersebut. Binar menjawab sebisa dan semantap mungkin. Dia berharap menjadi bagian dari perusahaan ini.
Kini giliran pria berjas itu, menatap Binar sesaat sambil tersenyum datar.
"Apa yang akan kamu lakukan jika menemukan anak kecil yang hilang di mall?" pertanyaan yang langsung menyengat ingatannya, ya..ya...Binar kembali mengingat memori itu, dan Ya Tuhan....pria itu. Binar menelan ludahnya dengan susah payah, peluhnya mulai keluar dari pori-pori. Tidak hanya di dahinya, serasa punggungnya sudah bassa. Dia berdoa dalam hati agar tidak sampai membasahi baju putihnya. Rasa malu menggelayuti perasaannya, dan di saat ini pula dia merasa sudah tamat.
"Akan saya bantu dengan ke pusta informasi dan menunggu sampai dia dijemput orang tuanya," jawab Binar setenang mungkin, jangan sampai riak di suaranya terdengar mengganggu. Pria itu kembali tersenyum datar, dan itulah pertanyaan terakhirnya.
Binar keluar dari ruangan sambil mengelus dadanya, tangannya mencari tisu di dalam tasnya. Sejak kejadian di mall, dia tidak mau melewatkan tisu ke dalam tasnya. Dia mengambil dua helai untuk mengusap keringatnya yang mengucur. Bukan karena pertanyaan dari tim tersebut, melainkan karena dia kembali bertemu dengan pria itu.
Binar mengambil botol yang dia tinggalkan tadi, dan meneguknya hingga hampir tandas.
"Ah..." Binar memejamkan matanya, sudah sedikit tenang. Meskipun merasa sudah tidak ada harapan, tapi Binar masih berdoa agar masih diberi kesempatan.
Sebelum meninggalkan kantor ini, Binar mencoba menyapu pandang, kali saja ada bayangan Tama yang sedang berada di area ini, tapi tidak mungkin. Kalaupun Tama tahu dia berada di sini, Tama pun tak akan mau menemuinya.
Suasana makan siang di kantin perusahaan seperti biasa, ramai. Tama yang tidak pernah mau membawa bekal dari istrinya memilih untuk makan siang bersama teman-temannya saja.
"Kamu sudah dengar gosip tentang Pak Aksa?" tanya Alina. Aksa mengangguk sambil mengunyah makan siangnya, kali ini memilih menu nasi padang. Tama sudah tahu, karena filsafat gosip adalah digosok makin sip.
"Tapi kau juga berpikir begitu sih, karena dia tidak pernah ramah dengan kaum hawa,"
"Jadi kamu pengen dia ramah ke kamu?" Tama melirik.
"Ish" Alina mengibaskan tangan. "Dengar-dengar kemarin ada perekrutan untuk sekertaris baru, siapa yang bisa tahan dengan orang sekaku dia?" Alina masih saja mengoceh, tangan kanan meraih gelas yang berisi air putih. Makanan di piringnya sudah tandas.
Tama terdiam sesaat, mengingat kembali jika Binar melamar pekerjaan di sini.
"Apakah hanya itu lowongannya?"
"Setahuku sih iya,"
Tama kembali terdiam, jika benar, dan jika Binar bekerja di sini maka Binar akan selalu berada di sisi Aksa.
"Dia mencari perempuan, agar citranya bagus," bisik Alina, tidak mau suaranya terdengar oleh karyawan lainnya yang sedang makan di sana juga. Ucapan Alina membawa lamunan Tama kembali ke masa sekarang, dia tidak perlu mengkhawatirkan Binar.
"Kenapa? kamu takut istri kamu di sini? kamu cemburu?" tanya Alina memprovokasi, senyumnya mengembang.
"Aku tidak peduli" jawab Tama singkat dengan tatapan acuh.
Hidupnya kini berbeda, perasaannya tak lagi sama. Bersama Binar tak lagi sama, dan Ibunya kenapa juga harus mendadak tidak menyukai Binar. Seolah menambah dorongan untuk melepaskan Binar dari pelukannya. Hatinya terasa dingin, tidak ingin mendekap wanita itu lagi. Ada seseorang lain yang mengisi relung hatinya. Dia merasa bangsat, tapi tidak bisa melawan.
***
Rembulan turun menggantikan sinar matahari yang amat menyengat seharian ini, seperti biasa, Binar hanya di rumah dengan segala rutinitas kesehariannya. Tidak berharap Tama akan pulang dengan segera, karena dia sudah mulai terbiasa, bahkan sangat terbiasa. Hingga membentuk sesuatu yang berbeda di hatinya, tak lagi sama. Dia merasa dicampakan.
"Kamu tahu gosip tentang calon bosmu?" tanya Tama, mereka duduk berhadapan di meja makan. Nampak bekas piring makan Binar, sengaja dia tidak menyiapkan makan malam untuk Tama, karena biasanya hanya akan menjadi sia-sia. Binar melihat Tama. Tadi siang dia mendapatkan kabar jika besok adalah hari pertamanya kerja, Binar merasa sangat senang mendapat berita tersebut. Dia akan kembali bekerja, keluar dari rutinitas yang akhir-akhir terasa membosankan karena tidak adanya dukungan Tama, kemudian dia bisa membuktikan kepada Ibu mertua jika dia tidak hanya bisa menghabiskan uang suaminya, dan yang terpenting, dia bisa menyelidiki siapa wanita yang sudah mengisi kehidupan suaminya kini.
"Ya" jawab Binar singkat. Dia sudah tahu dari pemberitaan yang beredar jika calon bosnya berorientasi seksual belok. Binar sudah mempelajari beritanya sejak semalam. Sebagai upaya persiapan jika dia benar diterima di sana, sunggah sangat percaya diri sekali. Bukan, ini sebagai rasa optimisnya. Rasa jengahnya juga karena diremehkan oleh Ibu mertuanya.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, mas?" Binar menatap Tama. Tama menggeleng.
"Rasa cemburu? ah tidak mungkin" Binar tersenyum sinis. Tama melihat istrinya itu dengan tatapan heran, kini wanita itu seolah tak lagi mengejarnya. "Tenang saja mas, aku bisa menjaga diriku, terlebih jika gosip itu benar. Dan aku tidak akan mudah jatuh cinta, perasanku mahal" kalimat Binar seolah menampar dirinya, Tama menatap Binar dengan tatapan jengah. Seolah wanita itu bisa membaca pikirannya.
"Maafkan aku Bi,"
Binar tersenyum sinis, "Untuk apa?" Binar mencoba memancing.
"Untuk semuanya,"
Suasana mendadak hening, sibuk dengan pikiran masing-masing. Binar sudah lelah, merasa rumah tangga yang dia idamkan sudah keluar dari lajurnya, dingin dan tak lagi ramah. Tama, tidak mampu membendung egonya. Cinta pada wanita yang pernah dia perjuangkan pudar.
Alasan kenapa dia tidak terlalu menghiraukan ajakan Binar untuk memiliki anak adalah karena dia merasa belum siap dan tidak mau. Bangsat bukan? iya begitulah.