Basmara, dalam bahasa sansekerta yang berarti cinta dan tertarik. Seperti Irma Nurairini di mata Gervasius Andara Germanota, sebagai siswa anak kelas 11 yang terkenal Playboy menjadi sebuah keajaiban dimana ia bisa tertarik dan penuh kecintaan.
Namun apalah daya, untuk pertama kalinya Andra kalah dalam mendapatkan hati seseorang, Irma sudah ada kekasih, Andrew, seorang ketua OSIS yang terkenal sempurna, pintar, kaya, dan berbakat dalam non akademi.
Saat terpuruk, Andra mendapat fakta, bahwa Irma menjalani hubungan itu tanpa kemauannya sendiri. Andra bangkit dan memerjuangkan Irma agar sang kakak kelas dapat bahagia kembali.
Apakah Andra berhasil memerjuangkan Irma atau malah perjuangan ini sia-sia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 11: Dekat
Bosan, itulah yang kini Irma rasakan. Gadis itu kini merebahkan tubuhnya diatas ranjang, kaki mungilnya itu bergerak atas bawa tak bisa diam.
Irma memutar bola matanya, wajahnya nampak kesal. "Agh! Bosen banget ya Tuhan, cek ig aja dah, daripada nggak ngapa-ngapain."
Irma membalikkan badannya yang semula tengkurap menjadi telentang, dengan malas ia merangkak kecil untuk meraih ponselnya yang berada diatas nakas.
Setelah susah payah mengambil ponselnya, Irma langsung merebahkan tubuhnya dan membuka aplikasi Instagram, ia mengklik story Instagram teman-temannya.
"Narel ulang tahun, Eca jalan sama Bagas, Leona lagi ngerjain pr," ucap Irma dengan nada datar, tidak ada hal yang menarik di sg teman-temannya, namun tiba-tiba matanya terbelalak. "Loh? Ini Andra kenapa? Badannya luka-luka."
Irma melihat story Instagram Bagas, disana terlihat Andra yang terbaring diatas ranjang dikelilingi teman-temannya, terlihat jelas memar-memar di tubuhnya. Melihat itu, Irma langsung keluar dari Instagram ke WhatsApp, ke kontak Andra.
^^^Aku liat sg Bagas, kamu kenapa Dra? :Irma^^^
Andra: hehe, nggak apa-apa kak, waktu pulang, aku kan mau ke rumah kakak buat minta maaf, eh ternyata di begal preman.
Irma mengkerutkan kening ketika melihat balasan dari Andra. "Andra lewat jalan mana? Selama 17 tahun hidup gua selama tinggal disini, nggak ada tuh begal, walaupun itu pake jalan tikus."
^^^Terus kamu gimana? Pusing? Udah dibawa ke dokter? :Irma^^^
Andra: buset, banyak banget pertanyaannya. Andra: aku baik-baik aja sih sekarang, nggak terlalu pusing, nggak dibawa ke dokter sih, aku udah biasa soalnya.
^^^Ish, kok gak di cek sih: Irma^^^
Andra: Yaelah, buang-buang duit, ini cuma memar doang kok.
Irma menggertakan giginya ketika melihat pesan dari adik kelasnya itu. "Kenapa dia anggep enteng sih!" tanpa pikir dua kali, Irma langsung menekan tombol video call, dan langsung dijawab oleh Andra.
Terpampang lah wajah tampan Andra yang kini dihiasi beberapa memar biru keunguan. "Kenapa kak? Ko—"
Belum sempat Andra berbicara, Irma langsung memotongnya. "Udah nggak usah banyak tanya! Sekarang tunjukin aku luka-luka kamu, SEMUANYA."
Tanpa memperdebatkan, Andra langsung menunjukan semua lukanya, tidak ada yang sampai berdarah, hanya memar dan lecet saja di sekujur tubuhnya, dan Irma dengan hikmat memperhatikannya tanpa berkedip sedikitpun.
"Ya ampun, itu banyak banget," kaget Irma. "Pokoknya aku nggak mau tau! Besok kamu nggak boleh masuk, nanti abis pulang sekolah aku ke rumah kamu, kita ke rumah sakit."
Andra menghela napasnya, ia tak bisa berdebat, apalagi dengan Irma. "Iya, tapi kak Irma udah nggak marah kan?"
Irma terdiam, ia terlalu khawatir dengan Andra sampai melupakan apa yang membuat hatinya sesak. Melihat wajah Irma yang berubah, Andra tampak merasa bersalah. "I'm sorry kak, aku janji nggak bakal bolos lagi kok."
Entah mengapa Irma kembali tersenyum. "Nggak kok, nggak apa-apa, kamu nggak perlu minta maaf atau janji, aku udah biasa-biasa aja."
Wajah Andra tampak tak yakin. "Beneran? Kalo boong aku sumpahin kakak suka sama aku."
Irma terkekeh kecil. "Iya ganteng," ucapnya memanjangkan kata ganteng.
................
Keesokan harinya, Irma kini sudah berada didepan rumah Andra. Rumah tidak terlalu besar yang didominasi oleh cat warna putih itu tampak tenang dari luarnya.
Kaki kecilnya melangkah kedepan pintu, lalu ia menekan tombol bel. Tak lama, pintu terbuka, terlihat seorang wanita dewasa, mata birunya, kulitnya yang putih, rambutnya yang pirang, membuat Irma kebingungan, apakah ia salah rumah?
"Eh, kamu Irma ya?" tebak wanita itu dengan senyuman sangat-sangat manis.
"Iya kak, Andra nya ada?" tanya Irma.
"Ada kok," wanita itu membuka pintu lebar-lebar. "Ayo masuk, duduk dulu, kakak panggilin Andranya."
Irma mengangguk pelan, ia berjalan masuk ke dalam
rumah Andra. Terpampang ruang tamu yang amat bersih dan tidak terlalu besar, ia duduk di sofa setelah wanita itu menyuruhnya.
Wanita itu berlalu pergi, meninggalkan Irma yang duduk terdiam dengan isi kepala penuh tanda tanya. "Itu kakaknya Andra? Kalo iya sih bikin gua insecure."
Tak lama kemudian, datanglah Andra, siswa jangkung itu jalan dengan ekspresi pening. "Kak Irma," ucapnya dengan suara yang diseret.
Wanita itu memukul pelan lengan Andra. "Yeuh, makan tuh nggak apa-apa, pusing kan!"
"Apaan sih ma, ini bukan karena itu," ucap Andra, tanpa pikir panjang ia berjalan menghampiri Irma dan duduk disampingnya.
Irma cukup kaget atas kenyataan bahwa wanita di hadapannya adalah ibu Andra, ditambah Andra yang kini duduk disampingnya, menaruh kepalanya di pundak Irma lagi!
Irma terdiam menatap wajah Andra yang nampak tenang di pundaknya, dunia terasa menghening, ia hanya bisa mendengar detak jantungnya yang berdegup sangat kencang.
...........
Setelah Irma dan Andra berpamitan pada Rachel, mama Andra, mereka bergegas ke rumah sakit.
Kesal, mungkin satu kata itulah yang mendeskripsikan perasaan Andra sekarang, bagaimana tidak? Ia kini hanya meminum teh hangat sedangkan Irma meminum es teh.
Kini mereka sedang makan di sebuah restoran setelah cek di rumah sakit, sedari tadi Andra menatap Irma dengan tatapan dongkol, alhasil Irma meresponnya dengan tatapan tanda tanya. "Kamu kenapa?"
"Kenapa aku minum teh anget, kakak es teh?" ucap Andra to the point.
Irma memutar bola matanya malas. "Siapa suruh begadang? Padahal udah jelas lagi bonyok, bukannya istirahat malah main dota, demam kan."
"Siapa bilang..." Andra menjeda ucapannya karena ingus di hidungnya tiba-tiba terasa membludak, ia langsung mengambil tisu dan menyemprotkan ingusnya.
"Siapa bilang apa? Siapa bilang lagi demam? Itu, kamu nyemprotin ingus, bukannya jelas-jelas itu ciri-ciri demam?" ucap Irma yang membuat Andra merasa kalah telak.
"Ap—" bantahan Andra terpotong, kepalanya terasa sangat pusing, tubuhnya terhuyung lemas.
Tanpa berpikir dua kali, Irma langsung menahan tubuh Andra yang hampir jatuh, tanpa memedulikan es tehnya tumpah akibat tubuhnya menabrak meja.
"Kenapa? pusing banget?" Irma beranjak dari tempatnya, ia merangkul tubuh Andra.
"Ini makanannya mb— eh itu masnya kenapa?" pelayan yang baru saja datang dengan nampan yang sudah tertata rapih makanan diatasnya.
"Temen saya pusing mas, makanannya tolong di bungkus ya mas, saya mau bawa ke mobil dulu," Irma membopong Andra ke luar restoran.
"Tuh kan, makanya sia ge jangan batu! Disuruh istirahat malah begadang," omel Irma sembari membuka pintu penumpang belakang mobil Andra.
Irma merebahkan tubuh Andra. "Dah, dorong badan kamu sampe mentok," Irma beralih, membuka pintu tempat pengendara, ia menyalakan mesin mobil. "Tunggu sini, aku mau ngambil makanan."
Andra hanya bisa mengangguk pelan, melihat itu Irma langsung menutup pintu mobil. Tak lama kemudian, Irma kembali dengan plastik putih besar. "Coba duduk, kamu makan dulu baru tidur, aku suapin."
Tanpa membalas apa-apa, Andra mendudukkan tubuhnya, kepalanya mendongak, ia menggigit bibirnya, berusaha mengalihkan rasa sakit di kepalanya.
Irma terdiam sejenak melihat itu, ia baru sadar sesuatu. "Kenapa gua bisa sepeduli ini ya sama Andra? Perasaan dulu gua gak peduli sama sekali tentang dia," batin Irma dengan wajah kebingungan.
"Kak... masih lama bengongnya," lirih Andra membuyarkan lamunan Irma.
"Oh, iam sorry," Irma mengeluarkan sebuah tempat makan seperti mangkok yang berisi sayur sop yang sudah tercampur dengan nasi.
Andra sedikit kaget melihat itu. "Loh? Tumben restoran ada makanan rumahan."
Irma tersenyum kecil. "Iya, restoran Ezel ini emang terkenal dengan membuat makanan rumahan, makanya aku bawa kamu kesini, kamu suka sayur sop kan?"
Andra tampak kaget. "Loh? Kakak tau darimana?"
"Dari mama kamu lah, udah lah ayo buka mulutnya, aaa," Irma mengarahkan sendok ke mulut Andra.
Andra tersenyum, mengetahui Irma yang mulai peduli dengannya membuat hatinya menghangat. "Iya kak," ia membuka mulutnya.
Tak ada percakapan diantara mereka, sampai makanan habis. "Ih anak pinter, makanannya diabisin" puji Irma sembari mengusap pelan pucuk kepala Andra, seperti seorang Ibu yang memuji anaknya.
Irma menaruh mangkok yang kini telah kosong ke dalam plastik, kemudian ia membuka dashboard, mengambil plastik obat dan memberikannya pada Andra. "Nih minum obatnya, airnya ada di kaki kamu."
Andra tersenyum dan mengangguk, ia membuka plastik, mengeluarkan obat dari bungkusannya, ia mengambil botol minum besar di dekat kakinya, lalu Andra meminum obat itu.
"Dah, sekarang tidur aja, aku yang setir, kamu istirahat," titah Irma yang dijawab anggukan oleh Andra.
Andra kembali merebahkan tubuhnya, dan perlahan-lahan dirinya masuk ke dalam alam mimpi.