Lolly Zhang, seorang dokter muda, menikah dengan Chris Zhao karena desakan keluarga demi urusan bisnis. Di balik sikap dingin, Chris sebenarnya berusaha melindungi istrinya. Namun gosip perselingkuhan, jarak, dan keheningan membuat Lolly merasa diabaikan.
Tak pernah diterima keluarga suaminya dan terus disakiti keluarganya sendiri, Lolly akhirnya nekat mengakhiri pernikahan tanpa hati itu.
Akankah cinta mereka bersemi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
“Chris, kenapa tidak setuju?” suara Wang Li terdengar tegas, meski masih berusaha terdengar lembut. “Kalian telah lama saling kenal. Dua keluarga juga sangat dekat. Tidak ada salahnya mengundang dia ke rumah kita,” ujarnya sambil meletakkan sumpit di atas mangkuk. Tatapannya mengarah langsung ke putranya, penuh rasa ingin tahu dan sedikit menekan.
Chris menatap ibunya sejenak, lalu menarik napas dalam. “Dua keluarga dekat itu tidak ada hubungannya denganku, Ma. Yang dekat adalah kalian dengan mereka, bukan aku. Tidak ada alasan aku harus mengundang dia ke rumah. Dia bukan ratu, atau siapa pun yang harus aku perlakukan istimewa,” jawabnya dengan nada tegas, tanpa sedikit pun ragu.
Jenny, yang sejak tadi memutar sumpit di tangannya, tersenyum sinis. “Chris, apakah kau takut Lolly cemburu? Aku yakin Lolly bukan wanita yang tidak pengertian,” sindirnya, menatap ke arah Lolly dengan tatapan licik yang sulit disembunyikan.
Chris menoleh perlahan, ekspresinya dingin. “Ini adalah keputusanku sendiri. Aku tidak peduli dia artis terkenal atau siapa pun. Tidak ada hubungan dengan kita. Keluarga kita dan mereka hanya ada hubungan bisnis, bukan urusan pribadi,” katanya, kali ini suaranya terdengar tajam, membuat suasana meja makan langsung membeku.
Wang Li dan Jenny saling berpandangan, merasa tidak puas dengan sikap keras kepala Chris. Namun sebelum mereka sempat membalas, Chris sudah meletakkan sumpitnya di atas meja. “Aku sudah kenyang,” katanya singkat, lalu berdiri dan melangkah meninggalkan ruang makan.
Lolly menatap punggung suaminya yang menjauh, lalu dengan tenang meletakkan sumpitnya dan berkata pelan, "Aku juga sudah kenyang.” Ia lalu bangkit dan mengikuti Chris, meninggalkan Wang Li dan Jenny yang masih duduk dengan ekspresi kesal.
Begitu suara langkah Lolly menghilang di tangga, Jenny langsung berbisik pada ibunya, “Ma, apakah Lolly yang memengaruhi Chris? Bukankah mereka sedang tidak akur belakangan ini? Kenapa Chris malah menolak? Ini pasti karena pengaruh Lolly.”
Wang Li mendengus pelan. “Wanita itu pintar berakting. Dia berpura-pura setuju di depan Chris, tapi diam-diam menentang. Lihat saja, semuanya berubah sejak dia masuk ke keluarga ini,” ujarnya dingin sambil menatap ke arah tangga, matanya menyipit penuh kebencian yang disembunyikan di balik senyum tipis.
Beberapa saat kemudian, suasana di kamar atas jauh lebih tenang.
Lolly duduk bersandar di sofa sambil membaca majalah kedokteran. Cahaya lampu lembut menerangi wajahnya yang tampak tenang, seolah makan malam yang tegang tadi tidak pernah terjadi.
Pintu kamar mandi terbuka, dan Chris keluar dengan mengenakan jubah tidur abu-abu. Rambutnya masih sedikit basah, aroma sabun bercampur udara malam yang lembap. Ia berdiri sejenak, menatap istrinya yang tampak santai — terlalu santai bagi seseorang yang baru saja disindir di depan meja makan.
“Kenapa kau setuju dengan saran mamaku tadi?” tanya Chris tiba-tiba, suaranya tenang namun mengandung tekanan.
Lolly menoleh sebentar, lalu bertanya ringan, “Saran apa?”
“Mengundang Nana,” jawab Chris cepat. Ia menatap tajam, seolah ingin menembus wajah tenang istrinya. “Kau tahu hubunganku dengan dia… di masa lalu.”
Lolly meletakkan majalah di pangkuannya, lalu menatap suaminya tanpa emosi. “Kalian sudah saling kenal sejak dulu, bukan? Lagi pula bukankah kau sendiri yang bilang aku tidak berhak ikut campur dalam masalah pribadimu?” ucapnya lembut namun tajam.
Chris mengerutkan kening. “Lolly Zhang, aku suamimu. Apakah kau tidak keberatan kalau suamimu membawa mantan kekasih ke rumahnya sendiri?” tanyanya, nada suaranya mulai naik sedikit karena jengkel melihat ketenangan Lolly yang tak tergoyahkan.
Lolly mengangkat wajahnya, menatap langsung ke arah Chris. “Aku hanya ikut keinginanmu, Chris. Kenapa kau malah menyalahkanku sekarang? Lagi pula… aku juga punya hak untuk cemburu, bukan?” katanya dengan nada datar, namun tatapannya tajam seperti belati yang menusuk halus.
Chris terdiam. Ia menatap istrinya lama, mencoba membaca perasaan di balik ekspresi tenang itu, namun yang ditemuinya hanya dinding dingin — tenang, tapi tak dapat ditembus.
Ia mengembuskan napas, lalu berkata lebih pelan, “Ada satu hal lagi…”
Lolly menoleh. “Apa lagi?”
“Kenapa perhiasan yang aku berikan tidak pernah kau pakai?” tanya Chris. “Perhiasan yang aku beli dari luar negeri, kenapa aku tidak pernah melihatmu memakainya?”
Lolly menatapnya sejenak, lalu kembali membuka majalahnya, tersenyum tipis. “Aku seorang dokter. Mana mungkin aku memakai perhiasan saat menangani pasien? Itu tidak pantas.”
“Apa yang ada di pikirannya?” batinnya. “Kenapa dia tidak bertanya sama sekali tentang gosipku dengan Nana?”
“Atur waktu untuk ke kantor, urus perceraian,” katanya datar. Suaranya tenang, seolah keputusan itu hanyalah hal kecil. Setelah itu, ia berdiri, hendak melangkah ke arah tempat tidur.
Namun langkahnya tertahan. Dalam satu gerakan cepat, Chris menariknya, mendekapnya ke dalam pelukan yang erat — pelukan yang mengandung amarah, kebingungan, dan rasa takut kehilangan yang tak ingin ia akui.
“Apa kau seorang wanita yang tidak memiliki perasaan?” tanyanya pelan namun tegas, menatap wajah istrinya dari jarak begitu dekat.
Lolly menatapnya balik dengan sorot mata yang tenang. “Perasaan apa yang kau harapkan dariku, Chris?” suaranya dingin, tapi tak ada kebencian di dalamnya.
“Perasaan sebagai seorang istri,” jawab Chris, suaranya melemah, hampir seperti bisikan yang penuh kerinduan.
Lolly tersenyum tipis, senyum yang menyakitkan. “Untuk saat ini… bukankah sudah terlambat membahasnya?” katanya pelan, sambil menunduk sedikit, mencoba melepaskan diri dari pelukannya.
Chris menatapnya dalam-dalam, lalu menggeleng pelan. “Kita belum bercerai,” ujarnya dengan nada yang dalam. “Tidak ada kata terlambat.”
Lolly menarik napas panjang, menatap suaminya dengan mata yang mulai berembun, tapi ia tetap tegar. “Lalu, apa yang kau harapkan dariku? Aku tidak bisa berperan sebagai istrimu terus-menerus… seolah semuanya baik-baik saja.”
Pelukan Chris justru semakin erat, suaranya meninggi sedikit, sarat emosi yang terpendam. “Apakah karena ada orang lain yang mendekatimu?”
Lolly menghela napas panjang, menatap matanya lekat. “Aku tidak sehebatmu, Chris. Aku hanyalah seorang wanita biasa yang kebetulan menjadi dokter. Di sisiku tidak ada aktor atau model yang menghebohkan seluruh ibu kota,” ucapnya pelan, tapi setiap katanya seperti pisau yang menusuk perlahan ke hati Chris.
Chris terdiam. Tatapannya menurun, lalu tanpa berpikir panjang, ia mencium istrinya — sebuah ciuman yang tiba-tiba, sarat emosi, bukan karena gairah semata, tapi karena rasa takut kehilangan. Tangannya menahan wajah Lolly dengan lembut, sementara tubuhnya memeluk semakin erat, seolah tak ingin memberi ruang sedikit pun untuk jarak.
Namun Lolly hanya terdiam. Ia tidak membalas, juga tidak menolak. Ia membiarkan Chris mengekspresikan perasaannya dengan caranya sendiri.
Bagi Lolly, semuanya sudah lewat. Apa pun yang mereka bagi malam itu bukan lagi tentang cinta — melainkan perpisahan yang tertunda.
saya sudah vote
😄😄