Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Siang itu, kafe di sudut Jakarta tampak sepi. Hanya suara alat penggiling kopi dan dentingan sendok yang terdengar sesekali.
Anisa datang tepat waktu, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana kulot krem. Rambutnya diikat setengah, wajahnya bersih tanpa banyak riasan. Iya baru saja pulang kuliah.
Ia menatap sekeliling, mencari seseorang. Tak lama kemudian, seorang pria dengan jas abu-abu dan wajah tenang memasuki kafe itu.
Bima.
Langkahnya mantap, tatapannya dingin dan terukur. Ia terlihat seperti seseorang yang tahu apa yang ia mau dan apa yang tidak.
Anisa berdiri sopan ketika laki-laki itu mendekat.
“Selamat siang, Mas Bima,” ucapnya hati-hati.
Bima hanya mengangguk tipis, lalu duduk di hadapannya.
“Gue nggak suka basa-basi,” katanya datar. “Jadi gue akan langsung ke inti pembicaraan saja.”
Anisa menelan ludah, berusaha tetap tenang. “Silakan, Mas.”
Bima membuka map hitam di tangannya, lalu mengeluarkan beberapa lembar kertas tebal dengan kop notaris di bagian atas. Ia mendorongnya pelan ke arah Anisa.
“Ini surat perjanjian kita. Kalau kamu setuju dengan semuanya, kita bisa langsung tandatangani hari ini.”
Anisa mengernyit. “Perjanjian?”
Bima bersandar di kursinya, menatap Anisa tanpa ekspresi.
“Pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan. Ini hanya pernikahan kontrak, selama enam bulan.”
Anisa terdiam. Suara di sekelilingnya seolah menghilang.
“Enam bulan?” ulangnya pelan.
“Ya,” jawab Bima singkat. “Setelah itu, kita akan bercerai dengan alasan yang sudah gue siapkan. Gue cuma butuh lo untuk ikut kerja sama.”
Anisa mengambil lembaran itu dengan tangan sedikit gemetar. Tulisan resmi di atas kertas itu terasa dingin, seolah-olah setiap kata di sana mengunci nasibnya.
Ia membaca perlahan.
Poin pertama membuat dadanya sedikit lega:
“Tidak ada hubungan fisik atau sentuhan pribadi antara kedua belah pihak selama masa kontrak berlangsung.”
Ia menarik napas lega. Setidaknya, laki-laki di depannya ini tidak akan menyentuhnya.
Namun, matanya kemudian beralih ke bagian lain.
“Tidak ada kewajiban untuk memberikan pelayanan dalam bentuk apapun, termasuk memasak, mencuci, atau melayani kebutuhan pribadi pihak pria.”
Ia kembali mengangguk kecil.
“Baik,” gumamnya pelan.
Tapi kemudian, matanya berhenti di poin terakhir yang membuat hatinya terasa mencelos.
“Pihak wanita tidak diperkenankan mengekang, melarang, atau mempertanyakan kegiatan pribadi pihak pria, termasuk hubungan sosial maupun pertemuan dengan pihak ketiga bernama Luna.”
Nama itu jelas tercetak tegas di sana — Luna.
Anisa terdiam cukup lama.
“Luna… itu?”
Bima menatap langsung ke matanya, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Ya. Pacar gue, yang kemaren tas nya lo siram jus.”
Anisa membeku.
Bima meneguk kopinya, lalu menambahkan,
“Gue rasa lo udah tahu bahwa pernikahan ini hanya formalitas untuk memenuhi permintaan Mama gue. Jadi gue ingin semuanya jelas dari awal. Lo dan gue hanya akan terlihat seperti pasangan yang harmonis di depan orang tua gue atau di depan ibu lo. Di luar itu, kita orang asing.”
Hening.
Anisa memandangi kertas di tangannya lama. Kata “orang asing” itu menggema di pikirannya.
Namun di sisi lain, ia teringat wajah Bu Ratna dan tawaran mulia yang datang bersamaan dengan pernikahan ini, villa besar yang akan diserahkan untuk panti asuhan.
Ia teringat wajah adik-adik panti yang selama ini hidup sederhana, bahkan harus menunggu sumbangan setiap bulan untuk sekadar makan layak.
Jika ia mundur sekarang… semua itu akan hilang.
“Baiklah, aku setuju,” ucap Anisa akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan.
“Aku akan tanda tangan.”
Bima menatapnya sejenak, mungkin sedikit terkejut karena gadis itu tidak banyak menawar.
“Lo yakin? gue tidak memaksa. Kalau lo tidak sanggup....”
“Aku sudah bilang iya, Mas,” potong Anisa pelan tapi tegas. “Aku tidak punya alasan untuk menolak. Lagipula… kontrak ini melindungiku juga, bukan? jadi aku gak akan rugi apa-apa.”
Bima menatapnya beberapa detik lagi, lalu perlahan mengangguk. “Baiklah kalau gitu.”
Ia mengambil pulpen, menyerahkannya pada Anisa.
“Silakan tanda tangani di bawah. Dua salinan, satu untuk gue, satu untuk lo. dan simpan surat itu baik-baik jangan sampai ada orang lain yang melihatnya, terutama orang tua gue.”
Tangan Anisa sempat ragu beberapa detik sebelum akhirnya pena itu menari di atas kertas.
Tanda tangan kecil itu menjadi saksi bisu bahwa hidupnya baru saja berubah arah.
Setelah ia menulis tanda tangan terakhir, Bima juga menandatangani bagian miliknya.
“Mulai hari ini, lo resmi jadi calon istri gue,” katanya datar. “Kita akan menikah minggu depan. Semua sudah diurus oleh Mama gue. download tenang saja pernikahan ini private dan tidak akan dipublish sampai lo tamat kuliah, itu sih kata nyokap gue, tapi kan enam bulan kemudian kita akan bercerai jadi lo nggak perlu khawatir."
Anisa menunduk, meremas jari-jarinya sendiri.
“Terima kasih sudah… memberi kejelasan, Mas.”
Bima berdiri, membereskan berkasnya tanpa banyak berkata.
Sebelum pergi, ia sempat berkata pelan,
“Jangan berharap terlalu banyak dari pernikahan ini. Karena gue tidak punya apa pun untuk ditawarkan selain nama belakang keluarga gue.”
Begitu Bima pergi, Anisa masih duduk di kursinya cukup lama.
Ia menatap tanda tangannya sendiri di atas kertas, mencoba memahami keputusan yang baru saja ia buat.
Tidak ada cinta.
Tidak ada sentuhan.
Tidak ada janji kebahagiaan.
Tapi ada harapan kecil bahwa mungkin, lewat pernikahan ini, ia bisa menyelamatkan masa depan panti, masa depan anak-anak yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri.
Ia memejamkan mata, menarik napas panjang.
“Enam bulan saja, Nisa…” gumamnya pada diri sendiri. “Enam bulan, dan semuanya akan berakhir. Kamu pasti bisa."
Bima saat ini sudah berada di kantornya, ia menelepon seseorang dengan suara rendah tapi tenang.
“Semua sudah beres, Sayang,” ucapnya. “Dia sudah tanda tangan. Nggak ada masalah sama sekali.”
Suara Luna di seberang terdengar lega.
“Bagus. Jadi kamu nggak perlu repot-repot lagi pura-pura baik di depan dia. Aku gak suka."
Bima tersenyum tipis. “Tenang saja, Hon. Aku tahu caranya. Dia cuma alat untuk menyelamatkan warisan keluarga. Setelah enam bulan, semuanya akan kembali seperti semula. Aku dan kamu nggak ada yang bisa ganggu kita lagi, kita akan hidup bahagia selama nya.”
Luna tertawa kecil. “Aku suka dengar kamu ngomong kayak gitu.”
Bima menatap langit sore yang mulai oranye keemasan.
“Percayalah, Sayang,” ucapnya pelan. “Nggak ada yang bisa gantiin kamu. Apalagi gadis polos itu, lagian apasih yang membuat mama mau jadiin dia menantu, apa yang sudah dia perbuat. Mama bukanlah orang yang gampang di dekati. Luna saja sudah tiga tahun tapi belum bisa mengambil hati mama.”