Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
22
Karena Kania masih bekerja freelance, jadi Kania bisa bekerja dari mana saja. Dan ia memutuskan bekerja di cafe, mencari suasana baru. Kania juga janjian dengan Maya untuk bertemu siang ini di cafe.
Kania, terlihat sibuk, duduk di depan laptop. Fokus dengan pekerjaannya. Kania tampak kembali ke ritme saat ia masih di kota. Namun, di sela-sela kesibukannya, ia sesekali berhenti, menghela napas pendek, dan menatap jauh. Kania hanya bekerja keras untuk mengisi kekosongan.
Tiba-tiba, Maya, muncul membawa dua cangkir kopi. Hari ini maya terlihat sangat stylish dan sangat cantik.
Maya meletakkan satu cangkir di depan Kania. “Di kejar deadline? Ingat, jangan terlalu dipaksakan. Ini, minum dulu..racikan baru minuman favorit kita.”
Kania tersenyum tipis. Mengingat selama di desa ia jarang minum kopi—karena Bara akan memarahinya.
Kania mengambil cangkir. “Makasih cantik, untuk secangkir kopinya.”
“Dari dulu kaliiii..berapa kerjaan yang kamu ambil? Jangan bilang ini pelarian dari patah hati-mu..”
“Hanya ini satu-satunya agar aku cepat melupakannya. Bahkan cafe ini mengingatkan-ku pada Kedai Senja Ranu yang sederhana. Kopi ini mengingatkanku pada-nya, yang dengan tekun menggiling biji kopi secara manual..” Kania menghela napasnya.
“Aku harus kuat, May. Ngambil kerjaan banyak salah satu cara agar aku bisa move-on.”
Maya mengangguk paham. “Kadang, pergi itu bukan berarti kalah, tapi itu adalah cara untuk memilih diri sendiri .”
“Kemarin dia menelepon-ku lagi, aku mengangkatnya.” Maya dengan tenang menunggu penjelasan Kania selanjutnya. “Dia meminta maaf, karena tidak percaya, tidak mendengar penjelasanku. Kukatakan sudah terlanjut kecewa padanya, ketika dia dengan segala pikirannya bukan mengonfrontasi padaku, tapi dia malah memilih kenyamanan dari perempuan lain.”
“Bagus. Sekarang, ga usah sedih-sedih lagi deh, weekend kita ngemall seharian, me time lah..”
Kania tertawa, mengangguk, lalu meraih cangkir kopinya. Ia menyeruput, merasakan kehangatan yang jujur dan tulus dari persahabatan, bukan kehangatan yang penuh keraguan.
******************************************
Dini masuk ke kedai Senja Ranu. Kedai itu terasa lebih dingin dan sunyi daripada biasanya. Terlihat Bara sedang sibuk membersihkan meja di sudut, tampak tertekan dan tidak mengangkat kepalanya.
Dini tidak menyapa Bara. Ia berjalan lurus menuju bangku kecil di dekat jendela, tempat yang selalu menjadi tempat ia dan Kania bercanda gurau. Dini duduk. Rasa sepi langsung menusuk. Di bangku itu, Kania sering duduk berjam-jam, mengetik di laptopnya, sambil sesekali bercanda atau mengeluh tentang Bara kepada-nya.
Dini menyentuh permukaan meja, tempat Kania biasa meletakkan cangkir teh nya. “Seharusnya mbak Kania ada di sini. Tapi…bangku ini kosong.”
Dini mengeluarkan ponselnya. Ia membuka galeri foto. Di sana terdapat beberapa swafoto dirinya bersama Kania, dengan latar belakang pohon kopi di kebun Bara. Di foto Kania terlihat cerah dan penuh tawa.
“Kenapa mbak Kania tidak cerita? Aku tahu kamu terluka olehnya. Tapi…kenapa mbak Kania harus pergi gitu aja? Aku sahabatmu kan, mbak.?”
Meskipun Dini memahami alasan Kania pergi—melarikan diri dari pengabaian Bara—ia tetap merasa tidak dianggap oleh kepergian Kania yang tanpa pamit.
“Aku kira persahabatan kita lebih kuat. Tapi ternyata, luka yang dibuat mas Bara membuatmu harus memutus semua ikatan, bahkan yang tulus sekalipun.”
Dini mendongak, matanya bertemu dengan Bara yang kini berdiri di balik meja kasir, menatapnya dengan pandangan yang kosong. Bara sama menderitanya, tetapi kesedihan mereka berasal dari sumber yang berbeda.
Dini mengalihkan pandangannya, menolak mengakui keberadaan Bara. Kesedihan Dini murni karena kehilangan Kania, bukan untuk drama yang disebabkan oleh Bara.
Sebelum melangkah keluar, Dini menoleh ke arah Bara. “Desa Ranu Asri terasa hampa sekarang, Bara. Dan itu karenamu…”
Dini keluar dari kedai, meninggalkan Bara sendirian di tengah senja yang kini terasa semakin hening.
***********************************
Laras masuk ke kedai senja. Ia mengenakan pakaian yang lebih rapi dan terlihat berusaha ceria. Ia melihat Bara duduk sendirian, merenung di balik meja kasir.
“Hai, Bara. Ini aku bawakan kue kesukaanmu…” ujar Laras dengan suara ceria yang di paksakan.
Laras meletakkan sekotak kue di meja kasir. Bara mendongak, matanya terlihat lelah.
”Terima kasih, Ras.” Jawab Bara datar.
Laras duduk di bangku seberang Bara. “Aku tahu ini berat. Aku tahu kepergian Kania menyakitkan bagimu, tapi…bukankah ini saatnya kita fokus? Bukankah sebelum Kania kita selalu menghabiskan waktu bersama? Seperti sore itu di kebun kopi.”
Laras meraih tangan Bara, mencoba memberinya kehangatan. Bara tidak menarik tangannya, tetapi ia juga tidak membalas genggaman tangan itu.
Bara menggeleng pelan. “Kamu tidak mengerti, Ras.”
“Apa yang tidak ku mengerti, Bar? Sekarang kita bisa membangun ulang semuanya, seperti sebelum kedatangan Kania di desa ini.”
Kata-kata Laras tentang ‘membangun ulang’ justru mengingatkan Bara pada semua upaya tulus Kania. Bara menarik tangannya.
Bara menatap Laras dengan kejujuran yang menyakitkan. “Kau adalah alasan aku lari dari masalahku, Ras. Bukan solusi dari masalahku.”
Wajah Laras langsung membeku. “Apa maksudmu? Kau bersamaku karena kau ingin bersamaku! Kau yang menghubungiku, kau yang mengajakku ke kebun kopi waktu itu.”
“Aku tahu. Dan itu adalah kesalahan terbesarku. Aku lari dari tanggung jawabku pada Kania dan aku tidak memercayainya, hanya untuk mencari kenyamanan palsu.”
Bara berdiri, menjauh dari Laras. “Disamping Kania, kedai ini punya jiwa. Di sampingmu…aku hanya merasa hampa dan pengecut. Aku kehilangan orang yang paling berharga karena aku memilih jalan yang salah, dan itu adalah kamu.”
Laras berdiri, matanya berkaca-kaca karena tersakiti. “Jadi…kau kembali bersamanya? Kamu akan mengejar Kania setelah semua yang kamu lakukan padanya?”
Bara menggeleng. “Tidak. Kania sudah pergi. Aku hanya menyadari…aku tidak bisa bersamamu.”
Laras menghela napas, menyadari bahwa hatinya juga hanya digunakan sebagai pelarian oleh Bara. Laras mengambil kembali kotak kuenya dan berjalan keluar dari kedai tanpa berkata apa-apa lagi.
***************************************
Bara terbaring lemah di tempat tidurnya. Ia demam tinggi. Penyakit akibat dari kelelahan fisik dan emosional dan stres yang ia alami.
Ibu Wati duduk di sisi tempat tidur, mengompres dahi Bara dengan handuk basah. Raut wajahnya penuh kekhawatiran. “Jangan menyiksa dirimu sendiri, Nak. Lihatlah yang terjadi kamu jatuh sakit.”
Bara membuka matanya yang sayu. “Maaf ya Bu, sudah merepotkan.”
Ibu menghela napasnya. “Ibu tahu kamu mencintai Kania. Kalau tidak, kamu tidak akan seperti ini.”
Bara menggeleng pelan. “Sudah terlambat, Bu. Kania bilang jangan menghubunginya lagi. Saya sudah merusak semua kepercayaan nya, saya lari…”
“Terlambat jika kamu hanya meratapi kesalahanmu di sini! Kamu menyakitinya karena keegoisanmu. Lalu kamu mau jadi pengecut dengan tidak mengejarnya kembali?”
Bara terdiam, menatap langit-langit.
“Jika kamu menyesal dan masih sayang Kania, kejarlah dia ke kota! Pergi dari desa ini. Tunjukkan padanya bahwa kamu rela meninggalkan semua kenyamananmu di sini demi meminta maaf dengan tulus, demi menunjukkan bahwa kau kini bersedia berjuang untuk mengembalikan kepercayaannya.”
Ibu Wati memegang tangan Bara, memberinya kekuatan.
“Jangan hanya menunggu. Kamu tidak bisa berharap dia yang kembali ke tempat di mana hatinya dihancurkan. Kejarlah. Setidaknya, kau akan tahu kamu sudah melakukan segala yang kamu bisa.”
Kata-kata Ibu Wati menyadarkan kesadaran Bara. Ia menyadari bahwa tindakan adalah satu-satunya cara untuk membuktikan penyesalannya.
Matanya mulai membulatkan tekad. “Saya akan sembuh, Bu. Dan akan mengejar Kania.”
Ibu Wati tersenyum, lega melihat Bara akhirnya menemukan harapan dan tujuan lagi.
**********************************
Dini sedang berjalan santai dari Balai Desa setelah menghadiri komunitas tenun, ketika tiba-tiba langkahnya di hadang oleh Laras. Wajah Laras tampak tegang, dipenuhi kekesalan dan rasa malu.
Laras dengan suara keras.datang dengan nada menuduh. “Kau senang, kan? Kau puas melihat Bara menderita setelah gadis kota itu pergi?”
Dini mengerutkan kening. “Apa maksudmu, mbak Laras? Jangan cari masalah deh…”
“Jangan pura-pura tidak tahu! Kamu dan gadis kota itu sama saja! Kamu pasti senang melihatku ditolak oleh Bara setelah Kania meninggalkan drama picisan nya di sini.”
Dini tertawa sinis. “Drama picisan? Ga salah…mbak Kania pergi karena mas Bara egois dan pengecut.”
Laras meninggikan suaranya, emosinya telah memuncak. “Kalau dia tulus mencintai, dia tidak akan lari! Dia harusnya berjuang!”
Suara Dini kini meninggi, siap untuk membela Kania. “Jaga bicaramu mbak Laras. Mbak Kania pergi karena mas Bara lari dari masalah. Dan kamu muncul di tengah-tengah konflik mereka. Dan sekarang mbak Laras malah menyalahkan mbak Kania? Sadar mbak, kamu tidak lebih dari selingan mas Bara. Karena nyatanya setelah mas Bara mencintai Kania sedalam itu.”
Laras hampir berteriak. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang Bara dan aku.”
Dini melangkah maju, menatap Laras. “Aku tahu cukup banyak. Aku tahu kamu mencari kesempatan. Dan sekarang, saat kesempatanmu gagal dan Bara sadar betapa buruknya pilihannya, kamu melampiaskannya pada orang lain!”
Laras mengangkat tangan, seolah ingin menampar Dini, tetapi ia menurunkannya lagi karena tatapan mata Dini dan kerumunan warga yang menyaksikan. Laras tidak ingin citranya sebagai guru dan wanita terpelajar di desa ini semakin hancur.
Laras mengambil napas, mencoba mengendalikan diri, tapi suaranya bergetar. “Ini belum selesai. Kamu dan Kania akan menyesal sudah merusak semuanya.”
Laras berbalik dan berjalan cepat menjauhi kerumunan warga yang mendekat ingin tahu. Dini mengambil napas dalam-dalam, mengatur emosinya. Ia melihat ke kerumunan dan hanya mengangguk kecil. Dini membela Kania hingga akhir, memperkuat citra Kania sebagai korban yang benar di mata warga desa.