Kumpulan kisah misteri menceritakan tentang cerita legenda misteri dan horor yang terjadi di seluruh negeri berdasarkan cerita rakyat. Dalam kisah ini akan di ceritakan kejadian-kejadian mistis yang pernah terjadi di berbagai wilayah yang konon mwnjadi legenda di seluruh negeri bahkan banyak yang meyakini kisah ini benar-benar terjadi dan sebagian kisah masih menyimpan kutukan sampai sekarang, Di rangkai dalam kisah yang menyeramkan membuat para pembaca seperti merasakan petualangan horor yang menegangkan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqbal nasution, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2e. Kisah Lembide: Penunggu Laut Tawar
Sore itu, sinar matahari jingga memantul di permukaan Laut Tawar. Dino masih asyik berenang, menepuk-nepuk air sambil tertawa kecil. Teman-temannya sudah lama berteriak:
“Dino, ayo pulang! Hari sudah mau gelap!”
Namun Dino hanya menjawab singkat, “Sebentar lagi!”
Satu per satu teman-temannya akhirnya meninggalkannya. Sunyi perlahan menyelimuti tepian danau.
Dino menatap jauh ke tengah air, tiba-tiba matanya menangkap sesuatu. Sebuah tikar indah terbentang di atas permukaan danau. Tikar itu berkilau seolah ditenun dari emas, bergoyang pelan seakan mengundangnya.
“Indah sekali… kalau kubawa pulang, pasti Ibu senang,” gumamnya.
Dengan semangat, Dino berenang ke arah tikar itu. Setiap kali ia mendekat, tikar itu seolah menjauh sedikit, membuatnya terus berenang lebih jauh ke tengah.
Saat tangannya hampir menyentuh… tiba-tiba tikar itu berguncang hebat. Warnanya berubah hitam pekat, serabut-serabutnya menjelma menjadi sisik licin. Sekejap mata, tikar itu berubah menjadi seekor ikan lele raksasa sebesar kerbau, dengan kumis panjang yang bergetar menyeramkan.
Mata ikan itu merah menyala, menatap langsung ke arah Dino.
“Aaaahhh!” Dino menjerit, mencoba berenang menjauh.
Tapi terlambat. Tubuh ikan lele raksasa itu menggulung, kumisnya melilit tubuh Dino seperti tali hidup. Dengan satu hentakan kuat, Dino diseret ke bawah permukaan air.
Byuuuurrr!
Gelembung-gelembung besar naik ke atas. Permukaan danau berguncang, lalu kembali tenang, seolah tak pernah ada seorang anak pun yang berenang di sana.
Di tepian, hanya tersisa baju Dino yang terapung, hanyut perlahan ke arah batu-batu besar.
Saat itu juga, dari kejauhan terdengar suara serak yang mirip sekali dengan Teungku Bide:
“Dino sudah menjadi milikku…”
Malam itu juga, kabar buruk menyambar desa. Seorang anak lelaki hilang di danau—dan anak itu adalah Dino, putra tunggal Mutia.
Ketika mengetahui Dino tenggelam, Mutia langsung berlari ke tepian Laut Tawar. Napasnya tersengal, wajahnya pucat, matanya liar mencari sosok anaknya di antara riak air.
“Dino! Dino, nak! Jawab Ibu!” teriaknya dengan suara serak.
Namun yang ada hanya keheningan. Hanya sisa gelembung di permukaan air yang pelan-pelan lenyap.
Para warga desa segera datang membawa obor dan perahu kecil. Mereka berteriak-teriak, memanggil nama Dino, sambil menyusuri tepi danau. Beberapa orang bahkan nekat berenang menyelam dengan harapan menemukan tubuh Dino.
Malam itu Laut Tawar dipenuhi suara-suara panik, orang-orang berlarian, membawa jaring, bambu panjang, apa saja yang bisa digunakan untuk mencari.
Namun hingga fajar menyingsing, Dino tak ditemukan.
Mutia terduduk di tepi danau, tubuhnya lunglai. Air matanya jatuh tanpa henti, bercampur dengan percikan embun pagi. Ia meremas baju basah Dino yang terdampar di tepi batu, menempelkannya ke wajah, mencium sisa bau anaknya.
“Ya Allah… kenapa bukan aku saja yang Kau ambil… jangan Dino… jangan anakku satu-satunya…” isaknya pecah.
Beberapa perempuan desa memeluk Mutia, mencoba menenangkannya. Tapi suara tangisnya menggema, memecah kesunyian pagi.
Warga desa mulai berbisik-bisik, ketakutan menyelimuti mereka.
“Ini bukan hanya tentang anak hilang…”
“Jin penunggu Laut Tawar sudah menjemput korban lagi…”
“Dan kali ini, yang dibawa adalah darah daging Mutia…”
Sesepuh desa dipanggil. Dengan wajah muram, ia menatap ke arah danau yang berkilau tenang namun menyimpan rahasia kelam.
“Sejak Teungku Bide membuka jalan gaib itu, Laut Tawar tidak lagi sama. Dino kini telah menjadi bagian dari kutukan para makhluk tak kasat mata…”
Mutia terdiam, tubuhnya gemetar. Di hatinya, ia tahu, ini bukan akhir—ini baru permulaan dari malapetaka yang lebih besar.
Sesepuh desa duduk bersila di hadapan warga. Suaranya berat, penuh wibawa namun getir.
“Dino tidak lagi bersama kita. Ia sudah dibawa ke dunia lain… menjadi bagian dari penunggu danau. Semua ini akibat kutukan yang lahir dari keserakahan Teungku Bide. Dan kini, roh Bide pun tidak tenang—ia menjadi perantara iblis untuk menagih korban.”
Mendengar itu, Mutia meraung, tubuhnya bergetar hebat.
“Tidak… jangan Dino! Kembalikan anakku! Kembalikan dia!”
Sejak hari itu, hidup Mutia berubah. Ia berjalan tanpa arah, rambutnya kusut, matanya merah dan kosong. Kadang ia berdiri di tepi danau, berbicara sendiri seolah memanggil anaknya.
“Dino, nak… Ibu di sini… pulanglah… jangan tinggalkan Ibu sendiri…”
Warga desa hanya bisa memandang dengan iba. Beberapa mencoba menenangkannya, namun Mutia seperti tak mendengar.
Malam hari lebih menyeramkan. Ketika ia tertidur sejenak, bayangan Teungku Bide selalu muncul dalam mimpinya. Wajahnya pucat, tubuhnya berlumuran lumpur, dan dari bibirnya menetes air danau yang hitam pekat.
“Mutia… Dino sudah di sisiku… kau juga akan menyusul…”
Kadang ia terbangun mendengar suara itu nyata, bukan lagi mimpi. Dari arah danau terdengar jelas suara serak, bergema di tengah kabut malam:
“Mutia… Mutia… ikutlah bersama Dino…”
Mutia menutup telinganya, namun suara itu semakin dekat, seakan berbisik langsung di samping telinganya.
Hari demi hari, batinnya terkoyak. Mutia bukan lagi perempuan cantik yang tegar—ia kini seperti bayangan hidup, berjalan linglung di jalan desa, menangis dan tertawa sendiri.
Warga mulai berbisik:
“Kutukan Lembide bukan hanya mengambil Dino… tapi juga merenggut kewarasan Mutia.”
Dan semenjak itu, Laut Tawar semakin dianggap sebagai tempat keramat, berbahaya, dan penuh rahasia kelam.
Malam itu bulan pucat menggantung di langit. Angin dingin berhembus dari arah Laut Tawar, membuat pepohonan di sekitarnya berdesir lirih.
Mutia, dengan rambut kusut dan mata liar, berlari tanpa alas kaki menuju danau. Tangannya menggenggam golok tajam, nafasnya terengah penuh amarah.
“Bideee! Kau iblis! Kembalikan anakku! Jangan sembunyikan dia dariku!” teriaknya lantang, suaranya bergema di tengah malam.
Air danau bergelombang pelan, lalu dari tengah muncul sebuah tikar mengapung, indah dan berkilau. Tikar itu bergerak perlahan ke arah Mutia, seakan menantangnya.
Tanpa ragu, Mutia terjun ke air. Dengan amarah yang membutakan, ia berenang menuju tikar itu sambil mengangkat golok tinggi-tinggi.
“Ini untukmu, Bide laknat!”
Golok itu dihantamkan keras-keras ke tikar. Tapi seketika, kilau tikar meredup, berubah menjadi kulit basah yang berlendir. Dalam hitungan detik, wujud itu menjelma kembali menjadi ikan lele raksasa sebesar kerbau, matanya merah menyala, kumisnya panjang bergetar.
Makhluk itu meraung, lalu melilit Mutia dengan tubuh licin dan kumis besarnya.
“Aaaaaaahhh!” jerit Mutia menggema, goloknya terlepas dan tenggelam ke dasar. Ia meronta, namun jeratan itu semakin kuat.
Dalam sekejap, tubuhnya tergulung, ditarik ke bawah permukaan air. Suara cipratan keras terdengar, lalu hening.
Permukaan danau kembali tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Hanya riak-riak kecil yang tersisa, lalu lenyap ditelan kabut malam.
Di tepian, warga yang diam-diam mengikuti teriakannya hanya bisa terpaku, wajah mereka pucat pasi. Mereka melihat jelas bagaimana Mutia ditelan oleh kegelapan danau.
Sejak malam itu, orang-orang percaya: Mutia telah menyusul Dino, menjadi bagian dari penunggu Laut Tawar, bersama makhluk halus dan roh Teungku Bide.