menceritakan kisah cinta antara seorang santriwati dengan seorang Gus yang berawal dari permusuhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riyaya Ntaap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sebuah fakta
**
" Kamu kok ga bilang kalau balik dari pondok? " Lingga tampak berbinar melihat kedatangan diva di markas nya.
Sorot mata diva terlihat begitu datar, tak ada lagi aura aura bahagia seperti biasanya ketika bertemu dengan lingga. Kedua tangan diva ia masukan ke dalam saku jaketnya.
" Abang kok ga bilang kalo nikah sama adek kelas diva dulu? " Bukannya menjawab pertanyaan lingga, diva dengan santainya melayangkan pertanyaan itu pada lingga.
Pria itu tampak salah tingkah begitu di layangkan pertanyaan yang begitu ingin Ia sembunyikan dari diva. Lingga begitu mencintai diva, ia tidak ingin kehilangan diva hingga ingin menyembunyikan perkara pernikahan nya dari diva.
Namun lingga lupa, bahwa Azka jelas jelas datang ke acara pernikahan nya. Lingga juga tidak tau sekaligus terkejut saat melihat kedatangan Azka. Ia sama sekali tidak mengundang Azka, itu sebabnya ia terkejut dengan kedatangan pria itu.
Setelah acara pernikahan selesai, barulah ia mengetahui sebuah fakta bahwa kedatangan Azka itu atas undangan yang di kirimkan oleh indah, wanita yang sudah menjadi istrinya.
" Kamu tau? " Tanya lingga, terdengar begitu ambigu.
Diva terkekeh kecil, ia menatap lingga dengan tatapan menyepelekan.
" Jahat! " Desis diva.
Lingga menundukkan kepalanya, ia merasa begitu bersalah pada diva. Bukan keinginan nya menikah dengan indah, namun itu semua sudah di atur oleh orang tuanya.
" Maaf div.... "
Diva hanya terkekeh saja, mendengar secuil kata maaf dari lingga. Gadis itu mendongakkan kepalanya, serta menarik nafasnya begitu dalam.
" Ga ada niatan buat ngejelasin gitu? Ini tiba tiba banget loh. Untung diva ga serangan jantung begitu dapat kabar ini. "
Lingga menghela nafas panjang, tadinya ia hendak menarik tangan diva dan menggenggamnya dengan erat, namun melihat sorot mata diva yang tidak bersahabat saja sudah membuatnya berfikir dua kali.
" Abang terpaksa div... "
" Terpaksa? Kok bisa? Kepergok warga kah? Ah mainnya kurang rapih itu, mau diva ajarin ga? " Diva langsung mencerca lingga dengan berbagai pertanyaan yang menyepelekan lingga. Anggap saja sebagai sindiran sinis dari diva.
" Div.... "
" Apaa? Mau bilang apa? "
" Ini juga bukan kemauan Abang, div.... "
" Terus kemauan siapa? Pemerintah? DPR? DPD? Ajaa ajaa ada beliau ini. " Diva memutar bola matanya dengan malas, ia menarik salah satu kursi dan langsung duduk dengan kaki kiri yang bertumpu pada kaki kanan.
" Abang serius, div. Abang ga ada niatan buat nikah sama cewe lain. Ini semua tuh kemauan orang tua Abang. "
" Iyain dehh, ayoo balapan. " Tantangnya.
Lingga menggelengkan kepalanya pelan, menolak ajakan diva yang ingin balapan dengannya. Lingga tau bahwa diva tidak siap dari segala sisi. Emosi nya sedang kacau saat ini, di tambah lagi dengan wajahnya yang kelihatan pucat, lingga bisa menebak bahwa pasti saat ini diva sedang tidak enak badan.
Jika lingga mengiyakan tawaran diva, bisa bisa terjadi sesuatu yang tidak di inginkan nantinya pada diva. Dan lingga tidak menginginkan itu sama sekali.
" Kenapa? Takut kena marah sama dedek indah? " Sinis diva
" Bukan gitu. Tapi emosi kamu lagi ga stabil, di tambah lagi dengan badan kamu yang ga sehat. "
" Kenapa memangnya? Mau ekting perhatian ke diva? "
" Terserah kamu mau mikir gimana, tapi intinya Abang ga mau balapan sama kamu malam ini karena kondisi fisik kamu lagi ga sehat. "
" Yaudah kalo gitu diva cari lawan Laen aja. " Gadis itu bangkit dari duduknya, kakinya melangkah pergi meninggalkan lingga dengan pikiran yang kalang kabut.
Akhirnya mau tidak mau lingga mengikuti langkah diva. Walaupun ia tidak balapan nantinya, setidaknya ia bisa mengamati diva dan membantunya jika terjadi sesuatu yang tidak di inginkan.
**
" Bang, itu bukannya diva ya? Kok rada mirip. "
Zindan menyipitkan sebelah matanya, menatap lurus ke depan pada sebuah area jalur balap. Entah kebetulan apalagi yang ada hari ini, karena ia bertemu dengan diva.
Gus Zindan dan Gus Alip memang sedang di luar area pondok pesantren, mereka berada di kota yang sama dengan tempat tinggal diva.
Gus Zindan berulang kali mengusap matanya, berharap salah melihat atau setidaknya yang ia lihat itu adalah orang lain yang kebetulan mirip dengan diva. Namun semakin lama di lihat, semakin mirip.
" Bang, mau kemana? " Gus Alip berteriak, memanggil Gus Zindan yang melangkah kian menjauh darinya. Pria itu berlari kecil untuk menyebrangi jalan raya agar sampai pada arena balap.
Gus Zindan antara percaya tidak percaya, memastikan bahwa itu bukanlah diva, karena posisinya pada saat ini diva tidak memakai jilbab nya. Sepertinya diva lupa memakai jilbabnya, sebab dia memang tidak pernah memakai jilbab jika bukan berada di lingkungan pondok pesantren.
" Div, dengerin Abang! Kamu masih sakit, nanti kamu bisa bisa jatuh!! " Teriak lingga, berusaha mencegah diva.
Diva tidak menggubris teriakan lingga, bahkan melihat lingga tidak ia lakukan sedikitpun. Diva mulai menyalakan motornya dan menggeber geberkannya. Malam ini ia akan adu balap dengan pria lain yang tentunya termasuk pakar balap motor, dengan sebuah taruhan uang lima ratus ribu.
Begitu aba aba di mulai, diva mulai melajukan motornya begitu balap, hingga terjadilah kejar mengejar dengan saingannya.
Gus Zindan melipat kedua lengannya di depan dada, menatap diva yang masih asik balapan. Gus Alip pun akhirnya tiba di dekatnya dan ikut menyaksikan diva.
Dua puluh menit kemudian balapan pun selesai, diva berhasil memenangkan pertandingan walaupun ia sudah hampir sempat terjatuh saat berada di tekongan tajam.
Diva membuka helm nya, ia mengibaskan rambutnya yang sudah merasa sedikit gerah karena cukup lama memakai helm.
" Div, udah ya? Kamu tadi aja udah hampir jatuh. "
" Udah apa? Pulang sana, udah malam ini. Nanti di marah binik baru tau. " Sindir diva, ia melakukan peregangan pada otot otot lehernya.
" Div, sekali lagi! Kali ini taruhan satu juta. "
Tampa ragu diva mengiyakan tawaran tersebut, ia kembali menggulung rambutnya dengan asal asalan, dan kembali memakai helm. Mereka pun kembali bersiap siap untuk melakukan ronde berikutnya.
Baru saja diva hendak tancap gas, kunci motornya tiba tiba saja di tarik oleh seseorang, hingga membuat diva reflek mengumpati orang tersebut.
" Anjing! " Pekiknya dengan refleks. Manik mata diva langsung membulat dengan sempurna, begitu melihat sosok Gus Zindan berdiri tegak di sampingnya dengan tatapan matanya yang terlihat begitu dingin.
" Mati " gumamnya di dalam hati. Diva langsung menutup kaca helm nya, dan berdoa, berharap Gus Zindan tidak tau bahwa dia adalah diva, padahal di kenyataannya Gus Zindan sudah terlanjur tau.
" Turun " titah Gus Zindan, datar. Aura Gus Zindan terasa begitu berbeda malam ini, ia seperti terlihat sepuluh kali lebih menyeramkan.
" Bah ngatur " diva menyahuti dengan nada bicara yang terdengar begitu menantang, namun ia tetap menutup wajahnya dengan helm nya.
" Turun atau saya nikahin malam ini juga. " Titah Gus Zindan kembali, kali ini ia kelihatan lebih serius lagi dan penuh penekanan pada setiap kalimatnya.
Lingga terdiam dengan kening berkerut bingung. Ia hanya diam saja menyaksikan interaksi antara diva dengan seorang pria yang tidak ia kenal.
" Seriusan? Gus sehat? Diva loh masih kinyis kinyis, masak nikah sama om om kematengan. "
" Kamu ini, yang tinggi itu cuman cara bicaranya, sama cara ngejek nya doang. Badan kamu itu di tinggikan juga. " Balas Gus Zindan tak kalah pedas dari perkataan diva sebelumnya.
" Nyenyenyenye, awas! "
" Kamu ni ga cocok naek motor besar gini, badan kecil gitu. "
" Bisa diem ga!! "
" Ga, sebelum kamu turun. "
" Isss " dengan penuh rasa malas, diva akhirnya turun juga dari atas motornya.
Gus Zindan langsung mendekatinya, menarik tangan diva dan membuka pengait helm nya.
" Eh emang mahram Gus? "
" Sekarang belum, tapi ga tau kedepannya. "
Gus Alip diam diam menahan senyumannya, melihat perilaku Zindan pada diva. Gus Alip sendiri tau, bahwa Gus Zindan sudah memiliki wanita yang begitu istimewa di hidupnya, namun melihat tingkah laku Gus Zindan pada diva, membuatnya yakin bahwa abangnya itu juga memiliki perasaan pada diva.