NovelToon NovelToon
RAHIM TERPILIH

RAHIM TERPILIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Dosen / Identitas Tersembunyi / Poligami / Romansa / Konflik etika
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Essa Amalia Khairina

Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.

"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.

Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.

Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.

Aditya.

Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BUKAN AKU PELAKUNYA!

Asha merasa beruntung karena Adit bukan hanya pasangan, bukan hanya suami—tapi juga rumah. Lelaki yang selalu hadir dengan kesabaran, bahkan ketika Asha merasa dirinya rapuh dan tidak layak dimengerti. Setiap genggaman tangan, setiap lirih ucapannya saat menenangkan, membuat Asha sadar bahwa ia dicintai tanpa syarat.

Beruntung karena Adit melihat dirinya lebih dari sekadar wanita hamil yang mudah lelah atau sensitif. Adit melihat kekuatannya, mendorongnya untuk tetap berdiri ketika dunia terasa terlalu menekan. Dan di balik tatapan lembut Adit, Asha menemukan keberanian untuk terus melangkah.

Beruntung karena di tengah semua luka dan masa lalu, Adit datang sebagai seseorang yang tidak pernah memaksa, hanya merangkul. Memberinya tempat, memberikan ruang, menguatkan tanpa membuatnya merasa lemah.

"Eh, Non Asha,” Sapa Bik Yuni begitu Asha melangkah masuk ke dapur. Suaranya terdengar sedikit terkejut, tapi tetap hangat seperti biasanya. Tangannya cekatan memotong bawang di talenan.

"Bibik mau masak apa?" Tanya Asha kemudian.

"Rencana, mau bikin sayur sup buat Non. Daging sapi di rendang, kentang balado, kerupuk sama sambel Non."

"Kebetulan Mas Adit suka banget daging sapi di rendang." Kata Asha melangkah lebih dekat. "Biar aku yang masak ya, Bik."

"Aduh, Non kan lagi hamil... Non istirahat aja ya nanti kecapean."

Asha terkekeh. "Enggak kok, Bik. Aku malah seneng kalau bantu bibik masak."

"Beneran, Non gak apa-apa?"

Asha mengangguk dengan senyuman. "Hari ini... aku pengen banget masakin makanan spesial buat Mas Adit."

"Wah, romantis banget Non Asha." Ujar Bik Yuni. "Beruntung banget Den Adit dapetin Non Asha. Udah cantik, baik dan rendah hati, cerdas, pinter masak lagi."

Asha tertawa kecil mendengar pujian itu—tawa yang ringan, hampir seperti bisikan angin. Namun, di balik ringannya suara itu, hatinya justru terasa hangat dan penuh. Ada sesuatu yang mengembang lembut di dalam dada, seperti bunga yang akhirnya berani merekah setelah lama ketakutan akan dunia. Perhatian sederhana dari Bik Yuni, kata-kata tanpa basa-basi yang tulus, membuat Asha merasa dihargai… dilihat… dan dianggap ada.

"Bibik,” Lirih Asha sembari tersenyum.

“Apalagi suami Bik Yuni lebih beruntung... bisa dapetin istri sebaik dan serajin Bibik.”

“Ah, si Non bisa aja…” Bik Yuni terkekeh malu, wajahnya sedikit memerah menahan senang.

Mereka berdua tertawa pelan bersama—tawa yang sederhana, tapi hangat. Kehangatan yang seolah memenuhi dapur kecil itu, menjadikannya tempat paling nyaman yang pernah Asha rasakan di rumah besar ini. Untuk sejenak, ia lupa pada semua tekanan dan perlakuan dingin yang sering ia terima.

Namun…

Di balik sekat tembok dekat pintu dapur, sepasang mata mengintip dengan tatapan tajam. Maya. Tubuhnya bersandar pada dinding, bibirnya terangkat menjadi senyum miring yang dipenuhi rasa jijik dan kebencian.

Ia menatap Asha seperti melihat sesuatu yang tidak pantas berada di rumah ini.

Tawa Asha—yang bagi dirinya terdengar sangat mengganggu—membuat darahnya mendidih.

“Lihat saja,” gumam Maya dalam hati.

Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup kuat.

Tanpa suara, Maya melangkah mundur lalu berbalik pergi, meninggalkan bayangannya yang masih menyisakan aura gelap di sudut ruangan. Suasana hangat di dapur tidak bisa menjangkau hati seorang Maya yang telah dipenuhi rasa iri dan amarah yang membara.

***"

Tepat pukul tujuh malam, Adit pulang lebih cepat. Langkahnya menerobos masuk melewati ruang tamu menuju ruang makan. Disana, ada Ratna, Maya, juga Asha yang menyambut kepulangannya dengan penuh kehangatan dan rasa rindu setelah seharian penuh tak berjumpa.

Ratna dan Maya saling pandang. Begitu Adit memandang mereka, Ratna hanya tersenyum, meski selalu saja ada garis ketegasan yang tak pernah hilang dari matanya. Sedangkan, Maya berpura-pura sibuk dengan ponselnya, tapi ekor matanya jelas memperhatikan kedatangan Adit.

"Belum mulai makan malamnya, nih?" Kata Adit menarik kursi ke belakang lalu duduk disamping Asha.

"Kita nunggu kamu," Kata Ratna mulai membalikan piring makannya, menuangkan nasi dan lauk pauk lengkap di sana.

“Kalau udah lapar, kenapa nggak makan duluan, Ma?” Celetuk Adit santai sambil melepas jam tangannya. “Kasihan Asha kelaparan nunggu aku.”

Ratna mendengus pelan, tetapi tidak menanggapi.

Asha menatapnya sambil menggigit bibir bawah—kebiasaan kecilnya ketika gugup. “Mas…” Ucapnya lirih, senyumnya mengembang malu-malu. “Kita makan sama-sama. Nunggu Mas tuh nggak bikin aku kelaparan kok.” Ia menunduk sedikit, tangan kirinya secara refleks menyentuh perutnya. “Lagi pula, sesuai janji aku tadi siang… semuanya aku yang masak. Mas mau makan apa dulu?”

Ada harapan, ada bangga, ada cinta yang meluruh lembut dalam suaranya. Adit terdiam sejenak. Tatapannya mengamati Asha yang tampak cantik dengan apron sederhana, rambutnya dikuncir asal, sedikit apek keringat dari dapur, tapi justru itu… yang membuat hatinya serasa diremas kagum. Ia mendekatkan wajahnya, hingga jarak mereka kini hanya sejengkal. “Kamu serius masak semuanya sendiri?” Tanyanya suara rendah, namun ada nada tak percaya yang terselip di balik kekaguman.

Asha mengangguk, mengarahkan telunjuknya ke hidangan di meja makan yang tersusun rapi dan menggugah selera. “Aku masak rendang daging sapi … menu yang Mas suka.”

Adit tersenyum—manis, tulus, dan tanpa bisa ia sembunyikan rasa bangganya.

“Bukan cuma suka…” Ia menatap Asha dengan penuh rasa syukur yang tak terucap. “Kamu tahu nggak? Setiap aku pulang dan lihat kamu di sini… rumah ini selalu terasa lengkap.”

Asha tertunduk, pipinya memanas, namun senyumnya mekar indah. “Mas bisa aja…”

“Beneran,” Adit kembali memuji, matanya menyapu seluruh meja. “Dari baunya aja udah ketahuan rasanya pasti enak banget. Istriku makin hari makin ahli bikin aku susah pergi dari rumah.”

Ratna melirik tajam, tidak sudi menyaksikan kedekatan itu. Sementara, Maya hanya melahap makanannya sambil sembunyi menatap keduanya, sinis.

Hening menyelimuti meja makan. Hanya suara sendok yang beradu pelan dengan piring, dan sesekali helaan napas lega setelah menyantap makanan hangat buatan Asha.

Adit berkali-kali mengangguk puas, seakan setiap suapan demi suapan menjadi bukti betapa istrinya benar-benar berusaha.

"Ya ampun! Apa ini?”

Seketika semua menoleh ke arah Ratna.

Di ujung meja, tepat di kuah hidangan sup yang baru akan disendok Ratna…

mengapung sesuatu yang tak seharusnya ada di sana...

Sebuah peniti kecil, terbuka, dan berkilat terkena oleh pantulan lampu.

Asha sontak menutup mulutnya dengan tangan, wajahnya pucat seketika. Maya membelalak, lalu cepat menatap Asha seolah menuduh.

Sementara, Adit terdiam beberapa detik, lalu berdiri, rahangnya mengeras—ketegangan langsung memenuhi udara. “Asha…” suaranya rendah, tapi jelas menggetarkan dada siapa pun yang mendengarnya.

Asha menggeleng cepat, panik. “Mas, aku… aku nggak tahu! Sungguh! Aku gak tahu kenapa benda itu ada di—”

“Oh jadi ini caramu memperlakukan keluarga suami? Baru jadi nyonya rumah sedikit saja sudah berani macam-macam?!” Potong Ratna cepat, nadanya menaik tinggi.

“Mama… jangan asal nuduh dulu,” Tanggap Adit, namun nada suaranya masih tertahan emosi.

Asha memegangi perutnya, napasnya memburu—ketakutan jelas terpampang.

Masakan yang tadi penuh cinta, kini berubah menjadi sumber tudingan dan kecurigaan.

Maya hanya menyandarkan tubuhnya, bibirnya melengkung tipis penuh kemenangan. Seolah menunggu momen ini sejak awal.

"Gak nuduh gimana?!" Balas Ratna. "Jelas-jelas, istri kamu yang ngaku kalau semua masakan ini dibuat olehnya. Oh, Mama tahu..." Angguknya, perlahan. Matanya menatap lurus Asha, nyaris menguncinya. "Dia pasti dendam sama Mama, karena gak terima tentang omongan Mama yang kemarin."

"Mungkin aja." Angguk Maya kemudian. "Dia menuangkan benda itu, ibarat nyuruh Mama buat tutup mulutnya dan gak ikut campur urusan dia sama kamu, Adit!"

Asha menggeleng, ia beranjak dari kursi dengan gemetar.

Dari balik ambang pintu dapur, Bik Yuni yang sejak tadi memperhatikan dari jauh hanya bisa tertegun. Wanita paruh baya itu menggenggam serbet di tangannya erat-erat, seolah serbet itu satu-satunya pegangan agar ia tidak ikut terlibat dalam kekisruhan tersebut.

Matanya beralih dari wajah pucat Asha yang nyaris menangis, ke Ratna yang tatapannya bagai pisau, lalu ke Maya yang tampak menikmati kekacauan kecil itu. Ia melihat Adit—yang sedang berusaha keras menahan amarah dan kebingungannya—dan hatinya terenyuh.

Dalam diam, ia menunduk. Napasnya perlahan naik turun, menyimpan gelisah yang tak berani ia suarakan.

Ia tahu, Asha tadi memasak dengan penuh hati-hati. Ia mengawasi setiap langkah Asha: mencuci sayur, mengiris bumbu, mencicipi rasa, menata hidangan—semuanya bersih, teratur. Tidak mungkin… tidak mungkin ada peniti masuk begitu saja.

Tapi Bik Yuni tak bisa sembarang bicara. Ia sadar posisinya—seorang pembantu, bukan keluarga. Sekali saja kata-katanya salah, bisa jadi ia yang dituduh mencoba menghasut atau bahkan dianggap sebagai pelaku.

Tangannya semakin menggenggam serbet hingga buku jarinya memutih. “Ya Allah… lindungi Non Asha." Gumamnya kecil. "Jangan biarkan dia diperlakukan tidak adil… Kasihan, Non Asha."

"Adit, kamu sadar gak si...?! Semenjak dia tinggal disini, selalu saja ada masalah!" Lanjut Maya. "Dan masalah itu selalu timbul dari dia!" Tegasnya, menunjuk ke arah Asha.

Asha menggenggam lengan Adit, "Mas. Aku gak melakukannya, sungguh."

"Ini sebabnya, kamu harus lihat bibit bebet dan bobot sebelum menikahi seorang wanita!" Lanjut Ratna. "Dari awal Mama ragu dengan pernikahan kamu bersama dia. Tampangnya polos dan sok suci, tapi kamu lihat sendiri apa yang udah dia lakuin ke Mama? Kalau Mama gak sadar... Mama nyaris menelan benda itu, itu sama aja kayak mau bunuh Mama tahu, gak?!"

Asha tak lagi mampu menahan diri.

Air matanya menetes tanpa sempat ia usap. Setiap tuduhan yang mengarah padanya terasa seperti beban yang menghimpit dadanya. “Mas… aku beneran nggak tahu…” Suaranya parau, pecah di ujung. “Aku cuma pengen semuanya senang makan makanan yang aku buat…”

Asha memegangi perutnya perlahan, seolah melindungi bayi kecil di dalam sana dari kesedihan yang ia rasakan. "Mas..."

Adit hanya diam, ia kemudian menarik lengan Asha meninggalkan ruang makan.

****

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!