“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Hening.
Seolah waktu berhenti di antara dua kalimat itu.
Tapi Fio tak lagi menangis. Ia justru tersenyum tipis—senyum yang pahit tapi kuat.
Ia menatap layar ponsel itu lama, lalu membalas dengan mantap:
[Baik, kalau itu keinginan Ayah.]
Setelah pesan terkirim, Fio menatap langit yang mulai gelap.
“Terima kasih, Yah…” bisiknya lirih. “Kalau pun Ayah gak bisa datang, aku tetap akan melangkah. Bukan karena aku kuat… tapi karena Ibu pasti ingin aku ingin tetap bertahan.”
Ia menatap ke langit, seolah mencari sosok yang selalu menjadi semangatnya.
“Ibu... Fio akan baik-baik aja. Kali ini Fio akan memulai hidup baru.”
Dan dengan hati yang sudah mantap, Fio memutuskan: ia akan menerima perjodohan itu walaupun tanpa kehadiran ayahnya yang seharusnya menjadi wali nikahnya.
***
Pagi ini Fio bergegas ke kampus dengan langkah cepat. Ujian sudah di depan mata, dan kepalanya masih penuh dengan keputusan besar semalam. Ia berusaha menenangkan diri—mengulang-ulang dalam hati bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Namun takdir seolah belum puas mempermainkannya. Motornya tiba-tiba mati kehabisan bensin. Akhirnya dia terpaksa naik kendaraan umum walaupun ia harus mengeluarkan ongkos yang hanya beda lima ribu jika dibelikan bensin. Tapi hari ini dia malas untuk mendorong motornya.
Baru beberapa meter lagi menuju gerbang kampus setelah turun dari angkutan umum, suara klakson keras membuatnya refleks menoleh—dan dalam sekejap, bruuk! tubuhnya tersenggol dari samping. Tasnya terlempar ke trotoar, dan lututnya sedikit tergores.
“Ya Tuhan…” desis Fio pelan, menahan perih.
Fio menepuk-nepuk bajunya yang kotor sambil meringis menahan perih di lutut. Belum sempat ia membungkuk mengambil tasnya, seorang pria turun dari mobil dengan langkah cepat.
“Maaf, saya tidak sengaja—” ucapnya, namun suaranya langsung terhenti begitu melihat wajah Fio.
Fio pun menatap balik, sama-sama terkejut. “Kamu?”
Darrel berdiri mematung sesaat, ekspresinya kaku dan dingin seperti biasa. Ia menarik napas panjang, lalu tanpa banyak bicara, melangkah mengambil tas Fio yang terjatuh.
“Kamu luka,” katanya datar. “Saya antar ke klinik.”
Fio buru-buru menolak, meski suaranya gemetar. “Gak perlu repot, saya bisa sendiri.”
“Jangan keras kepala.”
Nada suaranya tegas, tak memberi ruang untuk perdebatan. Ia menatap Fio sebentar, lalu membuka pintu mobilnya. “Masuk. Kalau kamu pingsan di jalan, saya juga yang disalahin lagi.”
Fio terdiam. Ada sesuatu dalam nada suaranya—bukan perhatian, tapi tanggung jawab yang terasa kaku. Dengan langkah ragu, ia pun masuk ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan menuju klinik, tidak ada satu kata pun keluar dari keduanya. Hanya suara mesin dan hembusan AC yang memecah keheningan.
Fio menatap keluar jendela, mencoba menenangkan degup jantungnya. Anehnya, meski pria di sebelahnya bersikap dingin dan terkesan tak peduli, keberadaannya tetap membuat udara di dalam mobil terasa berat… dan aneh.
Sesekali Darrel meliriknya lewat kaca spion. Ada sedikit rasa bersalah di sana, tapi ia menahan diri. Hatinya memang belum siap untuk dekat dengan siapa pun lagi—termasuk gadis yang kini duduk di kursi penumpang dengan luka kecil di lututnya.
Begitu tiba di klinik, Darrel hanya berkata singkat, “Tunggu di sini. Saya panggil perawat.”
Tanpa menunggu jawaban, ia langsung masuk ke dalam, meninggalkan Fio yang hanya bisa menghela napas panjang—antara malu, kesal, dan bingung kenapa hidupnya bisa seaneh ini.
Setelah masuk ke dalam klinik, dengan sigap perawat membersihkan luka di lutut Fio dengan lembut, sementara Fio menahan napas tiap kali cairan antiseptik menyentuh kulitnya yang perih.
“Sakit sedikit ya, Mbak,” ujar perawat ramah.
Fio tersenyum tipis. “Iya, gak apa-apa kok.”
Ia berusaha terlihat tenang, padahal matanya beberapa kali melirik ke arah pintu—tempat Darrel berdiri bersandar, menatap datar dengan tangan terlipat di dada.
Darrel sama sekali tidak bicara, tapi pandangannya mengikuti setiap gerak Fio. Ada sesuatu di sorot matanya: semacam campuran antara rasa bersalah dan… keengganan untuk mengakuinya.
Selesai dibersihkan, perawat menutup luka itu dengan perban kecil.
“Sudah, Mbak. Cuma lecet, gak perlu khawatir. Tapi sebaiknya jangan banyak jalan dulu.”
“Terima kasih,” jawab Fio pelan.
Begitu perawat keluar, suasana kembali hening.
Darrel mendekat, menatap perban itu sebentar, lalu berkata datar, “Harusnya kamu lebih hati-hati.”
Fio mengangkat alis, lalu menatapnya dengan wajah tak kalah tenang. “Harusnya kamu juga, Tuan pengendara. Kemarin ibunya dan sekarang anaknya yang nyerempet orang yang sama itu udah kayak takdir, tahu gak? Sepaket. Kayak janjian.”
Darrel menatapnya sekilas, tidak menjawab. Ia justru memalingkan wajah dan berkata dingin, “Saya antar pulang.”
“Gak usah,” balas Fio cepat. “Saya masih mau ke kampus.”
“Tapi kamu luka.”
Fio tersenyum tipis, lalu berdiri perlahan. “Cuma lecet kecil. Gak segawat ekspresimu yang kayak abis nabrak dunia.”
Darrel terdiam. Ada kilatan kesal di matanya, tapi ia menahannya. Ia tahu Fio sedang mencoba meledek, tapi entah kenapa—di balik keusilan gadis itu—ada hal yang membuatnya tidak bisa marah.
“Ya sudah,” ucapnya akhirnya. “Terserah kamu.”
Ia berjalan lebih dulu ke depan, meninggalkan Fio yang menatap punggungnya sambil mendecak pelan.
“Cowok paling dingin yang pernah gue temui,” gumamnya.
Namun diam-diam, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Ada sesuatu yang mulai ia rasakan, tapi belum berani ia akui—bahwa mungkin, pertemuan mereka memang bukan kebetulan biasa.
***
Begitu sampai di kampus, Fio berjalan sedikit pincang, tapi tetap berusaha menegakkan badan seolah tak terjadi apa-apa.
Begitu masuk ke kelas, Linda langsung menghampirinya.
“Fio! Kenapa jalanmu kayak robot kehabisan baterai gitu?” seru Linda, matanya langsung menatap lutut Fio yang diperban.
Farhan dan Kevin yang kebetulan nongkrong di kelaa Fio sebelum kelas dimulai ikut menoleh.
“Eh, jangan bilang lo jatuh lagi?” tanya Kevin, mendekat dengan ekspresi setengah khawatir, setengah geli.
Fio menaruh tasnya di meja dan duduk pelan, menahan nyeri yang masih terasa. “Bukan jatuh, Bang Kev… diserempet lagi.”
“Apaaa?!” Linda hampir teriak. “Lo tuh magnet kendaraan atau gimana sih, Fio?”
“Kayaknya iya deh,” sahut Fio dengan nada santai. “Soalnya kali ini yang nyerempet lebih tampan daripada yang pertama.”
Farhan memicingkan mata. “Maksud lo apa?”
“Ah, udahlah. Gak penting.” Fio cepat-cepat menutup pembicaraan, menunduk pura-pura sibuk membuka buku catatannya.
Dalam hati, ia masih teringat wajah Darrel saat di klinik—dingin, tapi ada sesuatu yang entah kenapa membuat jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Linda duduk di sebelahnya, menatap tajam. “Gue gak percaya. Lo pasti sembunyiin sesuatu.”
Fio tersenyum, tanpa menoleh. “Rahasia kecil aja, beb.”
Kevin mendengus. “Kecil dari Hong Kong. Lo tuh udah dua kali diserempet dalam seminggu, dan sekarang senyum-senyum sendiri. Jangan-jangan lo jatuh cinta sama pengendara itu?”
Fio langsung mendongak, matanya membulat. “Hah?! Enggaklah! Lo pikir gue segampang itu?”
“Tapi pipimu merah tuh,” sahut Linda cepat.
Fio spontan menutup pipinya, menggeleng keras-keras. “Itu... kena panas matahari!”
Farhan tertawa kecil. “Yah, semoga aja panasnya gak sampai ke hati.”
Fio melotot. “Farhan, sumpah, gue lempar pulpen nih!”
Suasana kelas pun berubah riuh. Namun di balik tawa dan godaan teman-temannya, Fio menyimpan satu hal yang belum ingin ia ceritakan kepada siapapun.
Dan di sela canda tawa itu, matanya sempat menerawang ke luar jendela.
Dalam hati ia bergumam lirih,
"Kalau ini jalannya, semoga aku kuat menjalaninya."
Bersambung