Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.
Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melepas diri dari bayangan fitnah
"Alhamdulillah sampai juga," ucap Afkar saat sampai didepan gerbang sakan Banat.
"Nai! Bangun, udah sampe!" bisik Asha mengguncang pelan tubuh Naira pelan.
"Euummhh!" Naira menggeliat saat merasakan tubuhnya sedikit terguncang.
"Ya Allah Sha! Maaf aku ketiduran, ngantuk banget soalnya." ucapnya setelah sadar bahwa dirinya masih berada di dalam mobil.
"Gapapa Nai, ayo turun! Kasian asatidz juga mau pada istirahat," ujar Asha sembari membuka pintu mobil.
Naira pun mengangguk, kemudian mengikuti Asha yang sudah turun terlebih dahulu. Sebelum menutup pintu mobil, keduanya tak lupa untuk mengucapkan terimkasih kepada Afkar dan yang lainnya.
Setelah berpamitan, mobil pun melaju meninggalkan halaman sakan Banat. Asha dan juga Naira pun segera masuk kedalam, tentunya dengan berjalan pincang. Naira membantu memegangi lengan Asha, berjaga-jaga agar Asha tidak jatuh.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tak terasa Ramadhan sudah berada di penghujungnya. Malam-malam penuh cahaya itu mulai terasa semakin singkat, dan aroma takbir perlahan-lahan seperti sudah terdengar di kejauhan. Inilah masa yang dinanti oleh para asatidz dan asatidzah, yaitu waktu untuk kembali ke kampung halaman, bertemu keluarga, melepas rindu yang telah lama tertahan.
Asha pun merasakan hal yang sama. Hari ini ia bersiap pulang ke rumah orangtuanya dan esok hari ia akan melanjutkan perjalanan menuju kampung halamannya. Ada rasa hangat membuncah di dadanya membayangkan akan bertemu nenek dan kakek dari pihak ayah tirinya, mengingat orangtua ayah kandung dan juga orangtua ibunya yang sudah meninggal. Ia juga selalu menyapa para paman dan bibi, bercengkerama dengan sepupu-sepupu yang selama ini hanya bertukar kabar lewat pesan singkat.
Namun, sebelum semua itu, ada satu hal yang harus ia selesaikan. Setelah berpamitan kepada kedua sahabat dekat dan para asatidzah lainnya, Asha menyempatkan diri untuk datang ke kantor pusat Rumah Qur’an. Di sanalah ia menyerahkan sebuah amplop putih berisi surat pengunduran diri. Tangannya sempat bergetar saat menyerahkannya, bukan karena ragu, tetapi karena tahu bahwa keputusan ini akan mengubah jalannya hidup.
"Anti serius ustadzah?" tanya ustadz Alam saat menerima amplop tersebut.
"Na'am ustadz," jawab Asha singkat.
"Gak ada yang mau anti pertimbangin? Maksud saya, anti kan sudah 2,5 tahun disini, terlebih anti juga sudah banyak berjasa untuk rumah Qur'an Al Husna ini, apa gak terlalu mendadak?" perkataan ustadz Alam tentu saja sudah bisa Asha tebak.
Pria di depannya ini selalu menjaga agar para pengajar tidak ada yang mengundurkan diri sebelum 5 tahun masa pengajaran disana. Selain untuk menjaga nama baik rumah Qur'an, tidak menggonta ganti pengajar dalam waktu dekat termasuk dari metode pendekatan kepada anak, agar si anak tidak merasa ditinggal.
Namun keputusan itu bukanlah hal yang diambil dalam semalam. Asha telah lama memikirkannya, menimbang setiap konsekuensi. Selain karena perintah kedua orangtuanya, ia juga ingin melanjutkan studi di kota kelahirannya, menata kembali masa depan yang ia rasa mulai kabur di tengah hiruk pikuk aktivitas di Rumah Qur’an. Ustadz Alam, dengan segala wibawanya, mencoba meyakinkan Asha agar membatalkan niat tersebut. Berkali-kali ia mengemukakan alasan, mengingatkan jasa dan peran Asha selama ini, berharap Asha mau bertahan.
Namun, hati Asha sudah bulat. Ia tak lagi sanggup bertahan di lingkungan yang membuatnya harus terus-menerus menghindar dari fitnah dan prasangka. Apalagi sejak ia mengetahui bahwa Ustadz Alam, salah satu sosok yang cukup ia hormati, menganggap enteng persoalan khitbah. Dan tidak pernah berusaha mengklarifikasi fitnah diluaran antara dirinya dan juga Asha, hal itu termasuk dari sebagian alasan bulatnya keputusan Asha untuk mengundurkan diri.
Hal yang mengejutkan lagi adalah ustadz Alam yang tiba-tiba menurunkan jabatan Nael dan Afkar menjadi sopir rumah Qur'an, alasan penurunan jabatan itu cukup mengejutkan Nael dan Afkar, keduanya dianggap melanggar batas hanya karena terciduk oleh ustadz Alam bahwa keduanya memiliki foto Asha di ponsel keduanya.
Keduanya berkata jujur kepada ustadz Alam bahwa mereka memiliki ketertarikan kepada Asha, dan hal itu dijadikan alasan oleh ustadz Alam untuk menurunkan jabatan keduanya.
"In Syaa Allah ana sudah yakin ustadz, dan keputusan ini juga atas perintah dari kedua orangtua ana." jelas Asha.
"Thoyyib, kalau memang itu sudah jadi keputusan anti dan orangtua, semoga itu jadi keputusan terbaik yang diambil sama ustadzah Asha juga." balasnya menandatangani surat pengunduran diri milik Asha.
Sebelum keluar dari ruangan ustadz Alam, Asha memberanikan diri untuk menyampaikan ganjalan yang ada di hatinya, yaitu...
"Sebaiknya ustadz mencari akhwat yang lebih baik dan lebih dewasa daripada ana, ana mohon jangan hubungi kedua orangtua ana lagi. Terlebih untuk pembicaraan yang menyangkut tentang khitbah, untuk saat ini ana belum terpikir tentang pernikahan, dan tentunya setelah terpikirkan pun bukan antum yang akan ana pilih." jelas Asha sepanjang mungkin.
"Afwan sebelumnya ana lancang, perihal ustadz Nael ataupun ustadz Afkar. Keduanya sama sekali tidak ada hubungan apapun dengan ana, ataupun orangtua ana. Jadi ana minta, jangan mempersulit keduanya untuk hal yang bersifat pribadi, bahkan bisa dicampur aduk dengan pekerjaan, jazakallah khairon, Assalamualaikum!" sambungnya yang kemudian keluar dari ruangan tersebut tanpa menunggu jawaban dari ustadz Alam yang terdiam seperti patung.
Sore itu, setelah semua urusan selesai, Asha melangkah keluar dari kantor dengan perlahan. Cahaya jingga matahari 10 hari terakhir di bulan Ramadhan memantul di kaca-kaca gedung, memberi suasana yang terasa sendu namun juga melegakan. Di dada Asha, ada rasa lega sekaligus haru, seperti menutup satu bab penuh cerita, sambil bersiap membuka lembaran baru yang belum ia ketahui akhir kisahnya.
"Bismillah, abis ini aku udah gak ada urusan apa-apa lagi sama Rumah Qur'an, semoga kedepannya aku bisa lebih menjaga diri supaya gak jadi sumber fitnah kayak disini." gumamnya menatap plang bertuliskan "Rumah Qur'an Al Husna".