Demi melunasi hutang ayahnya 120 juta, Juwita terpaksa menjadi pengasuh boneka milik Tuan Zergan, pria kaya raya yang terkenal aneh sekaligus misterius.
Siapa sangka, di balik sikap gilanya, Zergan justru jatuh cinta padanya. Dan bersama lelaki itu, Juwita menemukan rahasia besar tentang hidupnya yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MahaSilsi24, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aurora Juwita Kelihatan
Malam itu, setelah seharian bersama Zergan, senyum Juwita belum juga hilang dari wajahnya. Seakan semua rasa lelah terhapus begitu saja. Kamar yang biasanya terasa sunyi kini jadi lebih hangat, apalagi CCTV yang sempat membuatnya canggung sudah ia minta dimatikan. Malam ini, Juwita merasa benar-benar bebas.
Ia merebahkan diri di atas ranjang, memegang liontin berbentuk huruf G yang kini berkilau indah di dadanya. Jemarinya menyusuri permukaan perhiasan itu dengan hati-hati, seolah takut kilaunya pudar jika disentuh terlalu kasar.
“Bu,” bisiknya lirih, matanya menerawang ke langit-langit kamar. “Andai Ibu masih hidup, Ibu pasti senang lihat aku pakai ini. Aku kelihatan cantik, kan, Bu?”
Ada perasaan hangat sekaligus getir yang menyesak di dadanya. Sebuah kebahagiaan sederhana yang bercampur kerinduan mendalam pada sosok yang tak pernah sempat ia kenal.
Senyumnya perlahan melembut, kelopak matanya terasa berat. Dengan liontin itu masih dalam genggaman, Juwita terlelap, membiarkan mimpinya malam ini ditemani cahaya lembut berharap mimpi itu tentang Ibunya dan sedikit rasa hangat yang tanpa sadar berasal dari Zergan.
Alarm ponsel Juwita meraung nyaring, membuatnya mengerang malas di atas kasur empuk. Rasanya ingin tetap tenggelam di balik selimut, tapi ia ingat tugasnya melayani Zergan. Ia bergegas mandi, lalu memilih salah satu baju rapi yang pernah dibelikan Zergan: dress putih bermotif bunga kecil-kecil, sederhana tapi manis. Rambutnya ia ikat satu, wajahnya segar dengan sentuhan lipstik pink tipis. Saat berkaca, ia tersenyum puas.
“Sudah cantik,” gumamnya sambil meraba liontin di leher.
Dengan langkah ringan ia menuju kamar Zergan. Seperti biasa, pintunya terkunci. Entah kenapa Zergan selalu mengunci kamar saat tidur. Juwita mengetuk pelan.
“Tuan,” panggilnya lembut.
Tak ada sahutan. Dengan tepukan ringan, lampu otomatis menyala, memperlihatkan sosok Zergan yang terbaring dengan kaos putih tipis dan celana pendek. Juwita terkekeh kecil.
“Duh, ganteng banget sih. Ayo bangun, ayo ganteng,” ucapnya dalam hati, geli sendiri.
Ia mencoba membangunkan dengan menggoyang kakinya. “Tuan, bangun, sudah jam enam. Katanya minta dibangunin.”
Namun Zergan hanya menggeliat malas, lalu membalikkan badan, membelakangi Juwita.
“Astaga, bukannya bangun malah ganti gaya,” gerutu Juwita.
Setelah beberapa kali mencoba dan tetap gagal, ia mengembungkan pipi. “Kemarin gampang banget bangunnya. Jangan-jangan pura-pura, ya.”
Tanpa pikir panjang, Juwita memanjat kasur. Dengan dress putih itu ia mulai melompat-lompat kecil seperti anak-anak. “Pagi cerahku, matahari bersinar ...” nyanyinya keras-keras, sumbang tapi penuh semangat.
Zergan mendengus, lalu langsung bangkit. “Stop! Juwita!”
Juwita berhenti, lalu cepat-cepat duduk di kasur sambil menahan tawa. “Hehe, berhasil.”
“Kau ini kenapa lompat-lompat di kasurku?” tanya Zergan, mengusap wajahnya yang masih setengah ngantuk.
“Membangunkan beruang, Tuan,” jawabnya santai.
“Tidak bisakah dengan cara yang baik-baik?”
“Sudah, tapi Tuan tidak bangun,” balas Juwita polos.
Zergan menatapnya tajam, lalu mendekat. “Jujur saja. Kau pasti sengaja menggodaku, kan?”
Juwita melongo. “Hah? Apa sih, Tuan. Saya serius membangunkan. Ya walaupun dengan cara begitu ...”
“Tapi kau melompat-lompat dengan rok itu. Aurora-mu kelihatan.”
Seketika wajah Juwita panas membara. Ia memang lupa kalau meski memakai celana ketat di dalam, tetap saja dress-nya bisa memperlihatkan sesuatu.
“Ya Tuhan, saya sumpah tidak bermaksud begitu,” ucapnya gugup.
Zergan semakin mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari wajah Juwita. “Jelas sekali kau menggodaku.”
“T-tidak, Tuan...” Juwita salah tingkah, jantungnya berdetak kencang.
Zergan menahan senyum tipis, lalu bersuara datar. “Baiklah, aku maafkan kali ini.”
Juwita terdiam. Ia tahu pria itu serius tapi seolah juga sedang menggoda balik. Dalam hati, ia sendiri bingung antara kesal, malu, dan entah kenapa ada sedikit rasa senang.
“Jadi menurutmu aku bagus pakai setelan jas yang mana?” tanya Zergan sambil membuka pintu lemari besar berisi deretan jas dan kemeja, semua tertata rapi.
Juwita mendekat, matanya menyapu barisan pakaian yang warnanya hampir seragam. Hitam, abu-abu gelap, biru dongker semuanya seperti koleksi musim dingin tanpa cahaya.
“Suram sekali ya,” celetuknya polos.
Alis Zergan terangkat. “Apanya yang suram? Ini limited edition, tidak semua orang bisa punya.”
“Bagi saya sih sama aja, Tuan. Warnanya itu-itu saja. Gelap semua.”
Zergan menoleh padanya, setengah serius setengah heran. “Kau benar-benar tidak tahu soal fashion, ya.”
“Ya iyalah, Tuan. Saya biasa pakai daster, bukan jas mahal,” balas Juwita, tersenyum kecil.
Pria itu mendesah, lalu menutup sebagian lemari. “Kau sekarang bekerja denganku. Jadi, pilihkan. Mulai besok, sebelum aku tidur, terserah kau mau pilih jas yang mana, aku akan memakainya.”
Juwita sempat terdiam, merasa permintaan itu agak berlebihan. Tapi wajah Zergan datar, seolah sedang menetapkan aturan baru. “Baiklah,” ujarnya pelan, lalu menunjuk salah satu. “Hari ini pakai hitam saja, Tuan. Biar kita senada. Saya pakai putih bunga, Tuan gelap gulita.”
“Ck, kau menghinaku.” Mata Zergan menyipit, namun ada senyum tipis yang hampir tak terlihat.
Juwita pura-pura tidak peduli, lalu melangkah ke pintu. Ia tentu saja tidak mau ada di kamar saat Zergan mandi dan berganti pakaian.
Begitu keluar, ia berjalan sebentar di koridor, menunggu. Dari ujung tangga, muncul Desi dengan sapu dan pel di tangannya. Seragam pelayan yang dipakainya tampak kontras sekali dibanding dress cantik bermotif bunga yang dikenakan Juwita.
“Wih, udah jadi tuan putri aja ya, Wit,” sindir Desi sambil menaiki tangga. “Aku jadi iri sama kamu.”
Juwita tersenyum kaku. Ada rasa tak enak hati. “Hehe... aku juga disuruh pakai ini, Des. Bukan kemauan sendiri.”
“Hm, hari ini jadwal aku bersihin kamar Princess sama kamar Tuan Zergan.” Nada suara Desi terdengar malas, tapi jelas ia tetap harus melakukannya.
“Oh, untuk kamar Princess tidak usah, Des. Aku bisa bersihkan sendiri.”
“Tidak perlu. Itu sudah tugasku,” jawab Desi agak ketus, lalu matanya melirik ke arah leher Juwita. “Eh, kau dibelikan kalung juga, Wit?”
Tatapan iri itu menusuk. Juwita buru-buru meraih liontin berbentuk G di lehernya, memegangnya erat. “Eh, enggak kok. Ini dari I ...”
Belum sempat ia menjelaskan, pintu kamar Zergan terbuka. Sosok pria itu keluar dengan setelan jas hitam pilihan Juwita, rambut masih sedikit basah, dan aroma parfum maskulin langsung menguar memenuhi lorong.
"Ayo." Kata Zergan melihat Juwita dan Desi sedang ngobrol.
“Eh iya, ayo,” ucapnya singkat sambil melirik Juwita.
Juwita cepat-cepat mengangguk dan berjalan mengikuti, sementara Desi hanya berdiri mematung, matanya mengikuti Zergan lalu beralih pada Juwita dengan pandangan yang makin iri.
Dalam hati Desi bergumam getir. Andai aku yang di posisi itu, nyesal aku kasih tahu soal pekerjaan pengasuh itu ke Juwita.