NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Pulanglah, Nak

Masih ada beberapa menit sebelum waktunya masuk kerja. Itulah alasannya Lila berjalan dengan santai menuju ke kantornya saat ini. Sampai ada suara yang memanggil namanya.

"Lila!"

Lila menoleh dengan cepat. Saat matanya menangkap sosok yang

berdiri beberapa meter darinya itu, ia terkesima. 

Di depannya saat ini, Serena berdiri dengan penampilan yang sangat jauh berbeda dengan dirinya yang sebelumnya. Gadis itu mengenakan kerudung panjang yang menjuntai anggun, berpadu dengan gamis berwarna pastel yang terkesan lembut. 

Melihat Lila memindai dirinya dari ujung kaki sampai ke pucuk kepala, Serena juga melakukan hal yang sama pada dirinya sendiri.

"Apa ada yang aneh denganku?" tanya Serena, merasa sedikit gugup.

Lila menggeleng dengan cepat, senyum kagum mekar di wajahnya. "Nggak ... aku malah senang melihat penampilanmu sekarang. Kamu cantik banget, Serena. Semoga istiqomah, ya ...."

Serena mengaminkan doa baik itu. Dia merasa sangat bersyukur setelah melihat reaksi Lila mengenai perubahan penampilannya saat ini.

Reaksi yang sama juga Serena dapatkan dari teman-temannya yang lain. Mereka banyak mengucapkan selamat pada Serena, bahkan mendoakan hal-hal yang baik atas keputusan yang telah Serena ambil dengan berani. 

Serena menerima semua ucapan itu dengan hati yang bahagia. 

Tapi lain dari semua orang, Adhan memberikan reaksi yang berbeda. Dia yang selama ini menyimpan perasaan suka pada Serena, hanya diam, menatap penuh kekaguman. Perasaannya yang terpendam selama ini, jadi semakin berlipat ganda.

Ini benar-benar gawat, pikir Adhan. Karena dia sudah benar-benar jatuh, sejatuh-jatuhnya pada Serena.

***

Adhan sendiri tidak tahu apa yang mendorong Serena untuk menemuinya. Namun satu hal yang pasti—jantungnya saat ini sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ia berdetak tak karuan, seperti genderang perang. 

"Mas Adhan. Apa saya sedang mengganggu?" tanya Serena sambil melihat situasi sekelilingnya. 

"Tidak. Ada apa, Mbak? Ada yang bisa kubantu?" Adhan balik bertanya.

"Saya ... mau mengajukan izin cuti selama 4 hari.  Saya tahu, ini terlalu cepat, apalagi saya bekerja di sini belum genap 3 bulan. Tapi, ada urusan penting yang harus saya selesaikan."

"Boleh saya tahu, apa alasannya supaya saya bisa menyetujui izin cuti Mbak Re?"

"Saya mau pulang kampung menemui keluarga saya. Hanya itu saja yang bisa saya sampaikan, Mas." Serena menggigit bibirnya. 

Tak ada penjelasan lain yang bisa dia sampaikan, karena ia pun bahkan malu pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia mengatakan yang sebenarnya, tentang seorang anak yang pergi meninggalkan rumah dan tak pernah kembali. Bukankah itu sangat menyedihkan? Entah bagaimana reaksi Adhan jika mendengar alasan seperti itu.

"Boleh, saya akan menyetujui izin cuti Mbak Re. Silakan Mbak Re tulis surat resminya, biar nanti saya tandatangani." Perkataan Adhan yang demikian membuat Serena sedikit terkejut. 

Dia tidak menyangka, akan mendapatkan izin semudah ini. 

"Sekali lagi, saya ucapkan terima kasih, Mas."

Adhan mengangguk sambil menyunggingkan senyum di bibirnya.

Percakapan mereka hanya sebatas itu. Serena lantas kembali ke meja kerjanya sendiri. Wajahnya terlihat semakin cerah dan bersemangat, dan Adhan turut senang untuk itu.

Namun, masih ada perasaan janggal yang tersembunyi di sudut hatinya. Karena sebenarnya, dia sudah tahu cerita tentang Serena yang berkonflik dengan keluarganya. Adhan harap, setelah Serena pulang nanti, semuanya berakhir dengan baik. Begitu pula hubungan gadis itu dengan ayahnya, yang selama beberapa tahun terputus.

Saat sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri, seseorang tiba-tiba menyenggol Adhan. Membuat lamunan pria itu buyar seketika.

"Dag dig dug hatiku. Dag dig dug hatikuuu. Cinta, cinta, cinta, datang padaku! Malu, malu, malu, kuakui itu. Tapi, tapi, tapi kau telah menawan hatiku. Cintaku bersemi di percetakan!"

Adhan menyipit mendengar suara nyanyian Dimas yang sebenarnya cukup merdu, tapi sangat mengganggu. Tanpa aba-aba, Adhan menjepit bibir teman akrabnya itu dengan jarinya. Peringatan supaya Dimas diam dan tidak banyak ulah.

Baim yang duduk tak jauh dari mereka menahan tawa, lalu nyeletuk, "Sukurin."

Dimas menatap penuh permusuhan pada Baim, tapi tak berlangsung lama. Seolah tidak ada rasa takut apalagi kapok, pria itu malah memutar lagu yang sama persis dengan yang dia nyanyikan beberapa saat lalu.

Adhan hanya diam. Malas meladeni.

***

Para ciwi-ciwi di kantor tampak sedang duduk melingkar di ruang pantry kantor, menikmati makan siang bersama seperti biasa. Obrolan ringan mengisi suasana di antara mereka—tentang tugas kantor, drama Korea terbaru, dan rencana akhir pekan. 

Tapi, percakapan itu berubah topik saat Serena mengatakan sesuatu pada Lila dan Ratih tentang izin cutinya selama beberapa hari ke depan.

"Aku, sepertinya besok akan mulai cuti."

Lila menurunkan sendok di dalam kotak bekalnya. "Cuti? Serius, Ren? Kok mendadak banget. Emang kenapa? Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Serena terdiam sejenak. Matanya menerawang, lalu senyum tipis merekah di wajahnya.

Kemarin, seusai pulang dari kajian, Serena memberanikan diri untuk menghubungi ayahnya setelah sekian lama. 

"Assalamu'alaikum, Ayah," salam Serena sambil menitihkan air mata. Tak mampu menahan kesedihan yang membuncah dalam dadanya.

"Rere, Anakku. Wa'alaikumussalaam, Nak." Suara di seberang telepon turut terdengar lirih. Seolah telah lama menyimpan kerinduan.

"Rere minta maaf, Ayah. Untuk semua yang udah Rere lakuin selama ini. Rere udah bikin Ayah sedih, kecewa. Rere bahkan ninggalin Ayah, dan nggak pernah menghubungi Ayah sama sekali. Rere minta maaf, Ayah."

"Nak, Ayah tidak pernah membencimu. Bagaimanapun juga, kamu tetap putri kesayangan Ayah. Kamu tetap anak Ayah. Justru Ayahlah yang seharusnya minta maaf. Ayah sudah membuatmu kecewa, membuatmu marah, sampai kamu memilih pergi meninggalkan rumah. Ayah juga tidak pandai menunjukkan rasa sayang Ayah ke kamu. Kamu pasti kesulitan selama ini, Nak."

Serena tak mampu lagi menahan gelombang kesedihan yang tiba-tiba menyeruak. Kata-kata ayahnya yang terdengar mengalir lembut, berhasil menusuk perasaan yang selama ini ia pendam. Penyesalan datang tanpa bisa ditolak. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Serena bisa meluapkan semua perasaannya dengan benar.  Meski dia tidak berhadapan langsung dengan ayahnya, namun paling tidak, ayahnya telah mendengar tangisan dan kesedihannya itu. 

Ayahnya tidak menyela. Ia hanya diam, setia mendengarkan di seberang sana. Dibiarkan putri kecilnya menangis, meluapkan semua perasaan yang selama ini ia pendam rapat-rapat. Tangis itu bukan sekadar air mata, melainkan pelepasan dari beban yang telah lama membungkam hatinya. Sebagai seorang ayah, dia tahu bahwa itulah yang dibutuhkan oleh putrinya saat ini—sesuatu yang bisa membuatnya bisa bernapas dengan lega, setelah sekian lama.

Setelah beberapa waktu, ketika suasana mulai tenang, Serena bertanya dengan suara lirih, "Bagaimana keadaan Ayah dan Bunda di sana?"

"Kami di sini baik, Nak. Kamu sendiri, bagaimana kabarmu?"

"Rere baik, Yah .... Besok lusa Rere akan pulang. In syaa Allah. Rere akan ambil cuti dulu."

"Pulanglah, Nak. Pintu rumah ini selalu terbuka buatmu. Kapan pun kamu mau pulang."

Serena mengangguk kecil, senyum mengambang di wajahnya meski air mata belum sepenuhnya kering. "Iya, Ayah."

Kembali ke masa kini. Serena menunduk sambil tersenyum kecil, lalu menjawab Lila singkat, "Ada urusan penting. aku nggak bisa jelasin sekarang. Tapi aku harus pulang. Aku akan cuti selama empat hari, dan besok aku berangkat."

"Kalau itu penting, memang sebaiknya kamu pulang, Re. Apa pun urusanmu, semoga cepat kelar dan selesai dengan baik. Kami akan selalu nungguin kamu balik di sini." Lila mengatakan itu sambil memasang wajah pengertian.

"InsyaAllah aku pasti akan kembali," jawab Serena dengan yakin.

Serena kemudian memandang ke arah Ratih. 

Ratih memperhatikan. Menunggu Serena mengatakan apa yang hendak dia sampaikan padanya. Pasti ini soal pekerjaan.

"Ratih, Mbak minta maaf banget, harus ninggalin kamu sebentar. Mbak minta tolong, bantu handle sebentar sampai Mbak pulang, ya."

Ratih tersenyum mendengar permintaan yang tulus itu. "Nggak apa-apa, Mbak Serena. Aku ngerti, kok. Semoga urusannya lancar, ya. Aku doain yang terbaik."

Serena menghela napas lega, merasa bersyukur dikelilingi orang-orang yang pengertian. Bebannya kini terasa sedikit lebih ringan. Ia menerawang jauh, membayangkan saat-saat bahagia bisa pulang dan bertemu kembali dengan keluarganya.

Bersambung

Senin, 25 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!