Dunia Isani seakan runtuh saat Yumi, kakak tirinya, mengandung benih dari calon suaminya. Pernikahan bersama Dafa yang sudah di depan mata, hancur seketika.
"Aku bahagia," Yumi tersenyum seraya mengelus perutnya. "Akhirnya aku bisa membalaskan dendam ibuku. Jika dulu ibumu merebut ayahku, sekarang, aku yang merebut calon suamimu."
Disaat Isani terpuruk, Yusuf, bosnya di kantor, datang dengan sebuah penawaran. "Menikahlah dengaku, San. Balas pengkhianatan mereka dengan elegan. Tersenyum dan tegakkan kepalamu, tunjukkan jika kamu baik-baik saja."
Meski sejatinya Isani tidak mencintai Yusuf, ia terima tawaran bos yang telah lama menyukainya tersebut. Ingin menunjukkan pada Yumi, jika kehilangan Dafa bukanlah akhir baginya, justru sebaliknya, ia mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Dafa.
Namun tanpa Isani ketahui, ternyata Yusuf tidak tulus, laki-laki tersebut juga menyimpan dendam padanya.
"Kamu akan merasakan neraka seperti yang ibuku rasakan Isani," Yusuf tersenyum miring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
"Kamu takut aku nguasain harta kamu ya?" Sani tersenyum, meniup kopi lalu menyeruput sedikit. Menurut wajar sih jika Yusuf ingin membuat prenup untuk mengatur harta mereka, secara laki-laki itu sangat kaya, sedang ia bisa dibilang tak punya apa-apa. Harta warisan dadi Papanya juga gak mungkin dapat, karena tak ada hak nya disana.
"Maksudnya?" Yusuf mengernyit bingung.
"Ya itu tadi, ngajakin bikin prenup."
"Em... pas mau nikah sama Dafa, kalian gak bikin prenup?"
Isani menggeleng.
"Prenup itu gak hanya ngurusin soal harta, bisa berbagai macam, misal soal jika terjadi perceraian, tentang hak asuh anak, tentang... banyak hal lah," Yusuf menjelaskan.
"Aku sih gak pengen buat ya. Bagiku, pernikahan adalah komitmen bersama. Ya kalau bisa, jangan sampai ada perceraian, menikah sekali seumur hidup. Kalau pun tak bisa dihindari, ya anak tanggung jawab berdua, bukan hak milik salah satu. Yang hubungannya berubah, hanyalah orang tuanya, bukan anak. Sampai kapanpun anak tetap anak."
Yusuf tersenyum menatap Sani. "Aku suka sekali dengan cara berfikir kamu. Ini yang bikin aku makin jatuh cinta sama kamu, Isani. Kamu tak hanya cantik, tapi juga smart, mandiri, dan tangguh." Ia memotong pisang coklat, menusuk dengan garpu, lalu mengarahkan ke mulut Sani.
Sani yang belum biasa dengan hubungan mereka, malah bengong.
"Kenapa, gak suka pisang?"
"Hah!" Sani malah merespon kayak orang bingung. "Bu-bukan begitu. Aku cuma ngerasa aneh aja, disuapin Pak Yusuf," ia menahan tawa.
"Ish, Pak lagi," Yusuf memutar kedua bola matanya malas. Hendak mengembalikan potongan pisang ke piring, namun tangannya ditahan Sani.
"Iya, aku makan," Sani mengarahkan potongan pisang tersebut ke mulutnya lalu memakannya. Namun beberapa saat kemudia, ia dibuat bingung saat Yusuf menyodorkan garpu yang sudah kosong padanya.
"Gantian."
Sani tersenyum, "Harus gitu? Gak bisa makan sendiri?"
Yusuf berdecak kesal, menancapkan garpu secara kasar ke pisang yang dia potong asal, lalu memakannya.
"Dih, ngambek," Sani menutup mulut dengan telapak tangan, menahan tawa melihat wajah kesal Yusuf. Ia kemudian menarik piring berisi pisang coklat ke arahnya, memotong lalu menusuknya dengan garpu. "Aku suapin," menyodorkan pada Yusuf.
Yusuf tersenyum, membuka mulut, menerima suapan Isani.
"Kalau kamu mau bikin prenup, aku sih gak papa," Isani kembali membahas prenup. Entah hanya perasaannya atau bukan, mungkin Yusuf ingin melakukan itu untuk melindungi hartanya. Ya, tujuannya pasti itu, tak mungkin lainnya.
"Ya kalau menurut kamu gak usah, ya gak usah bikin."
"Ya jangan ngikut aku. Yang hartanya banyakkan kamu, aku mah gak punya apa-apa."
"Isani... " Yusuf berdecak pelan. "Sekali lagi, ini bukan soal harta. Aku cuma pengen ngasih kamu jaminan aja, kayak rasa tenang gitu. Misalnya jika terjadi perselingkuhan, atau poligami, KDRT, dan lain-lain. Aku pengen ngasih ngerasa aman aja jika kita punya perjanjian hitam di atas putuh."
"Em... menurut kamu, poligami itu gimana?" Sani iseng bertanya.
"Ya... ya gak papa poligami. Allah aja ngizinin, mana mungkin aku bilang enggak boleh. Tapi disini yang jadi masalah, poligami itu harus bisa adil. Dan fix, aku gak akan bisa ngelakuin itu. Kamu tahu kenapa?"
Sani menggeleng.
"Karena cintaku cuma buat kamu Isani," menatap dalam kedua mata Isani. "Aku gak bisa dan gak akan pernah bisa membagi cintaku secara adil untuk perempuan lain."
Sani tersipu malu, pipinya bersemu merah. Belum cinta pun, kalau digombalin kayak gitu, ujung-ujungnya baper juga.
"Sebentar ya," Yusuf beranjak dari duduknya.
"Kemana?"
"Sebentar. Sebentar doang," Yusuf berjalan cepat menuruni anak tangga.
Sani fikir Yusuf ingin ke toilet, maklum udaranya dingin sekali, pastinya muncul hasrat pengen ke toilet. Tapi ternyata dugaannya salah, Yusuf kembali dengan sebuah jas di tangannya.
"Ternyata gak ada jaket di mobil. Gak papa ya, pakai jas aja." Yusuf berdiri di samping Sani, menyampirkan jasnya di bahu wanita itu.
"Astaga, gak perlu repot-repot gini kali," Sani merasa sungkan.
"Gak repot kok. Aku justru seneng kalau bisa ngelakuin sesuatu buat kamu." Yusuf kembali ke tempat duduknya. "Aku pengen bikin kamu selalu nyaman di dekatku."
Sani yang salting, mengalihkan tatapan pada kopi. Menyeruput pelan sambil senyum-senyum sendiri. Meski mengaku sedang patah hati dan susah untuk jatuh cinta lagi, namun tak bisa dipungkiri, perlakuan Yusuf membuatnya baper. Bertahun-tahun pacaran dengan Dafa, laki-laki itu tak pernah se so sweet ini. Dafa bukan tipe laki-laki romantis.
"Kenapa?" ternyata Sani yang senyum-senyun sendiri, tak luput dari perhatian Yusuf.
"Enggak, gak papa," sahut Sani gugup, malu ketahuan salting.
"Gak papa kok senyum-senyum sendiri?" Yusuf menahan tawa.
Sani menghela nafas panjang, meletakkan cangkir kopinya lalu menatap Yusuf. "Aku kayak berhadapan dengan orang lain tahu gak, bukan Pak Yusuf yang aku kenal. Pak Yusuf yang aku kenal itu sering nyebelin orangnya, suka ngamuk-ngamuk, kalau ngomong pedes banget. Tapi yang sekarang ada di hadapanku, kayak beda orang."
Yusuf terkekeh pelan, menyentuh tangan Sani yang ada di tas meja lalu menggenggamnya. "Ya iyalah beda. Itu kan Yusuf bos kamu, ini Yusuf calon suami kamu. Cara aku ngetreat calon istri dan sekretaris, jelas beda," menarik tangan Sani, menciumnya.
...----------------...
Keesokan harinya, Yusuf menjemput Sani di kosannya. Mereka lalu ke mall untuk mencari cincin nikah. Urusan surat menyurat, sudah diurus asisten Yusuf, namun karena terlalu mepet dengan tanggal pernikahan, kemungkinan besar surat nikahnya belum jadi pas hari H.
"Ini bagus gak sih?" Sani menunjukkan sepasang cincin pada Yusuf. Sebenarnya ini bukan cincin yang paling bagus, hanya saja, harganya masuk akal. Ia tak mau memilih yang terlalu mahal, takut dikira matre.
"Tapi kayaknya ini lebih bagus deh," Yusuf mengambil kotak berisi sepasang cincin exclusive yang harganya luar biasa mahal. Tadi tak sengaja, ia melihat Sani memperhatikan cincin tersebut."
"Tapi.. apa gak kemahalan?"
"Gak ada yang mahal kalau buat kamu. Gimana, mau gak?"
Sani tersenyum sambil mengangguk malu-malu. Sejujurnya sejak pertama datang tadi, ia sudah langsung jatuh cinta pada cincin tersebut.
Saat hendak membayar, ada panggilan masuk di ponsel Yusuf. Irene, sekretaris barunya itu menelepon.
"Ada apa?" tanya Isani. "Kamu harus ke kantor ya?"
"Irene nelpon, ngingetin aku kalau ada meeting dengan klien. Astaga, aku benar-benar lupa tahu gak. Mungkin karena terlalu excited mempersiapkan pernikahan kali ya," Yusuf tersenyum tipis.
"Ya udah, kamu kembali aja ke kantor."
"Tapi kamu gimana, aku kan udah janji mau nemenin kamu perawatan."
"Aku bisa sendiri. Lagian nanti kamu bosen. Udah gak papa, kamu balik kantor aja."
"Gak papa, meetingnya bisa ditunda. Aku nemenin kamu aja." Yusuf menyodorkan sebuah kartu pada pekerja toko, melakukan pembayaran.
"Jangan dong, nanti kamu dikira gak profesional. Udah gak papa, aku bisa sendiri."
"Aku gak enak ninggalin kamu sendirian."
"Aku gak papa, gak masalah," Sani menegaskan. "Kamu sendiri yang bilang, aku wanita mandiri. Udah, aku bisa perawatan sendiri, gak usah khawatir."
"Aku telepon Pak Jamal aja, biar kesini." Pak Jamal adalah sopir pribadi Yusuf.
"Enggak, gak usah, aku bisa sendiri." Sani tahu siapa Pak Jamal, ia sudah kenal lama dengan pria tersebut.
Yusuf tak menghiraukan ucapan Sani, ia tetap menelepon Pak Jamal, memintanya datang. Selesai melakukan pembayaran, Yusuf menyimpan kartunya ke dalam dompet, mengambil kartu debit lain yang hari ini belum dipakai sama sekali, memberikan pada Isani. "Buat bayar perawatan, sekalian kalau kamu mau shoping."
"Enggak, gak usah," Sani menggeleng cepat, merasa tak berhak mendapat itu karena statusnya masih belum istri. "Aku bisa bayar sendiri."
"Pakai ini aja, kamu udah jadi tanggung jawab aku."
"Tapi kan be_"
"Udah, terima aja," Yusuf sedikit memaksa, menarik telapak tangan Isani, meletakkan kartu debit disana. "Pinnya tanggal ulang tahun kamu."
Seketika, Sani melongo. Tak habis fikir Yusuf menggunakan tanggal lahirnya untuk pin ATM. Wanita mana yang tak merasa diistimewakan saat tanggal lahirnya dipakai pin sang kekasih.
"Astaga, Irene telepon lagi," Yusuf berdecak pelan saat ponsel di tangannya kembali berdering.
"Udah gak papa, kamu balik ke kantor aja."
"Maafin aku ya sayang," Yusuf merasa bersalah. "Aku gak bisa nemenin kamu."
"Gak masalah," Sani tersenyum sambil mengusap lengan Yusuf, berusaha meyakinkan laki-laki itu jika ia akan baik-baik saja.
Sani menatap kepergian Yusuf dengan bibir melengkung ke atas. Apa dia sudah jatuh cinta padanya? Entahlah, Sani juga tidak tahu. Yang pasti, ia mulai punya hobi baru sekarang, senyum-senyum sendiri. Belum pernah selama ini, ia diperlakukan se istimewa ini oleh laki-laki. Yusuf benar-benar membuatnya merasa dicintai ugal-ugalan. Tadi malam, ia tak lagi galau saat hendak tidur, tak lagi sakit hati mengingat Dafa dan juga Yumi, yang ada, dia malah cengar-cengir, mengingat-ingat kencan pertamanya dengan Yusuf yang meninggalkan kesan mendalam.
Tinggalkan rumah Ucup
ayo Sani....kamu pasti bisa....ini br sehari....yg bertahun tahun aja kamu sanggup
gimana THOR