Bunga yang pernah dikecewakan oleh seorang pria, akhirnya mulai membuka kembali hatinya untuk Malik yang selama setahun terus mengejar cintanya. Ia terima cinta Malik walau sebenarnya rasa itu belum ada. Namun Bunga memutuskan untuk benar-benar mencintai Malik setelah mereka berpacaran selama dua tahun, dan pria itu melamarnya. Cinta itu akhirnya hadir.
Tetapi, kecewa dan sakit hati kembali harus dirasakan oleh Bunga. Pria itu memutuskan hubungan dengannya, bahkan langsung menikahi wanita lain walaupun mereka baru putus selama sepuluh hari. Alasannyapun membuat Bunga semakin sakit dan akhirnya memikirkan, tidak ada pria yang tulus dan bertanggungjawab di dunia ini. Trauma itu menjalar di hatinya.
Apakah Bunga memang tidak diizinkan untuk bahagia? Apakah trauma ini akan selalu menghantuinya?
follow IG author : @tulisanmumu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi Berlibur
"Hari ini kita sampai sini aja ya, Jelita. Tante masih ada urusan lain."
"Iya nggak apa-apa, Tante. Tante hati-hati di jalan," jawab Jelita dengan raut wajah yang sangat senang. Tentu saja Bunga tahu alasan dibalik wajah ceria itu.
"Sekali lagi terima kasih, Mbak Bunga. Saya yang jadi tidak enak," ucap Mbak Ane yang masih merasa tidak enak dengan Bunga. Baginya harga mainan itu tidaklah kecil. Walaupun Jelita memang bukan keluarganya, tapi ia sudah mengasuh Jelita sejak bayi. Dirinya merasa memiliki tanggung jawab dengan anak itu.
"Tidak perlu merasa tidak enak seperti itu, Mbak. Anggap saja ini penebusan saya ke Jelita yang selama beberapa hari ini tidak menghubunginya," jawab Bunga dengan senyum yang tak lepas di bibirnya. Ia juga mengelus pelan bahu Mbak Ane, menenangkan perempuan itu yang sejak tadi terus saja gelisah.
Bunga akhirnya berpisah dan Mbak Ane dan juga Jelita setelah mereka selesai berbelanja di toko mainan tadi. Salah satu pegawai toko mengikuti Mbak Ane dan Jelita, membawakan mainan besar milik Jelita.
Ketika mobil yang Bunga kendarai berhenti di lampu merah, ponsel milik Bunga berbunyi.
Ting
Ada pesan yang masuk.
Terima kasih.
Sebuah pesan yang dikirim oleh Fadi yang bisa Bunga baca melalui jendela notifikasi. Bunga tidak membukanya, tidak juga berniat membalasnya. Lebih tepatnya Bunga bingung ingin membalas apa pesan itu, hingga akhirnya ia memutuskan untuk tidak membalasnya.
Bunga kembali membawa mobil miliknya dengan kecepatan sedang setelah lampu merah berubah menjadi hijau. Kali ini tujuannya adalah sebuah kedai kopi milik salah seorang temannya ketika masa SMA. Ketika masih di Mall tadi, Bunga mendapatkan pesan jika teman-teman SISPALA dulu tengah berkumpul di kedai itu.
Setelah 30 menit perjalanan, Bunga akhirnya tiba di kedai kopi yang dimaksud. Tidak terlalu besar, tidak juga seperti coffe shop estetik yang saat ini tengah menjamur. Bisa dikatakan jika tampilan kedai kopi ini seperti warung kopi jadul. Walaupun demikian pengunjung warung ini sangat ramai dari berbagai kalangan.
Bunga turun dari mobilnya. Dari tempatnya dia sudah melihat beberapa teman lamanya telah berkumpul dan membuat sebuah lingkaran di bagian luar warung itu.
"Akhirnya datang juga, Bu Dokter," ucap Ica, salah seorang temannya.
"Nungguin aku pasti," ucap Bunga dengan pe-de nya. Ia menarik kursi dan duduk di samping wanita itu.
"Iya, kita nungguin donatur," jawab seorang pria yang bernama Nadhif.
"Masa Pak Pengacara masih nungguin donatur receh kayak aku," ejek Bunga.
"Bu Dokter 'kan memang donatur tetap kita. Kalau kami mah cuma remahan rengginang," kata Nadhif lagi dan tentu mengundang tawa persetujuan empat orang yang ada disana.
"Basi kalian!" Bunga mengambil sebotol air mineral yang ada di atas meja, membuka tutupnya dan meminum air itu.
"Jadi ceritanya gimana ni?" tanyanya.
"Rencananya awal minggu depan kita mau naik ke Rinjani," ungkap Ridwan. "Bagaimana?"
"Minggu depan, ya?" tanya Bunga dan kemudian dijawab dengan anggukan kepala oleh Ridwan.
"Aku sih oke. Jatah cuti aku masih ada untuk tahun ini. Sayang juga kalau nggak diambil," sahut Ica.
"Aku juga masih banyak banget," sambung Deni.
"Jadi gimana? Setuju?" tanya Nadhif lagi.
"Boleh aja. Ntar aku bisa ajuin cuti juga," jawab Bunga. "Terus ini siapa aja yang mau pergi?"
"Yang lain udah pada berkeluarga. Sisa kita berlima yang jomblowan jomblowati belum laku. Jadi kita aja," jawab Deni.
"Sorry, aku udah mau nikah tahun depan, ya," potong Ica.
"Iya deh, yang udah mau nikah," ucap Bunga.
"Kamu nggak balikan aja sama dia? Orangnya juga udah single itu," ujar Ica.
"Iya, pasangan legenda SISPALA Cendana mereka ini," sambung Nadhif.
"Nggak ada kata CLBK di kamus aku!" tegas Bunga.
"Eh hati-hati, Buk. Ntar jilat ludah sendiri," sindir Nadhif.
"Nggak akan!" tegas Bunga.
"Udah, nggak usah bahas yang lain, kita bahas ini aja." Ridwan sang mantan ketua dan yang paling bisa dewasa menengahi.
"Jadi kita berangkat ke sana hari Jumat pagi. Dari bandara ke Sembalun kita langsung hari itu dan istirahat semalam disana. Besok paginya baru kita mulai tracking. Kita ambil paket yang 3 hari dua malam aja," jelas Ridwan.
"Boleh, setuju. Biar waktu istirahat kita setelah turun bisa agak lama, biar masuk kerja fresh lagi," jawab Bunga yang juga disetujui oleh yang lain.
"Oke kalau gitu sekarang kita buat rincian biayanya," sambung Ridwan lagi.
Selanjutnya mereka membahas mengenai rincian biaya, tour guide yang akan mereka pakai, dan juga masalah penginapan. Setelahnya mereka juga membahas mengenai pekerjaan mereka masing-masing.
Setelah sekian lama disibukkan oleh pekerjaan masing-masing, akhirnya mereka bisa kembali berkumpul. Ica bekerja di sebuah perusahaan startup, Ridwan menjabat sebagai kepala sekolah di sebuah sekolah swasta, Nadhif berprofesi sebagai pengacara, dan Deni adalah seorang dosen dan juga pemilik kedai kopi ini. Meski tinggal di kota yang sama, mereka jarang sekali bertemu—bahkan untuk sekadar bertukar pesan pun terasa sulit. Hanya dengan Rani, teman sedari SMP nya, Bunga masih menjalin kedekatan. Karena itu, mereka menghabiskan waktu hingga malam hanya untuk melepas rindu dan saling bercerita.
"Sampai jumpa minggu depan," ucap Nadhif terakhir sebelum akhirnya mereka berpisah malam itu.
****
Di hari keberangkatan
"Kamu hati-hati selama disana. Jangan jauh-jauh dari teman atau pemandunya," pesan Mama Lita pada Bunga.
"Tenang, Ma. Lagipula ini bukan kali pertamanya aku kesana," jawab Bunga yang mulai jengah dengan kekhawatiran berlebihan sang ibu.
"Memang bukan yang pertama kalinya kamu kesana. Tapi ingat, harus terus hati-hati."
"Iya, Ma. Don't worry."
Sejujurnya Bunga memahami kekhawatiran Mama Lita. Walaupun kini usianya sudah kepala 3, namun di mata kedua orang tuanya Bunga tetaplah anak kecil.
"Ya sudah, aku berangkat dulu." Bunga mengambil tangan Mama Lita, dan mencium dengan takzim tangan wanita paruh baya itu. Tak lupa ia juga mencium kedua pipi ibunya.
"Randi antar Bunga dulu, Ma," pamit Randi.
Ya, pagi itu Randi lah yang akan mengantar Bunga ke bandara, sesuai permintaan Mama Lita karena Bara, sang suami mendadak ada pekerjaan yang tidak bisa digantikan dengan yang lain. Supir keluarga izin untuk hari itu. Silvia tidak bisa ikut karena saat ini dirinya sering merasa kelelahan jika melakukan banyak aktifitas.
"Maaf Mas, aku ngerepotin," ucap Bunga memecah keheningan perjalanan mereka.
"Tidak masalah. Kebetulan aku juga free," jawab Randi.
Suasana sempat hening beberapa saat, namun kemudian Randi berbicara kembali.
"Pulang dari Lombok, Mas mau ngenalin kamu sama teman Mas."
"Siapa?" tanya Bunga. Ia tampak mengernyikan kening, bingung urusan apa yang membuat dirinya harus berkenalan dengan teman suami kakaknya itu.
"Namanya Doni, pemilik sebuah perusahaan startup. Walau masih baru, tapi masa depan perusahaannya terlihat sangat bagus dan meyakinkan," jelas Randi.
"Mas..." Bunga akhirnya paham kemana arah perkenalan itu.
"Mas nggak minta kalian untuk menjalin hubungan seperti pacaran atau nikah. Kenalan saja dulu. Kalau di rasa cocok bukankah lebih bagus."
"Mas..." rengek Bunga.
"Mama sama Kakak kamu itu khawatir sama kamu, Dek. Setidaknya temui saja Doni dulu."
Bunga hanya bisa pasrah tanpa bisa menolak. Keluarganya sangat mengetahui jika Bunga tidak akan menolak jika itu kakak iparnya yang berbicara. Mereka sangat mengetahui kalau Bunga begitu menyegani Randi, bahkan sejak Randi dan Silvia masih berpacaran. Akhirnya dengan terpaksa Bunga menyetujuinya.
Tak lama akhirnya mereka tiba di Terminal Keberangkatan. Bunga dan Randi sama-sama turun dari mobil. Randi juga membantu Bunga mengeluarkan koper kecil milik Bunga.
"Jangan lupa kabari terus Mama selama kamu disana," pesan Randi.
"Iya, Mas."
Bunga mengambil tas gunung kecil miliknya dan menyandarkannya di punggung. Setelah itu ia mengambil koper miliknya yang masih di pegang oleh Randi.
"Terima kasih, Mas. Hati-hati bawa mobilnya."
Setelah berpamitan, Bunga kemudian masuk lebih ke dalam terminal keberangkatan itu. Ia buka pesan dari Ica tadi yang mengatakan jika mereka akan menunggu di konter check-in.
Ketika berjalan sambil menyeret kopernya, tiba-tiba seseorang memberhentikan Bunga dari samping. Orang itu bahkan dengan segera mengambil alih koper milik Bunga.
"Biar aku yang bawakan," ucap orang itu yang tentu saja membuat Bunga sangat terkejut.
kado adek bayi nya menyusul ya🤭
nanti malam jangan lupa Jelita diungsikan dulu, takutnya minta tidur sama mama papa nya😅
Siap2 mau ikut kondangan ah🤭
mantan pacar Bunga mungkin