Musim semi tiba, tapi Xiao An hanya mengeluh. Di dunia kultivator perkasa, ia malah dapat "Sistem" penipu yang memberinya perkamen dan pensil arang—bukan ramuan OP! "Sistem scam!" gerutunya. Ia tak tahu, "sampah" ini akan mengubah takdir keluarga Lin yang bobrok dan kekaisaran di ambang kehancuran. Dia cuma ingin sarapan enak, tapi alam semesta punya rencana yang jauh lebih "artistik" dan... menguntungkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11: Kulit Apel Ajaib dan Kakek Lin Zhou
Dengan rintihan tertahan, Lin Cheng memfokuskan seluruh pikirannya. Rasa sakit membakar, namun insting dan ingatan akan ajaran kakeknya mengambil alih. Dia mulai menjalankan metode Skin Tempering dari keluarga Lin.
Ini adalah teknik yang sederhana namun fundamental, berfokus pada penempaan fisik melalui penyerapan dan sirkulasi Qi. Lin Cheng membayangkan tubuhnya seperti wadah, dan energi panas yang membakar di dalam dirinya adalah Qi yang melimpah ruah dari apel.
Dia memandu Qi itu, menyalurkannya ke seluruh permukaan kulitnya.
Pertama, dia membayangkan Qi menyebar dari Dantiannya di perut, mengalir ke dada, lalu ke bahu, dan menuruni kedua lengan hingga ke ujung jari. Kemudian, Qi itu ditarik kembali, mengalir melalui punggung, melewati pinggang, dan turun ke kedua kaki hingga ke telapak kaki. Proses ini dilakukan berulang-ulang, setiap putaran terasa seperti gelombang panas yang membakar, memaksa pori-pori kulitnya untuk terbuka dan menyerap serta memurnikan Qi.
Dia fokus pada sensasi penarikan dan dorongan Qi, merasakan bagaimana setiap sel kulitnya seolah-olah dipaksa untuk mengeras, seperti besi yang ditempa dalam api. Meski tubuhnya masih mengepulkan asap dan memerah seperti magma, kini ada sedikit ketertiban dalam kekacauan energi itu.
Lin Cheng menggertakkan gigi, berkeringat deras, dan berjuang melawan rasa sakit yang hebat, berharap metode kuno keluarganya ini cukup untuk menyelamatkan dirinya dari efek samping yang mematikan dari apel misterius itu.
Melihat cucunya berjuang melawan energi yang membakar, Kakek Lin Zhou tidak tinggal diam. Meskipun sudah tua, gerakannya gesit. Ia segera mengambil sikap lotus di belakang punggung Lin Cheng.
Matanya terpejam, dan napasnya menjadi teratur, menarik energi spiritual dari sekitarnya.
Kakek Zhou berada di ranah besar kedua, Qi Condensation, tepatnya di tahap minor Qi Sense. Ini berarti ia mampu merasakan dan memanipulasi Qi di sekitarnya. Dengan fokus penuh, ia mulai mengedarkan Qi miliknya sendiri, memancarkannya keluar dari tubuhnya.
Qi yang murni dan lembut dari Kakek Zhou membentuk aura tak terlihat di sekitar tubuh Lin Cheng yang membara. Aura ini berfungsi sebagai penenang dan pemandu. Ia tidak secara langsung memasukkan Qi ke tubuh Lin Cheng, melainkan menciptakan lingkungan yang kondusif, membantu membaptis cucunya.
Qi Kakek Zhou meredam sedikit gejolak energi liar dari apel, menstabilkan sirkulasi Qi Lin Cheng, dan membimbingnya agar tetap berada di jalur yang benar dalam menjalankan teknik Skin Tempering.
Ini adalah bentuk perlindungan dan dukungan, memastikan Lin Cheng tidak meledak atau mengalami penyimpangan Qi yang berbahaya.
Setelah beberapa waktu berlalu, dengan bimbingan Qi Kakek Zhou, tubuh Lin Cheng mulai bereaksi positif. Panas membakar yang tadi menyelimuti dirinya mulai berangsur mereda. Asap tebal perlahan menipis, dan warna merah magma di kulitnya tidak lagi seterang sebelumnya.
Yang tersisa adalah warna kulitnya yang merah tua merona berkilau, mirip sekali dengan warna apel yang baru saja dia santap. Permukaan kulitnya terasa hangat, namun tidak lagi membakar.
Lin Cheng sendiri telah tenggelam dalam kultivasinya, fokus penuh pada sirkulasi Qi yang kini jauh lebih terkontrol, mengasimilasi energi dahsyat dari buah apel ke dalam setiap sel kulitnya.
Setelah merasa cucunya cukup stabil dan Qi dari apel telah terserap dengan baik ke dalam metode Skin Tempering-nya, Kakek Zhou menghela napas lega. Ia perlahan mengakhiri sesi pembimbingannya, menarik kembali Qi miliknya.
Tubuhnya yang tua terasa sedikit lelah, namun senyum tipis terukir di wajahnya.
Kakek Lin Zhou melirik cucunya, memastikan Lin Cheng masih dalam keadaan zona lelap kultivasi, sepenuhnya tenggelam dalam penempaan Qi-nya. Wajah Lin Cheng kini tampak damai, kulitnya merona merah keemasan.
Setelah yakin cucunya aman, Kakek Zhou bergerak pelan dan tanpa suara, seperti bayangan.
Dia berjalan berjinjit menuju tempat sampah yang berada di sudut gubuk. Dengan gerakan cekatan, ia mulai mengobrak-abriknya. Ekspresi seriusnya seketika berubah. Sebuah senyum cerah merekah di wajahnya yang tua saat dia menemukan kulit apel yang tadi dia buang.
ITU
Itu adalah potongan kulit apel yang tersisa dari kenikmatan surgawi tadi.
Memastikan cucunya tak melihat perbuatan "memalukan" itu, Kakek Zhou segera meloncat pergi – sebuah gerakan yang mengejutkan lincah untuk usianya – menuju bangunan kuil yang reyot, sambil melahap kulit apel itu dengan penuh kenikmatan, tidak menyisakan remah pun. Baginya, bahkan kulit dari buah ajaib itu adalah harta karun yang tak ternilai harganya.
Malam itu, di kediaman bobrok keluarga Lin, di Kuil Mukui yang sudah termakan usia, fenomena luar biasa terjadi. Aliran Qi alam yang biasanya bergerak tenang, kini tampak seperti tornado yang kasat mata, terhisap dengan berantakan dan ganas menuju satu titik: kuil itu sendiri.
Di dalam, Kakek Lin Zhou, yang baru saja menyantap kulit apel, duduk bersila dengan mata terpejam. Aura spiritualnya berdenyut kuat. Dia menyerap Qi alam dengan gila-gilaan, seolah tubuh tuanya adalah jurang tak berdasar yang haus akan energi.
Cahaya samar mulai memancar dari tubuhnya, selaras dengan pusaran Qi yang bergemuruh di luar. Kulit apel itu ternyata tidak sesederhana yang ia duga.
