Suri baru menyadari ada banyak hantu di rumahnya setelah terbangun dari koma. Dan di antaranya, ada Si Tampan yang selalu tampak tidak bahagia.
Suatu hari, Suri mencoba mengajak Si Tampan bicara. Tanpa tahu bahwa keputusannya itu akan menyeretnya dalam sebuah misi berbahaya. Waktunya hanya 49 hari untuk menyelesaikan misi. Jika gagal, Suri harus siap menghadapi konsekuensi.
Apakah Suri akan berhasil membantu Si Tampan... atau mereka keburu kehabisan waktu sebelum mencapai titik terang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan-jalan Sore
Senja yang menggantung, hilang dimakan mendung. Hujan yang diprediksi akan turun sepanjang sore hingga malam, betulan mengguyur mulai pukul lima. Dean bermuram durja, berdiam diri tanpa kata. Sehingga Suri yang memiliki empati begitu tinggi (ini Suri sendiri yang bilang), akhirnya mencetuskan ide untuk mereka pergi jalan-jalan.
Tuhan sepertinya sedang ingin berbaik hati. Terlihat dari intensitas air hujan yang turun tidak terlalu deras, tidak disertai angin, tidak pula membawa petir. Berjalan-jalan di ke taman hijau sekitar 500 meter dari rumah jadi tidak kedengaran buruk. Hitung-hitung menghilangkan penat, dan siapa tahu saja mereka sekaligus mendapatkan inspirasi untuk menciptakan cara baru membangunkan kekasih Dean.
"Aku yakin ada di sini." Suri celingukan di ruang tamu. Pintu bolak-balik dibuka-tutup, merasa yakin ingatannya tidak salah soal meletakkan payung di tong khusus dekat sana.
"Kau pasti lupa." Dean menyahut dari atas sofa.
Kemauannya untuk ikut Suri jalan-jalan masih setengah-setengah. Maka Suri tidak heran saat hantu tampan yang sudah effort memasakkan sarapan untuknya pagi tadi, kini tampak tidak peduli meski melihatnya kesulitan menemukan payung.
"Aku tidak pelupa," elak Suri tak terima. "Walaupun tidak termasuk ke dalam golongan orang jenius, aku ini juga bukan orang yang pelupa. Daya ingatku cukup bagus, kau tahu?" ocehnya sambil menunjuk-nunjuk pelipisnya sendiri.
Apanya yang bagus? Kau bahkan lupa pada banyak hal. Dean menggerutu di dalam hati. Inginnya langsung diucapkan, tapi nanti malah menimbulkan masalah baru.
Dean tidak ingin menciptakan pertikaian dengan Suri. Soal kelopak bunga sebagai indikasi waktu saja sudah membuatnya merana, apalagi kalau sampai Suri menciptakan jarak hingga misi mereka tercerai sebelum mencapai kata selesai.
"Kau tidak mau membantuku mencari?" todong Suri sambil berkacak pinggang.
"Di dekat kulkas."
Suri mendekat perlahan, tangannya masih di pinggang. "Payungnya? Ada di dekat kulkas?"
"Iya."
"Lalu tunggu apa lagi? Kau tidak akan mengambilnya?"
Ogah-ogahan Dean bangkit dari sofa. Langkahnya bahkan dirajut dengan awalan helaan napas berat. Berat sekali, seperti habis mendapatkan vonis hukuman mati. Tidak sampai satu menit kemudian, Dean sudah kembali ke ruang tamu dengan membawa payung hitam besar.
Alis Suri menukik tajam saat menemukan payung hitam itu dalam genggaman Dean.
"Apa? Apa yang salah?" tanya Dean. Peka akan ekspresi tidak puas yang Suri suguhkan.
"Itu bukan payungku. Payungku berwarna ungu, berukuran kecil, dan memiliki motif mural yang akan muncul saat terkena air."
"Apa pentingnya, Suri?" kata Dean jengah. "Ini sama-sama payung. Kita bisa memakainya untuk keluar. Yang penting tidak kebasahan saat jalan-jalan, kan?"
"Kita memang bisa pergi keluar dengan payung itu, tapi artinya payungku belum ketemu. Itu payung kesukaan--ya! Jangan menarikku seperti ini! Lepaskan!"
Cara Dean menarik Suri mirip seperti sedang menarik bagian belakang leher kucing peliharaan. Kucing peliharaan nakal yang enggan diajak pulang padahal hari sudah malam dan mukanya cemong penuh kotoran.
"Dean!" Suri menggapai-gapai, berusaha melepaskan diri dari tentengan Dean.
Sayangnya Dean tidak mau melepaskan Suri begitu saja. Sang gadis tetap ditenteng sampai mereka tiba di teras dan Dean menekan tombol hingga payung terbuka lebar.
"Ah! Kau menyebalkan!" protes Suri.
Agar protes itu tidak berlanjut, Dean melancarkan gerakan selanjutnya. Digandengnya tangan Suri. Jemari panjangnya menelusup pada sela-sela jari Suri, menjadikan gandengan mereka erat tak terpisahkan.
Cara itu nyatanya efektif untuk membuat bibir Suri berhenti mengomel. Langkah mereka terajut santai, pelan, dan penuh kehati-hatian. Dean akan jadi garda terdepan untuk mengingatkan Suri untuk tidak menginjak kubangan. Jika di depan mereka teronggok batu berukuran lebih dari kepalan tangan, Dean akan segera menendangnya menjauh agar tidak menghalangi jalan.
"Jika ke taman terlalu jauh, kita bisa berjalan-jalan di dekat sini saja." Dean menawarkan.
"Tidak," tolak Suri. "Aku ingin jalan-jalan ke sana."
"Ada alasan khusus? Selain untuk membuatku tidak murung lagi?"
Suri menoleh cepat. Berjalan dengan lengan saling menempel seperti sekarang ini membuat perbedaan tinggi mereka terlalu mencolok, sehingga mau tak mau kepala Suri jadi harus mendongak lebih tinggi.
"Tahu dari mana aku melakukan ini untuk membuatmu tidak murung lagi? Aku kan tidak bilang."
Dean memanfaatkan kekuatan tangannya untuk memutar kepala Suri, membuatnya kembali menatap ke depan. "Ada tulisannya di wajahmu," celetuknya asal.
Suri mendumal pelan, berkomat-kamit seperti Mbah Dukun yang sedang baca mantera untuk mengobati pasiennya.
"Bicara soal tulisan, apa kau pernah menulis sesuatu untuk kekasihmu? Semacam surat cinta? Atau sekadar notes yang kau selipkan di setiap hadiah yang kau berikan padanya?"
Dean menelengkan kepala. Cukup terkejut pada pertanyaan yang datang tiba-tiba. Tadinya dia pikir Suri akan mengomel lagi (atau lebih parah malah mendiamkannya selama perjalanan).
"Tidak pernah," jawabnya ketika sudah kembali menatap jalanan.
Walaupun tidak terlalu deras, tapi kebanyakan orang biasanya memang enggan pergi keluar rumah saat hujan. Sehingga kini Dean dan Suri bisa berjalan santai di jalan beraspal tanpa takut diganggu laju kendaraan. Sebenarnya, kalaupun ada kendaraan yang lewat (dan kebetulan ugal-ugalan), Dean sudah pastikan Suri akan aman. Dirinya sengaja berjalan di sisi luar dan Suri dijaga di sisi dalam. Agar jika ada apa-apa, dialah yang menjadi tamengnya.
Meski itu seharusnya tidak perlu.
"Kau bukan tipikal orang yang romantis ya ternyata? Kupikir kekasihmu kenyang menelan kata-kata manis darimu, mengingat betapa besar cintamu padanya."
"Aku tidak pandai merangkai kata."
"Oh ya? Lalu kau menunjukkan perasaanmu dalam bentuk apa biasanya?"
Langkah dijeda sejenak, tatapan kembali bertubrukan pada satu titik koordinat. Suara hujan perlahan menjadi samar. Diganti degup jantung Suri yang tidak sopan kala tatapan Dean terasa semakin dalam.
"Ini," kata Dean, seraya mengangkat payung sedikit lebih tinggi sebelum menurunkannya ke level semula.
Suri mendengarkan dan matanya tidak berkedip.
"Ini," Kali ini Dean mengangkat genggaman tangan mereka, membawanya sejajar dadanya. Posisi itu ditahan selama beberapa detik, lalu kembali diturunkan. Dan saat itu, Suri merasakan genggamannya lebih erat.
"Dan...." Dean tiba-tiba membungkuk, Suri pun refleks menarik kepalanya menjauh.
"K-kau ... k-kau mau apa?" tanyanya panik. Sorot mata Dean tampak lain.
"Menunjukkan padamu bahasa cintaku."
Gila! "A-ah ... T-tidak, tidak. Tidak perlu." Suri menggeleng heboh. Dia bahkan berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Dean, namun sia-sia karena pria itu mengunci jemari mereka erat sekali.
"Kenapa tidak perlu? Kau kan yang bertanya lebih dulu."
"I-itu ... I-itu sudah tidak penting sekarang. Berhenti main-main dan kembalilah fokus ke jalan."
Sudut bibir Dean terangkat, membentuk senyum sebelah, sebelum akhirnya menjauhkan wajahnya.
"Baiklah," katanya enteng, seperti tidak terjadi apa-apa. "Mari lanjutkan perjalanan kita."
Suri masih menahan napas. Belum berani mengembuskan napas lega sebelum Dean betulan mengayunkan langkah lagi.
Saat tatapan Suri berlarian mencari ketenangan, fokusnya malah tercuri pada keberadaan sesuatu di seberang jalan.
Melupakan soal keusilan Dean, Suri memiringkan kepala untuk melihat lebih jelas. Matanya menyipit. Otaknya berusaha memverifikasi sesuatu yang menarik perhatiannya itu sebelum berpikir lebih lanjut.
"Dean...." Dia menepuk-nepuk lengan Dean, meminta sang hantu ikut melihat ke seberang jalan. "Itu ... apa ya?"
Bersambung....