Penyihir yang menjadi Buku Sihir di kehidupan keduanya.
Di sebuah dunia sihir. Dimana Sihir sudah meraja rela, namun bukan berarti tidak ada Pendekar dan Swordman di Dunia Sihir ini.
Kisah yang menceritakan pemuda yang memiliki saudara, yang bernama Len ji dan Leon ji. Yang akan di ceritakan adalah si Leon ji nya, adek nya. Dan perpisahan mereka di awali ketika Leon di Reinkarnasi menjadi Buku Sihir! Yang dimana buku itu menyimpan sesuatu kekuatan yang besar dan jika sampulnya di buka, maka seketika Kontrak pun terjadi!.
"Baca aku!!" Kata Leon yang sangat marah karena dirinya yang di Reinkarnasi menjadi Buku. Dan ia berjanji, siapa pun yang membaca nya, akan menjadi 'Penyihir Agung'!. Inilah kisah yang menceritakan perjalanan hidup Leon sebagai Buku Sihir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karya Penulis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Malam itu Rafael segera tidur. Namun Leon masih memikirkan sesuatu yang ia masih belum dapat jawabannya.
Ditengah malam yang sepi, Leon melihat ke bulan. Didalam hatinya masih belum dapat menerima semua nya.
Mengapa bisa dirinya menjadi Buku? Bukankah seharusnya ada dalang dibalik ini semua? Penyihir yang bisa mengubahnya menjadi Buku? Karena ini Dunia Sihir, hal yang tidak pernah masuk logika kini bisa menjadi kenyataan.
Leon tidak tahu, namun satu yang pasti, Penyihir yang membuat nya menjadi Buku, Leon yakin. Penyihir yang melebihi Penyihir Agung.
"Dan... Aku pasti akan menemukan mu.." Pancaran bulan terukir di matanya, seolah bulan menyaksikan janjinya itu.
•••
Pagi datang. Matahari masih tampak separuh. Suasana subuh yang tidak asing lagi.
Ditengah dinginnya subuh, Rafael, Damian dan Laura tampak sudah berkumpul di kantin.
Melawan dinginnya, bangun jam 6 kurang demi menemui Xeno.
"Alangkah baiknya kita makan dulu~" Kata Laura. Mereka memesan makanan untuk sarapan mereka.
Jam segini kantin sudah buka, para guru juga sudah beraktivitas. Ditambah ramenya orang yang sedang mempersiapkan Turnamen Beginition.
Turnamen yang akan sangat meriah. Tinggal beberapa hari lagi Uskup Penyihir Kegelapan akan datang.
"Rafael, lihat, itu anak dari berbagai Akademi," kata Damian berbisik kepada Rafael.
"Mereka semua adalah yang akan menjadi lawan mu," kata Damian lagi. Dia tersenyum, seolah saat hari itu tiba tidak akan ada pertarungan pertumpahan darah.
Rafael melihat mereka. Mereka sebaya dengan Rafael.
"Cepat siapkan makan kalian. Nanti Nel dan yang lainnya bangun kita bisa kapok," kata Rafael. Dia berdiri.
Damian segera mengakhiri nya, Laura juga, mereka berjalan menuju hutan. Rafael memimpin.
Pintu masuk yang mereka lewati berbeda dari pertama Rafael dan Nel masuk. Rupanya Rafael akan melewati jalan baru.
"Jangan sampai tersesat ya~" Kata Laura. Dia sama sekali tidak tahu jalan, jalannya diserahkan sepenuhnya kepada Rafael.
Belum sampai setengah perjalanan. Rafael tampak suntuk, bagaimana tidak? dua orang itu sempat-sempatnya saling bucin.
"Ck! Hentikan! Geli..." Kata Rafael. Leon tertawa mendengarnya.
"Ah... Maaf... Aku lupa kalau kau masih bocil," kata Damian. Membuat Rafael kesal.
Perjalanan berjalan dengan baik. Tidak ada Makhluk Mistis yang mereka temukan. Semuanya dipenuhi dengan dedaunan, dan pepohonan yang menjulang tinggi.
"Lama lagi?" Kata Laura. Dia sudah tampak bosan.
Mereka padahal baru sampai setengah perjalanan.
Rafael mengangguk.
Bagaimana pun jalan baru ini lebih lama dari yang biasa Rafael lalui.
Singkat cerita mereka telah sampai. Laura dan Damian terkesima melihat pohon yang sangat besar nan tinggi di depan mereka.
"Whaw, sungguh indah! Jadi pengen memiliki rumah di tengah hutan seperti ini." Kata Laura. Bukan hanya dia, Damian juga sama takjubnya.
"Tidak lagi... Aku tidak ingin manjat~" Kata Leon. Rafael mengabaikannya, Leon harus lawan trauma itu, pikir Rafael.
"Terus.. Kami harus manjat?" Tanya Laura. Mukanya seketika berubah, kalau iya, lebih baik ia tidak usah ikut tadi.
Rafael menoleh ke Laura dan Damian. "Tak perlu," katanya. Dia melihat pancaran ketakutan dari keduanya.
'Huh... Untung saja. Batang lurus seperti itu mau dipanjat? Gila, sekali pegangan lepas, dahlah mati,' batin Laura. Dia sama takutnya seperti Leon.
Rafael meniup peluit yang sedari tadi ia gantung seperti kalung. Bentuknya yang keren dan purba, membuat siapa saja yang melihatnya bisa menebak apa kegunaannya.
Menghasilkan suara yang berbeda dari peluit biasa. Membuat burung beterbangan, seolah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Itu adalah Pluit yang diberi kan oleh Xeno sebelum Rafael pulang kemarin.
Suara pohon patah terdengar. Bulan kecil, suaranya seolah menandakan pohon besar yang patah.
Damian dan Laura menekuk lutut, melihat sekeliling, berjaga-jaga.
Berhenti, suaranya berhenti. Membuat Laura menoleh kearah Rafael. Namun, belum sempat ia membuka mulutnya, ia tersentak kebelakang.
Begitu juga dengan Damian.
"W-Wah! Besar sekali..." Damian tergagap. Namun, anehnya ular itu tampak jinak, padahal setahu Damian Viperlion ganas.
"Tenang saja... Dia baik kok~" Kata Rafael, dia mengelus-elus kepala Xeno. Sekarang Xeno sedang dalam wujud besarnya.
Melihat tidak ada perlawanan, Damian dan Laura sedikit tenang, walau waspada saat mengelusnya.
"Besar sekali ya, kalau dimakan, bisa pindah alam kita ni..." Kata Damian. Dia mengelus kepalanya, sangat besar.
'Mengapa kau membawa mereka?' Xeno menggunakan telepatinya.
"Tenang saja... Mereka adalah rekan kita. Aku ingin memperkenalkan mereka kepadamu. Tapi omong-omong... Kau habis dari mana?" Rafael berkata langsung tanpa telepati.
Xeno mengangkat kepalanya. "Aku mencari makan tadi," kata Xeno. Membuat Damian dan Laura terkejut untuk kedua kalinya.
"B-bisa ngomong!?.." Laura.
Rafael mengangguk paham. "Perkenalkan, ini Damian, dan itu Laura. Tolong jangan menakuti mereka, berubahlah ke wujud kecil mu." Pinta Rafael.
Xeno menurut. Seketika tubuhnya menjadi kecil.
"Wah... Ajaib.. " Gumam mereka berdua.
"Salam kenal, aku Xeno," Xeno menghampiri mereka berdua.
Laura dan Damian tersenyum canggung. "Hai Xeno..." Kata Damian. Dia ingin melangkah lebih dekat lagi dengan Xeno.
Namun, matanya membuat Damian tersentak dan mengurungkan niatnya.
Xeno beralih ke Rafael, melihat Rafael, jelas tatapannya berbeda dengan saat ia menatap Damian dan Laura.
"Anak ku sudah lahir loh~ Mau lihat?" Xeno tersenyum ramah.
Rafael menoleh dan mengangguk. "Tapi, bisakah bawa mereka kesini, mereka takut memanjat," kata Rafael, sembari menunjuk dengan jempol nya kebelakang.
Xeno paham. Dia nurut. Namun, saat melihat Damian dan Laura, jelas mengintimidasi. Membuat mereka berdua bergidik. Rafael tidak menyadarinya.
Xeno memanggil kedua anaknya. Dalam sekejap, dua kepala muncul dari atas. Dan mereka bergegas turun.
"Wah, sehat ya.." Kata Rafael. Kedua anaknya tampak sehat. Yang satu mirip Xeno, namun yang satu sedikit berbeda, mungkin keturunan ayahnya.
"Besar sekali... Ini masih bayi?" Damian bertanya dan mendekat, sembari menggandeng tangan Laura untuk ikut mendekat juga. Dengan waspada.
"Iya. Tapi ini dalam bentuk besarnya, mungkin kalau dalam wujud kecil sangat kecil?" Kata Rafael. Dia mengelus keduanya.
Melihat itu, Laura juga ingin mengelusnya. Dia mendekatkan tangannya, namun berbeda, keduanya menyembur. Membuat Laura mundur kebelakang.
"Haha... Sepertinya dia belum terbiasa," kata Rafael.
"Jadi... Yang mana yang akan ikut bersama ku?" Kata Rafael kepada Xeno. Xeno menunjuk yang bermata bulat.
"Oh.. Jadi yang ini." Kata Rafael dia berjongkok. "Siapa namanya?" Rafael masih mengelusnya.
"Yang itu Xu dan yang kau bawa adalah Xio," kata Xeno. Xu mendekat ke Rafael.
"Hai Xu, hai Xio. Maaf ya memisahkan kalian," kata Rafael. Dia mengelus kepala keduanya.
Keduanya hanya mengeluarkan lidahnya yang mungil.
"Mereka belum bisa berbicara?" Rafael bertanya lagi kepada Xeno.
"Bisa, coba saja kau tanyakan sesuatu," jawab nya. Dia tersenyum melihat keakraban Rafael dan kedua anaknya itu.
"Hai... Apa kau sedih?" Rafael bertanya pada Xu. Dia ingin memastikan perasaan Xu kalau berpisah dengan saudaranya.
"Iya. Tapi ini demi kebaikan mu," kata Xu. Suaranya masih seperti anak-anak, tidak dalam seperti Xeno.
Rafael dan Leon tersenyum. "Anak yang manis," kata Leon.
"Baiklah.. Kalau begitu. Nah.. Kalau Xio, keberatan?" Rafael bertanya padanya.
Namun Xio hanya memerengkan kepalanya. Seolah ia tidak mengerti.
Rafael menunggu jawabannya, namun dia masih saja memerengkan kepalanya.
Rafael menoleh ke Xeno. "Ada apa ini?" Kata Rafael. Dia bertanya kepada Xeno.
Xeno tampak sedih. "Dia memiliki pertumbuhan yang lambat. Dan dia sedikit gago dan tidak mengerti apa yang dikatakan manusia," kata Xeno. Tatapannya jelas sedih.
"Kasihan sekali..." Rafael menatap Xio. "Tapi tak apa, aku akan melatihnya," kata Rafael. Dia mengelus Xio.
Xeno berterima kasih. Rafael sudah sangat banyak membantu, bagi Xeno.
"Terima kasih atas kebaikan mu," kata Rafael. Dia berterima masih kepada Xeno, Xeno mengangguk.
Laura dan Damian saling pandang. Mereka heran, mengapa Xeno lebih baik kepada Rafael dari pada kepada mereka?
"Permisi, bolehkan aku bertanya?" Damian menyela di tengah. Rafael dan Xeno menoleh.
Rafael naikkan kepala.
"Hmm, begini... Apakah Xio boleh kami bawa untuk ikut bertarung?" Tanya Damian. Membuat Rafael melotot kepada Damian.
"Asalkan nyawanya selamat," kata Xeno. Suaranya dingin, berbeda saat dia berkata kepada Rafael.
"Jadi, boleh?" Rafael bertanya kembali kepada Xeno.
Xeno mengangguk. Lalu berbisik.
"Kupercayakan nyawa Xio pada mu," bisiknya. Lalu tersenyum setelahnya.