"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Jalan yang Tertutup
Kanya tak keluar dari kamarnya.
Seharian ia terkurung dalam diam, memikirkan apa yang harus ia lakukan.
Hingga malam itu tiba.
Dengan langkah pelan, ia mendatangi kediaman Kyai Zubair dan Umi Farida.
Saat pintu diketuk dan dibuka, Kanya langsung bersimpuh.
Wajahnya tertunduk di balik cadar, suaranya lirih, namun cukup jelas untuk mengguncang malam yang tenang itu.
“Kyai… Umi… saya mohon maaf. Karena selama ini tak menceritakan siapa saya sebenarnya.”
Umi menatap lembut.
Kyai hanya diam, memberi ruang bagi Kanya mengeluarkan beban yang dipendamnya.
“Benar, saya yatim piatu. Tapi... sebelum Ayah meninggal, saat saya baru tujuh belas tahun, Ayah menikahkan saya.
Dengan seorang pria asing.
Dia... orang yang membuat kaki saya pincang seperti sekarang.”
Kyai dan Umi menegang, tapi tetap diam.
Mereka tahu: kebenaran seringkali datang dalam luka.
Kanya menarik napas. Satu detik. Dua detik.
“Dia juga orang pertama yang berdiri… menebus kesalahannya.
Tapi saya tak yakin ia melakukannya karena cinta… atau tanggung jawab.
Sebab… ia menginginkan tanah warisan keluarga kami.
Tanah yang Ayah pertahankan mati-matian dari proyek miliknya.”
Kyai mengernyit. Umi menghela napas.
Kanya menelan ludah, getir.
“Saya merasa… pernikahan kami hanya sebuah transaksi.
Hubungan kami stagnan. Tak ada pertengkaran… tapi juga tak ada kedekatan.
Hanya formalitas. Kewajiban.”
Kanya menunduk lebih dalam.
“Karena itu, saat saya mengalami kecelakaan dan kalian menolong saya… saya diam.
Bukan karena ingin lari. Bukan karena membenci pernikahan ini.”
Suaranya mulai bergetar.
“Tapi saya belum siap.”
Saya ingin pulang… sebagai istri. Tapi dengan hati yang utuh.
Bukan karena rasa bersalah. Bukan karena luka. Bukan karena kasihan.
Apalagi keterpaksaan.”
Ia mendongak sedikit. Mata di balik cadarnya memohon pengertian.
“Saya hanya ingin tahu… bahwa saya benar-benar ada dalam hidupnya.
Bukan sekadar beban yang ia pikul demi menenangkan hatinya sendiri.”
Hening.
Kyai dan Umi menatapnya, dengan mata yang penuh iba—penuh pemahaman.
“Tapi sekarang… dia akan menikah.
Dan saya... tak sanggup dimadu.”
Tangannya mengepal di atas pahanya, sebelum ia akhirnya berkata tegas:
“Karena itu, saya memutuskan... saya akan ke Jakarta.
Saya harus tahu... apakah saya masih punya tempat di hidupnya.”
Lama mereka diam.
Lalu, suara Kyai akhirnya memecah keheningan.
“Kami mengerti kenapa kamu melakukan ini, Nak. Kami tidak marah. Kami justru bersyukur kamu akhirnya jujur.”
Kyai menatap dalam, suaranya lembut namun mantap.
“Kalau kau ingin memastikan tempatmu di hatinya… pergilah.
Jika kau butuh bantuan, katakan saja. Kami akan membantumu sebisa kami.”
Umi menggenggam tangan Kanya dengan hangat.
“Dan jika kau masih punya tempat di hatinya… terimalah dia.
Jadilah istri seperti yang diajarkan agama kita.”
Umi terdiam sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lembut yang sarat kasih:
“Tapi… kalau ternyata tak ada lagi tempat itu, pintu pondok ini akan selalu terbuka untukmu.”
Ia menoleh pada suaminya.
“Benar, Bah?”
Kyai mengangguk pelan, matanya teduh menatap Kanya.
“Tentu. Kanya adalah bagian dari pondok ini.”
Sejenak Kanya tak bisa berkata apa-apa.
Hatinya berdesir pelan. Luruh oleh penerimaan yang tak menuntut apa pun.
Ia tersenyum di balik cadarnya, air matanya mengambang.
“Terima kasih, Kyai… Umi.”
Di balik tatapan mereka, Kanya tahu—ada ribuan doa, dan kekhawatiran, yang tak perlu diucapkan dengan kata-kata.
***
Surat elektronik itu terbuka sejak tadi pagi. Kanya menatapnya berulang-ulang. Bukan pada kata-kata yang tercetak rapi di lampiran PDF-nya, tapi pada satu baris kecil di bagian bawah: alamat lengkap Kian.
Ia menelan ludah. Tangannya gemetar saat menggulir layar ponsel. Perlu dua jam setengah dari pondok Al Aqsha menuju alamat itu. Tapi bukan waktu yang membuatnya ragu—melainkan perasaan tak pasti yang berdenyut di dadanya sejak fajar tadi.
Siang itu, Kanya turun dari taksi online. Langit Jakarta mendung. Di hadapannya terbentang rumah bergaya modern, berdiri angkuh di balik pagar tinggi dengan kamera pengawas di setiap sudut.
Langkahnya ringan, tapi napasnya berat. Ia tak tahu harus memulai dari mana, harus mengatakan apa. Ia hanya tahu… ia harus menemui suaminya.
Seorang satpam keluar dari pos jaga.
“Permisi, saya mau bertemu Kian.”
Satpam itu menatapnya sekilas—menilai dari ujung cadar hingga ujung kaki.
“Maaf, Tuan Muda tidak menerima tamu sembarangan.”
“Tolong… sampaikan saja,” suara Kanya nyaris memohon. “Nama saya Kanya. Katakan saya ingin bicara…”
“Saya sudah bilang, tidak bisa,” potong satpam itu cepat. “Beliau tidak ada.”
“Kalau begitu… bolehkah saya bicara dengan orang tuanya?”
“Tuan dan Nyonya sedang ke luar negeri.”
Selesai. Satu-satunya jalan yang ia tahu, tertutup rapat.
Kanya mematung di depan pagar.
“Kalau begitu, saya tunggu saja di sini. Mungkin nanti—”
“Nona, jangan menyulitkan.”
Suara satpam terdengar dingin. Otoritatif. Seperti suara sistem yang tak bisa ditawar.
“Ini kawasan privat. Tanpa izin, Anda tidak boleh masuk.”
Kanya tetap berdiri. Napasnya mulai memburu. Tapi ia tak tahu harus berkata apalagi. Semua sudah ia coba. Menyebut nama Kian, meminta tolong, bahkan memohon agar pesannya disampaikan.
Satpam itu mulai jengah.
“Kalau tidak segera pergi, saya akan lapor ke pihak berwajib.”
Kanya menggigit bibir. Lalu menunduk. Dan melangkah pergi, tertatih.
Di belakangnya, satpam itu mendengus, menggeleng pelan—lebih pada dirinya sendiri.
“Dari mana datangnya wanita bercadar yang pincang itu? Jangan-jangan pengemis… atau cari sumbangan,” gumamnya rendah, nyaris tak terdengar. Tapi cukup menusuk kalau didengar.
Esok harinya, Kanya datang lagi. Kali ini lebih pagi. Lebih rapi. Lebih kuat. Tapi hasilnya sama.
Hari ketiga, ia bahkan tak diizinkan melewati gerbang perumahan. Penjaga pos langsung menggeleng sebelum Kanya sempat bicara.
“Maaf, nama Nona sudah di-blacklist. Silakan pergi sebelum kami hubungi keamanan.”
Kanya terpaku. Dunia seperti menyempit di sekelilingnya. Ia menatap pagar itu—yang tak pernah benar-benar terbuka untuknya.
Lalu ia putar badan, berjalan pergi, menyusuri trotoar dengan langkah kecil dan lunglai.
Di bawah langit Jakarta yang abu-abu, seorang perempuan bernama Kanya menyadari: bahkan untuk menjelaskan siapa dirinya pun, ia tak diberi kesempatan.
***
Malam itu, Kanya kembali ke pondok. Ia pulang dengan langkah lesu. Hujan belum turun, tapi mendung di langit senada dengan mendung di wajahnya. Beberapa santriwati menatap heran, tapi tak berani bertanya.
Kanya masuk ke kamar tanpa banyak bicara, menutup pintu, dan memeluk lututnya.
“Ya Allah… apa aku memang tak lagi punya tempat… di hidupnya?”
Suara itu tenggelam bersama isak yang tertahan.
Dan untuk pertama kalinya, setelah sekian lama mencoba kuat, Kanya menangis tanpa suara.
Tak lama, pintu diketuk pelan.
“Kanya?” suara Umi Farida terdengar lembut.
Kanya menghapus air matanya, lalu membuka pintu. Di balik cadar yang masih basah oleh air mata dan peluh, Umi menangkap letih yang tak bisa disembunyikan.
“Kau bertemu dengannya?”
Kanya menggeleng. Air matanya tak tumpah, tapi suaranya cukup untuk membuat dada Umi sesak.
“Bahkan satpamnya tak mau menyampaikan pesan saya. Saya… bahkan tak tahu di mana dia akan menikah. Tak ada berita. Tak ada undangan. Tak ada jejak.”
Umi menatapnya dengan iba. Hatinya ikut merasakan luka itu.
Beberapa detik, tak ada yang bicara. Lalu tiba-tiba wajah Umi mengeras, seolah sesuatu menyentaknya dari dalam.
“Kita coba bicara ke Kyai. Mungkin… mungkin beliau bisa membantu.”
Ada secercah cahaya di mata Kanya. Meski kecil, harapan itu tetap hangat di tengah dinginnya penolakan dunia luar.
Beberapa hari berlalu.
Kyai Zubair sudah mencoba segalanya. Menghubungi relasi, mendatangi rumah Kian sendiri. Tapi jawabannya selalu sama.
"Mohon maaf, Pak. Tuan muda dan keluarga masih berada di luar negeri. Dan sesuai arahan keluarga, kami tidak bisa memberikan informasi. Ini pernikahan privat. Bahkan karyawan hotel pun tak diberi tahu sebelum hari H. Hanya keluarga dan tamu yang diundang secara personal.”
Hari pernikahan semakin dekat. Kanya duduk di serambi pondok, memandang langit yang bersih, seolah dunia sedang bahagia—kecuali dirinya.
“Mungkin memang tak ada yang bisa kulakukan…” gumamnya lirih.
Tak ada berita. Tak ada lokasi. Semua serba tertutup atas nama keamanan dan privasi.
Ia sudah siap menerima kenyataan.
Tapi sore itu…
...🌸❤️🌸...
To be continued
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.
Lanjutkan kak Nana... 🙏🙏🙏 Aku Hadir lagi kak,setelah Menunggu Cukup lama,agar Novel ini Menandatangani Kontrak Eksklusid. Dan Akhirnya Sekarang Aku Bisa Baca 😁😁😁