Hannah, seorang perempuan yang tuli, bisu dan lumpuh. Ketika melihat perut Hannah terus membesar, Baharudin—ayahnya—ketakutan putrinya mengidap penyakit kanker. Ketika dibawa ke dokter, baru diketahui kalau dia sedang hamil.
Bagaimana bisa Hannah hamil? Karena dia belum menikah dan setiap hari tinggal di rumah.
Siapakah yang sudah menghamili Hannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Sementara itu, menjelang sore saat langit mulai berganti warna menjadi jingga keemasan. Arman mengemudi dengan kecepatan sedang, menikmati sinar matahari senja. Udara pegunungan masih terasa menempel di jaketnya, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang menenangkan.
Setelah seharian mengawasi vila, dia pulang ke kota dengan satu tujuan: menemui Karin. Rasa rindu menyesakkan dadanya setelah dua minggu tidak bertemu.
Perjalan dari kampung ke kota cukup memakan waktu. Begitu sampai, Arman segera mengetuk pintu apartemen kekasihnya.
"Karin, aku datang!" serunya, berharap disambut dengan pelukan hangat.
Tidak ada jawaban dari dalam rumah. Arman menengadah, memperhatikan langit yang sudah gelap. "Apa dia sudah tidur, ya?" gumamnya.
Beberapa detik kemudian, terdengar suara kunci berputar. Pintu terbuka perlahan, memperlihatkan sosok wanita cantik dalam balutan piyama lembut. Rambutnya dikuncir sederhana, dan wajahnya tampak lelah, namun tetap memikat.
"Aku kira kamu masih sibuk dengan pekerjaan," ucap Karin sambil segera memeluknya erat. Pelukannya seperti menyalurkan segala rindu yang tertahan.
"Dua minggu tidak bertemu kamu rasanya kangen sekali," balas Arman, merespons pelukan itu dengan genggaman erat, seakan enggan melepaskannya.
"Malam ini menginap di sini?" tanya Karin, matanya berbinar penuh harap.
"Jika kamu mengizinkan," jawab Arman, tersenyum kecil. Mereka pun masuk ke dalam, membiarkan malam memeluk mereka dalam keheningan hangat.
Hubungan mereka sudah berlangsung tiga tahun. Karin adalah satu-satunya wanita yang mampu bertahan dengan karakter Arman yang mudah berubah-ubah mood-nya, tidak sabaran, dan sering kali keras kepala. Wanita-wanita sebelumnya hanya bertahan beberapa bulan—bahkan ada yang hanya hitungan minggu. Akan tetapi, Karin berbeda. Ia tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan bagaimana cara menenangkan badai di dalam hati Arman.
Malam itu, suasana hati Karin mulai terasa berat. Dia beberapa kali mendapat pertanyaan yang sama dari keluarganya.
"Papa dan mamaku tanya akan hubungan kita. Mereka tanya kapan kamu mau menikahi aku?"
Pertanyaan itu menggantung di udara. Arman menarik napas, sorot matanya berubah sedikit gelisah.
"Aku belum punya pikiran untuk menikah saat ini. Aku tidak mau terburu-buru atau terpaksa menikah karena omongan orang lain. Karena dalam membina rumah tangga, kita tidak boleh salah dalam memilih pasangan," ucap Arman perlahan.
Kalimat itu seperti pisau tumpul yang menyayat perlahan hati Karin. Wajahnya yang semula ceria berubah sendu. Tatapannya menerawang, meski bibirnya masih memaksa tersenyum.
"Aku bicara seperti ini bukan berarti kamu tidak pantas untuk menjadi istriku. Hanya saja hatiku belum siap untuk menikah," lanjut Arman, seolah ingin melunakkan dampak dari ucapannya.
Karin tetap tersenyum tipis, tetapi hatinya berkecamuk. Ucapan ayahnya kembali terngiang—seperti gema dari masa depan yang belum pasti.
"Jika Arman benar-benar mencintaimu, maka dia akan segera menikahimu. Bukan malah larut dalam hubungan percintaan yang tak jelas dan hanya bersenang-senang saja."
Arman mencium pipi mulus Karin. Sentuhan itu bukan sekadar ungkapan rindu, tapi juga hasrat yang selama ini tertahan. Arman memang bukan tipe pria yang bisa menahan diri ketika sudah berduaan dengan kekasihnya. Ada bara dalam dirinya yang mudah tersulut oleh kedekatan fisik.
"Ini sudah malam dan kamu terlihat lelah. Sebaiknya cepat tidur, biar besok tidak bangun kesiangan," ucap Karin lembut sambil membukakan pintu kamar tamu. Suaranya tenang, tapi matanya menyiratkan kegelisahan yang coba disembunyikan.
"Kita tidak tidur bersama?" tanya Arman, kecewa. Nada suaranya menggantung, antara berharap dan memaksa.
"Lagi ada tamu," jawab Karin sambil tersenyum kaku. Ia berbohong. Bukan karena tidak cinta, tapi karena hatinya sedang kalut. Ia butuh waktu sendiri, menjernihkan pikirannya tentang masa depan yang makin samar bersama Arman.
"Perut kamu tidak sakit?" Arman bertanya sambil mengamati wajah kekasihnya. Ia tahu betul ritme tubuh Karin—biasanya kalau sedang haid, perutnya suka sakit.
"Tidak. Karena sudah beberapa hari," jawab Karin cepat, tanpa menatap mata Arman.
Akhirnya keduanya tidur di kamar terpisah. Tidak ada cumbuan panas atau rayuan mesra seperti biasanya. Malam itu berlalu sunyi, hanya diisi oleh pikiran yang berkelindan di kepala masing-masing.
Sementara itu di sudut kota yang lain, Arka duduk sendiri di ruang kerja pribadinya. Lampu meja menyala redup, menerangi berkas-berkas dan laporan rahasia yang baru saja ia terima dari orang kepercayaannya di perusahaan Wijaya Grup. Matanya tajam menelusuri setiap baris kalimat, lalu membulat tajam ketika membaca nama-nama yang terlibat.
"Dasar ular berbisa!" geramnya sambil melempar berkas ke meja. Napasnya memburu, dadanya naik turun menahan emosi. Orang-orang yang dulu bersumpah setia pada ibunya—satu per satu dilenyapkan dari perusahaan oleh Citra dan Soraya.
Tangan Arka mengepal. Tensi darahnya terasa naik ke kepala. Ia menunduk sejenak, menggertakkan gigi. "Lihat saja apa yang akan aku lakukan untuk membalas kalian!" katanya dengan suara penuh dendam yang membara. Ia tak akan diam. Ini bukan hanya soal jabatan, tapi tentang harga diri dan pengkhianatan.
Selama ini, kekuasaan di perusahaan berada di bawah kepemimpinan Pak Surya, pria yang dahulu dihormatinya. Namun, saat sakit menimpanya, ia justru menunjuk Citra yang notabene adalah anak tiri sebagai pengganti sementara. Bukan Arka, bukan juga Arman. Itu tamparan telak bagi kedua putra kandung keluarga itu.
Hanya karena dahulu mereka menentang hubungan ayahnya dengan Soraya yang jelas-jelas seorang wanita penggoda dan matre. Wanita jahat yang punya segudang akal licik demi mencapai tujuan.
Arka dan Arman pun sudah sepakat untuk tidak ikut campur dalam mengembangkan perusahaan. Bagi mereka, perusahaan itu sekarang sudah dikuasai oleh orang yang salah.
"Arman ke mana? Dihubungi sulit sekali," gumam Arka sambil melirik layar ponselnya yang sunyi.
Ia menyandarkan tubuh ke kursi. Satu tangan mengusap wajah lelahnya. “Dia itu nggak bisa diandalkan kalau sedang darurat,” desisnya pelan.
Tak ia ketahui, sang kembaran kini tengah tertidur lelap di rumah kekasihnya, tak menyadari badai yang sedang disusun Arka untuk mengguncang keluarga mereka sendiri.
***
❤❤❤❤❤
❤❤❤❤❤
siapakah pelaku yg udah buat trauma hannah 🤔
kalo krna trauma berarti hannah masih bisa disembuhkan ya,,suara yg hilang sm kelumpuhan kakinya dn pendengarannya kan bisa pake alat dengar 🤔
masih banyak yg blm terjawab dn bikin makin penasaran 🤗🤗