Mikayla, wanita pekerja keras yang telah mengorbankan segalanya demi keluarga, justru terbaring sendiri di rumah sakit karena sakit lambung kronis akibat kelelahan bertahun-tahun. Di saat ia membutuhkan dukungan, keluarganya justru sibuk menghadiri pernikahan Elsa, anak angkat yang mereka adopsi lima tahun lalu. Ironisnya, Elsa menikah dengan Kevin, tunangan Mikayla sendiri.
Saat Elsa datang menjenguk, bukan empati yang ia bawa, melainkan cemooh dan tawa kemenangan. Ia dengan bangga mengklaim semua yang pernah Mikayla miliki—keluarga, cinta, bahkan pengakuan atas prestasi. Sakit hati dan tubuh yang tak lagi kuat membuat Mikayla muntah darah di hadapan Elsa, sementara gadis itu tertawa puas. Tapi akankah ini akhir cerita Mikayla?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ganti Barang Rusak
Nathan berfikir dalam hati, meskipun sudah tahu jika itu adalah barang mewah yang mahal, tapi ia kasihan kepada Elsa yang sepertinya tidak pernah punya perhiasan apapun ditubuhnya. Ia seperti seorang wanita baik-baik dan polos, tak mungkin jika ingin merusak nya.
Nathan mengangkat dagunya. “Tapi cuma pegang sebentar, Din. Gak akan rusak juga. Lagipula, itu kan barang Kayla. Bukan barang kamu, kan?”
Dinda terdiam sejenak. Ia menarik napas panjang, berusaha menahan amarah yang nyaris meluap.
“Kak, aku cuma gak enak. Kalau sampai kenapa-kenapa, tanggung jawabnya berat. Tapi ya udah, karena kakak yang minta…”
Ia menoleh pada salah satu stafnya dan berbisik. Lalu Dinda mengambil barang itu ditangannya.
Wanita itu segera mengambil ponselnya, menggeser badannya kearah samping, lalu mengangguk kan kepalanya nya kepada Dinda.
Dinda menoleh pada Nathan. “Ini, kak. Tapi hati-hati. Aku udah bilang, kalau ada apa-apa, kakak yang tanggung jawab, ya.” ucapnya sambil menyerahkan kotak yang berisi perhiasan itu.
“Ya elah, Din. Elsa cuma mau lihat doang. Mana mungkin dirusak. Ya kan, Elsa?” tanya Nathan sambil tersenyum.
Elsa mengangguk cepat, matanya berbinar.
“Iya, Kak. Aku cuma mau lihat aja…”
Dinda menyerahkan kotak beludru biru tua berukuran sedang ke tangan Nathan. Pria itu lalu menyerahkannya langsung ke Elsa.
“Nih, Elsa. Lihatlah. Apa kamu suka?”
Elsa menerima kotak itu dengan dua tangan. Perlahan ia membuka penutupnya dan mata gadis itu seketika membesar. Di dalamnya tergeletak kalung berlian dengan desain klasik, dikelilingi safir biru yang berkilau di bawah lampu gantung ruang tamu.
“Ya Tuhan… cantik sekali,” bisiknya.
“Kalau kamu suka, nanti aku minta Kayla untuk memberikan salah satu perhiasan nya padamu,” ujar Nathan lembut.
Elsa menatap Nathan dengan mata berkaca-kaca. “Benarkah, Kak?”
Nathan mengangguk. “Tentu. Lagipula, Kayla masih punya banyak perhiasan lainnya.” Ia menunjuk dua kotak lain yang masih dibawa oleh staf wanita lainnya.
Dinda yang menyaksikan semua itu hanya bisa mencibir dalam hati.
Elsa tersenyum manis, lalu mengangkat kotak perhiasan yang tadi ia pegang dan mengulurkannya kepada Dinda.
“Ini, Kak. Terima kasih sudah meminjamkan,” ucap Elsa lembut, sudut bibirnya naik sedikit.
Dinda menyambut tangan itu dengan sikap hati-hati. Tapi belum sempat ia benar-benar memegang kotaknya.
brukk!
Kotak beludru itu terjatuh ke lantai.
Tranggg!
Isi di dalamnya, sebuah kalung berlian berhias safir biru, terlempar keluar. Benturan keras membuat pengait utama kalung itu patah. Beberapa batu safir kecil meluncur ke lantai, berkilau indah dalam tragedi.
“Oh astaga! Elsa kamuuuu!” teriak Dinda. Wajahnya merah padam. “Rusak! Ini perhiasan mahal! Uang kamu bahkan gak cukup buat ganti kerugian ini, tahu!”
Elsa langsung menangis. Matanya basah, suaranya gemetar.
“Maaf… Kak, maaf… Tapi… tadi tangan Kak Dinda sudah memegangnya, kan? Kenapa menyalahkan ku?”
“Apa?!” Dinda membelalak, tangannya menunjuk dengan geram. “Kamu sendiri yang melepaskan kotak itu sebelum aku pegang! Tangan aku masih jauh!”
“Tapi… aku sudah menaruhnya di tangan Kakak…” Elsa memelas, menyeka air matanya yang jatuh begitu tepat di pipinya seperti sedang berakting di drama kolosal.
Nathan buru-buru berdiri di depan Elsa, melindunginya seperti seorang ksatria yang membela putri teraniaya.
“Sudahlah, Din. Gak usah bentak-bentak. Elsa ketakutan.”
Dinda hampir tak percaya. “Kak Nathan! Aku udah bilang dari awal ini barang mahal, Tidka bisa sembarang dipegang, dan Kakak tetap memaksa. Tapi lihatlah sekarang, perhiasannya telah rusak, dan kakak masih membelanya?!”
Nathan menatap kalung di lantai. Memang tampak jelas telah rusak. Tapi ia terlalu terbius oleh air mata Elsa untuk berpikir jernih.
“Gak apa-apa, Din. Lagipula… itu barang Kayla, kan?”
Dinda mendengus kasar. “Siapa bilang itu punya Mikayla?!” bentaknya dengan suara lantang.
Nathan mengerutkan dahi. “Lah… tadi kamu bilang sendiri itu perhiasan Mikayla.”
Dinda tertawa sinis. “Kakak gak salah denger? Yang bilang itu milik Mikayla… dia.” Dinda menunjuk tajam ke arah Elsa.
Elsa, seolah tahu waktunya untuk bertahan hidup, langsung merapat ke belakang Nathan, menangis lebih keras, tubuhnya gemetar sempurna.
“Jangan bentak aku, Kak Dinda… Elsa takut…” isaknya, sambil mencengkram sisi jaket Nathan.
Nathan tampak goyah, tapi mencoba tetap tegar. “Din… cukup. Kamu bikin dia trauma.”
Dinda memutar mata. “Trauma? Baru kenal sehari aja udah bisa drama, luar biasa.”
Sementara itu, di kamar utama lantai atas…
“Apa itu?” tanya Mama Vivi panik saat mendengar teriakan dari lantai bawah.
“Kayaknya suara Dinda… ayo keluar, kita lihat,” sahut Papa Julio, langkahnya segera tergesa keluar dari kamar, diikuti oleh sang istri.
Di waktu yang sama, Mikayla juga mendengar suara familiar yang menggema dari ruang tamu. Suara Dinda, nyaring dan penuh amarah. Mikayla langsung berdiri dari duduknya, firasat buruk mulai menyelimuti dadanya.
Saat Mikayla membuka pintu kamar, ia berpapasan dengan kedua orang tuanya.
Mereka bertiga menuruni anak tangga bersama. Begitu tiba di bawah, mereka melihat pemandangan yang tak asing, perhiasan mahal berceceran di lantai, rusak, dan tak berbentuk. Nathan berdiri di sisi Elsa yang menangis tersedu-sedu, sementara Dinda berdiri agak jauh, matanya menyala karena emosi.
“Ada apa ini?” tanya Papa Julio dengan suara tegas.
Nathan, Elsa, dan Dinda saling menoleh. Ketegangan di ruangan itu langsung terasa mengikat.
Mama Vivi langsung berjalan mendekat. “Kenapa perhiasan ini ada di lantai dan jadi rusak?”
Dinda mengangkat dagunya. “Aku gak mau tahu, Om, Tante. Kalian harus ganti rugi. Itu barang mahal. Aku sudah bilang dari awal.”
Nathan menyela cepat. “Dinda, ini bukan kesalahan Elsa. Kamu yang salah. Elsa sudah menyerahkan kotak itu dengan benar. Tapi kamu kurang hati-hati saat menerimanya.”
Dinda membelalak. “Apa Kakak buta dan tuli? Aku udah bilang tanganku belum menyentuhnya, dan dia yang melepaskan kotaknya!”
“Aku merasa tangan Kak Dinda sudah memegangnya…” Elsa masih menangis, suaranya pelan, seperti korban yang tak bersalah.
Dalam hati Elsa, “Pasti mereka akan membelaku dan mempercayai ku, bukan? Mereka mana punya bukti.”
Mikayla memperhatikan Elsa dengan tatapan tajam. Ia melihat sudut bibir Elsa sempat terangkat, senyum penuh kepuasan yang disembunyikan di balik air mata.
“Aku tak mau ganti,” kata Nathan dengan santai. “Lagian, itu kan milik Mikayla.”
“Itu bukan milikku, Kak,” Mikayla langsung menukas.
Nathan menoleh kaget. “Apa? Tapi katanya milik kamu.”
“Siapa yang bilang?” Mikayla balik bertanya.
“Kata Dinda,” jawab Nathan, masih bingung.
Dinda melipat tangan, matanya menyipit. “Aku? Kakak salah besar. Yang bilang barang itu milik Mikayla justru dia.” Ia menunjuk ke arah Elsa.
Wajah Nathan mengeras. Ia mulai mengingat-ingat. Dan benar, Elsa yang tadi berkata itu barang Mikayla.
buktikan bahwa kamu bisa bahagia dan menjadi orang besar tanpa harus memakai embel embel nama keluarga tocix itu
pingin tak tabok pke sandal.swalloy itu si ratu drama terus tak lempari telur bosok
suwun thor udah bikin emosi qt turun naik 😀
pingin tak tabok pke sandal.swalloy itu si ratu drama terus tak lempari telur bosok
suwun thor udah bikin emosi qt turun naik 😀
Mikayla semangat 💪
bakal nyesel nanti keluarganya.