"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penasaran isi chat.
Walaupun ini bukan kali pertama Tama berseloroh demikian, guyonan itu tetap berhasil membuat pipi Sora berubah menjadi merah merona. Untungnya dia sedang mencuci tangan di wastafel sehingga laki-laki itu tidak bisa melihat perubahan ekspresinya.
“Dari pada lo ngefans nggak jelas bujang-bujang yang bahkan nggak tau Lo hidup." Tama menekankan kembali poin penting di balik candaannya barusan. Sora berbalik, sudah selesai mencuci tangan. Sekarang dia sedang mengeringkan tangan dengan handuk kecil yang menggantung di dekat wastafel.
“Lo pernah lihat wujud Tuhan?”
“No.” Tama mengawasi langkah wanita itu kembali ke meja makan.
“Tapi Lo percaya Dia kan?"
“Beda kasus.” Laki-laki itu tersenyum miring. Mengulurkan tangan, meminta Sora duduk di atas pangkuannya. Perempuan itu menurut. Dia duduk di atas paha Tama dengan posisi menghadap laki-laki itu. Tangannya dengan cepat melingkar di dua bahu yang lebar dan liat.
“Cakepan mana, idola lo itu dari pada gue?”
“Cakepan mereka lah," jawab perempuan enteng.
“Oh gitu.” Dirga mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil.
“Hm-m.”
“Lo… nggak pernah berhalusinasi lagi ML sama mereka ‘kan?”
Sora cepat-cepat menepuk pundak si penanya. “Nggak lah! Itu cabul namanya. Tapi kalau sama lo, jangan ditanya lah ya. Secara lo orangnya kelewat mesum.”
“Ha ha ha! Oh ya? Kapan coba lo mikirin kemesuman gue?” Tama menyingkirkan anak rambut yang menutupi kening Sora.
“Meja lo ada di depan meja gue, Tam. Tiap liat lo, pikiran gue langsung terkontaminasi. Langsung kebayang lo lagi ada dia atas gue,” aku Sora malu-malu.
“Lo pikir cuma lo yang kayak gitu? Gue juga sama, Ra. Tiap liat lo bawaannya pengen tarik ke kamar mandi. Pengen lihat muka lo kalau lagi klimaks.”
“Tam! Ihh!” Sora kembali bersemu.
Keduanya kembali beradu tatap dengan jarak dekat. Sora seolah sedang mengagumi ketampanan Tama yang tiada duanya. Sementara laki-laki itu juga mengagumi kecantikan Sora yang paripurna.
“Gue pengen narik lidah lo.”
“Terakhir kali lo melakukan itu, lidah gue hampir putus, Tam. Nggak mau.” Sora menolak.
“Tapi enak ‘kan, sampai ke bawah sini?” Entah sejak kapan tangan laki-laki itu sudah ada di tengah-tengah paha Sora.
“Sshhh… sejak kapan sih tangan lo turun, hmm?” Dia mencubit pipi pria itu karena gemas.
“Mana lidahnya?”
Sora paling kesal kalau laki-laki ini sudah memaksa. Apalagi, yang akan dia lakukan bukanlah hal yang menyenangkan. Itu menyiksa untuk Sora.
“Pelan-pelan!” Akhirnya wanita itu mengalah. Lidahnya dia julurkan arah Tama. Dan tanpa menunggu lama, daging tebal itu langsung disambar oleh yang bersangkutan. Tama menyedot lidah kenyal itu sampai tak bersisa. Rongga mulut Sora terbuka lebar karena Tama yang mendesak masuk ke dalam. Jari-jari nakal pria itupun sudah bergerilya di dalam celana piyamanya. Tama memang sangat tau cara membuatnya basah.
Sora meronta karena lidahnya sudah kesakitan. Sedotan Tama seperti akan menarik seluruh benda itu keluar dari tubuhnya. Benar-benar tidak punya akhlak!
“Sakit, Tam!” Dia menutup mulut dengan satu tangan, menatap Tama dengan kesal. Namun laki-laki itu justru tertawa.
“Sakit tapi lo bereaksi, Ibu Sora. Ini basah.” Dia menekan area intim Sora untuk membuktikan. Tatapan mendamba itu menandakan gairah Tama sudah kembali bangkit.
“Gimana nggak basah, lo obrak-abrik. Ugghhhh, Taaaammm.” Sora berhenti bicara. Dia menjatuhkan kepala di atas pundak laki-laki itu. Gairahnya sudah ikut-ikutan naik. Pinggulnya yang seksi menekan jari-jari Tama dengan kuat. Asli, ini sangat nikmat.
“Pakai punya gue, Ra. Jari-jari gue terlalu kecil untuk muasin lo.”
“Memang mulut lo racun banget, Tam. Ampun deh.”
***
Seperti janji Rahmat kemarin siang, hari ini meja dan perangkat komputer untuk Giselle akhirnya datang. Petugas IT kini terlihat sibuk merombak instalasi listrik serta tatanan kubikel di ruangan divisi AR. Untungnya hal tersebut tidak mengganggu kinerja orang-orang yang ada di dalamnya. Semuanya masih bisa beraktifitas dengan baik seperti biasa.
Meja Giselle dibuat sejajar dengan meja Julian. Kalau dari arah meja Sora, itu ada di sebelah kanan ruangan. Sedangkan kalau dilihat dari posisi meja Tama, meja itu ada di sayap kirinya. Jadi, jika Tama adalah arah jam dua belas untuk Sora, Julian adalah arah jam dua, Giselle arah jam empat, Kayla arah jam tujuh, Axel jam sembilan dan Jo arah jam sebelasnya. Sekarang meja-meja itu membentuk lingkaran sempurna.
“Sudah selesai. Silakan dicoba, Bu.” Petugas IT mempersilakan Giselle mencoba perangkat komputernya. Gadis kecil itu mengoperasikan sebentar lalu mengangguk-angguk.
“User name dan password untuk masuk ke dalam program juga sudah dibuat. Nanti saya kirim japri.”
“Baik, Mas. Terima kasih.” Giselle tersenyum ramah. Sepertinya dia sudah terbiasa memanggil semua laki-laki di kantor ini dengan sebutan ‘mas’.
Sora tertarik untuk mengunjungi meja baru Giselle. Sebagai senior, dia ingin juniornya paham mengoperasikan program yang mereka pakai untuk bekerja.
“Kemarin saya udah ajarin kamu log in ke program ‘kan, Sel?”
“Udah, Mba. Ini mas IT-nya baru kirim username via chat. Aku trial dulu ya, Mba?”
“Hm-m. Coba.”
Giselle menginput enam kombinasi angka dan juga huruf yang tertera di room chat antara dia dan IT tadi. Setelah itu dia juga memasukkan password. Log in berhasil!
“Berhasil, Mba.” Giselle tersenyum sambil menekan tombol panah ‘back’ di sudut kanan ponselnya. Sehingga menampilkan beranda whatsapp miliknya. Dan Giselle tidak sengaja melihat ada nama Tama di sana. ‘Mas Tama’ lebih tepatnya. Di urutan ketiga dari chat paling atas.
Giselle masih membiarkan layar ponselnya menyala ketika dia mulai mengklik ini dan itu di halaman program. Sedangkan Sora, masih mencuri-curi pandang ke arah benda pipih itu. Dari tampilannya, sepertinya Giselle adalah orang yang terakhir kali mengirim pesan ke Tama. Terlihat dari pesan yang ada centang birunya. Isi chat itu hanya dua emoji senyum, dan Tama hanya membacanya. Meski demikian berhasil membuat hati Sora berdebar.
Tadi malam, saat Tama menunjukkan chat Giselle kepadanya, seingat Sora, Tama memang membalas pesan gadis kecil ini dengan satu kata saja. ‘Oke’. Lantas, apakah Giselle membalas lagi dengan dua emoji smile ini? Atau … ada chat lain lagi sebelum itu?
Ck! Sejak kapan Sora kepo dengan urusan chat orang lain? Tapi tidak, ini cukup meresahkan. Mana Tama sedang tidak di kantor. Dia tidak bisa menanyakannya secara langsung.
“Maaf, Mba, yang ini…”
Sora kembali memfokuskan perhatiannya. “Hm-m? Yang mana, Sel?”
Giselle mengarahkan kursor ke salah satu menu. “Kemarin input nama customer di sini ‘kan?” tanyanya memastikan, agar tidak salah.
“Iya. Setelah kamu input nama customernya, nanti akan muncul transaksi dan history pembayaran dia. Kamu tinggal sort by month dan pilih bulan ini aja. Habis itu kamu tinggal ubah statusnya deh. Dia udah selesai bayar atau belum. Nanti sesuaikan sama catatan manual yang kamu buat tiap sore, setelah kolektor setor uang ke kamu.”
“Oh, paham, Mba. Terima kasih.” Giselle tersenyum lagi.
Setelah kembali ke kursinya, dan sampai satu hari penuh, Sora masih belum bisa mengenyahkan rasa penasaran akan isi chat tadi. Apakah setelah Dirga membalas ‘oke’, masih ada chat panjang kali lebar sebelum Salsa mengirim dua emoji smile?
Arrrghh! Kenapa Sora tiba-tiba merasa tidak tenang, padahal ini baru juga hari pertama Giselle bekerja?
***
Tama masih dalam perjalanan pulang saat Sora dan yang lainnya sudah meninggalkan kantor. Sora dan Kayal berjalan bersama di trotoar depan kantor karena keduanya akan naik transportasi umum.
“Lo kenapa, Ra? Dari tadi kayaknya pendiam banget. Karena Tama nggak ada ya seharian?” Rupanya Kayla menyadari Sora sedang tidak dalam mood yang baik. Kayla ini memang introvert. Pendiam. Namun bukan berarti dia tidak memperhatikan sekelilingnya.
“Ck. Gue aneh ya, Kay, kalau negative thinking sama seseorang?” Sora menatap ujung sepatunya dengan tidak selera.
“Maksudnya?”
“Ah, nggak usah deh. Gue nggak enak ngomongnya. Malu.”
Kayla menyenggol lengan Sora sambil tertawa. “Gaya banget lo, malu. Kayak yang baru kenal aja. Kenapa? Ada hubungannya dengan Tama pasti.”
Sora mendesah. “Dan Giselle.”
“Hah?” Cewek introvert itu melebarkan matanya. “Kenapa memangnya?”
“Entahlah. Gue ngerasa aneh. Padahal dia anak baik.”
“Kenapa lo bisa ngerasa aneh? Something happened apa gimana?” Kayla berusaha mengorek lebih detail. Sora ini memang kebiasaan, kalau sedang galau ngomongnya nggak jelas, kayak lagi ngigau.
Langkah mereka jadi berhenti karena Sora berhenti.
“Giselle ada nge-chat lo nggak, ngasih tau nomor dia?” tanyanya kepada Kayla.
“Enggak.”
“Sama. Gue juga enggak. Tapi tadi malam dia nge-chat Tama. Minta supaya Tama save nomor dia. Hari ini gue tungguin dia nanya nomor kontak gue. Secara ‘kan gue yang mentorin dia. Masuk akal nggak sih, kalau dia malah nggak kepikiran untuk minta kontak gue?” Sora bercerita dengan raut wajah kebingungan yang tampak begitu jelas.
“Dia… dapat nomor Tama dari mana?”
“Pak Rahmat.”
Kayla mengangguk-angguk.
“Aneh nggak sih kalau gue mikirnya kejauhan? Anak baru, dimentorin sama senior cewek, tapi malah mintanya nomor senior cowok. Ah, pusing banget gue mikirinnya.”
Sora berjalan lagi dan Kayla melakukan hal yang sama.
“Gue paham banget arah kekhawatiran lo, Ra. Trus rencana lo sekarang gimana? Masak lo mau interogasi Tama?”
“Ya enggak, Kay. Malu lah gue. Sekalipun kita udah sedekat itu, gue dan Tama sama sekali nggak ada hubungan apa-apa. Gue sadar diri banget.”
Kayla refleks meletakkan tangannya di punggung Sora dan mengusap pelan. Sudah bukan rahasia lagi kalau Tama dan Sora itu punya affair level dewa. Satu ruangan juga sudah tau. Tapi, berhubung semuanya sudah dewasa, tidak seorangpun yang berniat mencampuri urusan mereka. Tama dan Sora sudah pasti paham resiko dari perbuatan masing-masing.
“Tama… sama sekali nggak pernah bilang apa-apa ke lo, Ra? Tentang feeling dia ke lo?”
“Ada juga pasti bercanda doang. Lo tau kita lah, Kay. Nggak tau mana yang serius, mana yang bercanda. Kadang lagi bercanda dianggap serius, lagi serius dianggap bercanda." Sora membuat jeda.
"Kemarin kita bahas tentang kencan buta yang biasa diatur nyokap gue. Kata dia, dari pada kencan sama orang nggak jelas, mending sama dia. Dan pas dia ngomong kayak gitu, gue sama sekali nggak menemukan keseriusan dia. Kayak-kayak gitu aja, Kay. Hanya sebatas joke.”
“Ya, gimana, dia mantan playboy. Sebelum ini dia udah sering gonta-ganti pacar. Jam terbangnya udah jauh lebih tinggi dari lo. Bagus sih kalau lo nggak telan bulat-bulat candaan dia. Tapi jatuhnya gue kasian sama lo. Gimana ya?” Kayla ikut-ikutan baper.
Tau kalau Sora sudah memberikan segalanya ke Tama, tapi tidak pernah diajak serius, membuat Kayal turut iba dan prihatin. Andai dia ada di posisi itu, sudah pasti dia akan menuntut status kepada Tama.
“Hahh, lo kenapa jadi ikut-ikutan baper? Udah ah, nggak usah dibahas lagi. Semoga aja feeling gue salah.” Sora memutuskan berhenti membahas tentang Giselle. Keduanya juga sudah berada di halte dan sekarang sedang menunggu bus bersama beberapa calon penumpang lainnya.
***
Tama sudah sampai di apartemen. Melihat jam di pergelangan tangan, itu artinya dia pulang satu jam lebih lama dari biasanya. Laki-laki itu langsung membersihkan diri sebelum menghubungi Sora yang ada di unit sebelah. Berharap wanita itu tidak meninggalkan dirinya dengan makan malam duluan.
Pertama-tama dia menelepon nomor ponsel wanita itu. Nihil. Lalu mengulanginya sampai tiga kali. Masih tidak ada jawaban. Tama pun memutuskan untuk keluar dari unitnya. Menekan bel sampai berkali-kali.
“Ke mana sih ini anak?” Tama kebingungan. Belum pernah Sora tidak mengangkat teleponnya, sampai berkali-kali. Juga tidak membukakan pintu walau suara bel sudah memekakkan telinga.
“Tam?”
Laki-laki itu berbalik. Yang sejak tadi dia cari, malahan baru datang juga.
“Loh? Lo… baru nyampek? Dari mana aja?” Tama memastikan kalau baju kerja Sora memang belum berganti sama sekali.
Sora merogoh tas untuk mengambil kunci apartemen. “Gue habis kencan sama Kayla. Lo ngapain?”
“Tumben. Ada angin apa lo jalan sama Kayla? Bukannya dia introvert?” tanya Tama balik dan tidak menjawab pertanyaan terakhir Sora. Laki-laki itu juga ikut masuk ke dalam setelah pintu terbuka.
“Ya ngapain juga gue di apartemen? Nggak ada temen. Lo balik jam berapa tadi, Tam? Sukses penagihannya?”
Tama sadar kalau sejak tadi Sora tidak menatap kedua matanya. Bertanya, namun dirinya sibuk ke sana-sini. Seperti meletakkan barang, membuka sepatu. Biasanya perempuan itu akan melirik sekilas walau sedang melakukan apa saja.
“Lancar. Orangnya mau bayar semua tagihan yang udah menumpuk.” Tama menjawab dengan tenang dan duduk di sofa. Memperhatikan Sora yang masih enggan memberi perhatian serius.
“Baguslah. Macet banget ya tadi?” tanya gadis itu lagi seraya berjalan ke dalam kamar. Pintu dia buka dan tidak menutupnya walau niat awal adalah berganti pakaian.
“Banget. Lo sama Kayla naik bus?” Tama tergoda untuk melihat aksi bertukar baju perempuan itu. Berjalan mendekati kamar dan berdiri di ambang pintu dengan posisi bersandar miring di kusen yang terbuat dari kayu jati. Sora sama sekali tidak menyadarinya.
“Hm-m. Naik apa lagi memangnya? Masak naik pesawat?” jawabnya masih dengan nada yang cukup keras. Dikira Tama masih di luar, di ruang tamu. Kini dia membuka kemeja sambil membelakangi pintu. Setelah kemeja, dia membuka celana jinsnya juga. Tama menikmati pemandangan itu dengan hati yang mulai meluap. Indah sekali.
“Ya barang kali naik ojek online.”
“Tama!” Sora berbalik dengan cepat. Kedua tangannya refleks menutupi bagian dada dan juga area bawahnya. Dia terlihat sangat terkejut. Sejak kapan Tama ada di sana?
“Kenapa? Kayak gue orang lain aja.”
“L—lo… tunggu di luar aja sih!” Sora memberi kode. Menunjuk ke luar dengan menggunakan dagunya. Namun yang terjadi kemudian, Tama malah masuk dan menutup pintu. Lalu di depan kedua mata Sora, dia menaikkan kaos serta melepaskannya dari arah kepala.
“Gue belum mandi, Tama Sean Wijaya! Jangan dekat-dekat!” Tangan kanan Sora memanjang untuk menjaga jarak. Namun bagian telapaknya malah menyentuh dada Tama yang liat. Kekuatan Sora refleks hilang dan membuat Tama berhasil memojokkannya ke tembok kamar.
“Dari tadi lo nggak berani liat mata gue. Ada yang salah, Nona?” Tama bertanya dengan suara yang terdengar sangat seksi di telinga Sora. Sekarang perempuan itu benar-benar terhimpit antara tembok dan tubuh Tama yang lumayan besar. Mereka… begitu rapat.
“Ma—masak sih? Perasaan lo aja kali, Tam.”
Dirga mengangkat dagu Shanon dan memaksa perempuan itu menatapnya.
“I know you, Sora. Luar dalam. Lo menyembunyikan apa dari gue, hm?”
“Nggak ada, Tama. Lo berlebihan. Udah, gue mau pakai baju!”
Dirga menepis kedua tangan Shanon yang menempel di dadanya. Yang sejak tadi menjadi penghalang sehingga dada mereka tidak bisa bersentuhan. Laki-laki itu mengangkatnya ke atas kepala Sora sendiri.
“Ngapain pakai baju? Yang ada gue pengen bikin lo tel*njang, Ra.”
“Tam, tadi malam dan tadi malamnya lagi, trus malamnya lagi ‘kan udah. Belum puas lo?”
Tama menggeleng. Ditekannya tubuh Sora dengan dadanya. Perempuan itu pasti sesak napas.
“Ck! Lo maniak!”
Namun sekalipun dia memaki Tama karena kesal, tetap saja. Saat tangan laki-laki itu mulai bergerilya di dalam bra dan juga celana dalamnya, Sora sendiri lah yang meminta supaya Tama melucuti kedua benda itu.
“Lepasin bra gue, Tam!”
***