NovelToon NovelToon
Dihina Camer, Dirajakan Kekasih

Dihina Camer, Dirajakan Kekasih

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Beda Usia
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Ganendra pernah hampir menikah. Hubungannya dengan Rania kandas bukan karena cinta yang pudar, tapi karena ia dihina dan ditolak mentah-mentah oleh calon mertuanya yang menganggapnya tak pantas karena hanya pegawai toko dengan gaji pas-pasan. Harga dirinya diinjak, cintanya ditertawakan, dan ia ditinggalkan tanpa penjelasan. Luka itu masih membekas sampai takdir mempertemukannya kembali dengan Rania masa lalunya tetapi dia yang sudah menjalin hubungan dengan Livia dibuat dilema.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 13

Hari itu ruang pertemuan dipenuhi orang-orang penting. Para petinggi duduk rapi, mengenakan setelan formal. Suasana terlihat tegang, meski tak satu pun yang berani berkata banyak. Di sudut ruangan, Ganendra berdiri diam, tak bicara, tak bergerak. Ia tak pernah merasa sepenting itu berada di tengah rapat para direktur. Tangannya menggenggam map yang tak dibuka sejak tadi. Matanya lebih banyak menunduk, berusaha tak terlihat, tapi malah semakin mencolok.

Tuan Rais berdiri dari kursinya. Semua mata langsung tertuju kepadanya. Suaranya mengisi ruangan dengan ketenangan yang tak bisa diabaikan.

“Mulai hari ini, saya tunjuk Ganendra Al Ghazali sebagai asisten kepercayaan saya.”

Seketika semua terdiam. Beberapa saling menoleh, ada yang berbisik, ada yang tersenyum kecut. Tapi Ganendra tetap terpaku di tempatnya. Ia bahkan tak sempat menarik napas panjang.

Selesai pertemuan, Rais berjalan keluar. Ganendra buru-buru mengikuti dari belakang. Langkahnya cepat, tapi dadanya berat.

“Pak, maaf. Saya boleh bicara sebentar?” katanya dengan suara lirih.

Tuan Rais berhenti di depan lorong yang sepi, menoleh, lalu mengangguk.

“Ada apa?”

“Saya masih nggak percaya, Pak. Kenapa harus saya?” ucap Ganendra, menunduk lagi. “Saya cuma sopir. Sekolah juga cuma sampai SMA. Saya nggak punya apa-apa buat dibanggakan.”

Tuan Rais menyandarkan tubuh ke dinding, tatapannya tenang.

“Karena kamu tahu caranya menghormati waktu. Kamu nggak banyak bicara tapi kerjamu rapi. Kamu bisa dipercaya. Itu cukup.”

Ganendra menatapnya, masih tak yakin.

“Tapi orang lain lebih pantas, Pak. Mereka punya gelar, pengalaman, koneksi…”

“Dan mereka semua nggak tahu caranya diam saat harusnya mendengar,” potong Tuan Rais cepat. “Saya butuh orang yang tahu kapan harus bicara, kapan harus mendengar, kapan harus jalan tanpa disuruh.”

Ganendra menelan ludah. Suaranya mulai berat.

“Saya takut gagal, Pak. Saya takut bikin malu.”

Tuan Rais tersenyum kecil.

“Semua orang takut. Tapi yang bikin beda itu, siapa yang tetap jalan walau takut.”

Ganendra terdiam. Tangannya mengepal di sisi badan.

“Kalau itu maunya Bapak, saya terima. Saya bakal belajar. Saya bakal buktiin.”

Rais menepuk bahunya pelan.

“Kamu nggak perlu buktiin apa-apa, Gan. Kamu cuma perlu jaga hati tetap bersih. Sisanya, biar waktu yang bicara.”

Ganendra mengangguk. Bukan karena yakin, tapi karena berusaha percaya.

Dalam diamnya, ada rasa syukur yang tak bisa diucapkan. Hari itu ia bukan lagi sekadar sopir, tapi seseorang yang diberi kepercayaan. Dan itu lebih dari cukup.

Jam makan siang baru saja dimulai. Suasana kantor mulai lengang, sebagian besar karyawan keluar ruangan untuk cari makan. Di area parkir bawah, di dekat pos keamanan belakang, Ganendra duduk di bangku panjang dari besi. Bekal sederhana tergeletak di pangkuannya, isinya nasi putih dengan tumis sayur dan telur ceplok. Ia buka perlahan, tangannya sempat berhenti sejenak saat mendengar langkah kaki mendekat.

Dari balik tiang beton, muncullah Lintang—nona muda berusia dua puluh lima tahun, cucu bungsu Tuan Rais. Meski putri orang kaya, cara jalannya santai, wajahnya tetap ramah, bajunya pun sederhana. Di tangannya ada kantong kertas dari restoran terkenal yang sering muncul di sosial media.

"Mas Ganendra," panggil Lintang sambil duduk di sebelahnya, "ini aku bawain makan siang. Tadi pas pesen, langsung kepikiran kamu."

Ganendra buru-buru menutup bekalnya.

"Aduh, Mbak Lintang… saya jadi nggak enak. Nggak usah repot-repot gitu," katanya sambil senyum kaku, menolak dengan halus.

Lintang nyodorin kantong itu dengan ekspresi datar tapi tulus.

"Bukan repot, Mas. Aku ikhlas. Tadi makan di resto itu sendirian, terus kepikiran Mas. Ya udah, sekalian aja aku pesenin dua."

Ganendra garuk kepala yang nggak gatal. Matanya nyaris nggak berani menatap langsung wajah Lintang.

"Saya cuma sopir, Mbak. Nggak biasa dilayanin gini. Apalagi dari cucunya bos besar."

Lintang tersenyum. “Mas Gan itu kerja buat Kakekku udah lebih dari sekadar nyetir. Semua orang juga tahu Mas bisa dipercaya. Kenapa nggak bisa ngerasa pantas nerima makan siang?”

Ganendra menghela napas, nadanya pelan tapi dalam.

"Karena buat saya, hormat itu bukan soal siapa yang tinggi siapa yang rendah. Tapi tahu batas. Saya takut dikira numpang dekat. Takut jadi bahan omongan. Takut niat baik Mbak malah bikin orang salah paham."

Lintang menatapnya lama. “Tapi kalau semua orang jaga jarak cuma karena takut omongan, kapan bisa saling peduli?”

Ganendra akhirnya menoleh. Matanya tenang, suaranya jujur.

"Peduli itu mulia, tapi nggak semua bisa nerima dengan cara yang sama. Saya seneng Mbak perhatian, sungguh. Tapi saya juga harus tetap tahu diri. Karena di dunia ini, yang paling bahaya itu bukan miskin harta... tapi hilang rasa malu."

Lintang diam. Tak ada yang dibalas, hanya anggukan kecil.

Ganendra tersenyum, lalu membuka bekalnya lagi.

"Kalau Mbak berkenan, makan bareng aja di sini. Resto mahal atau nasi telur, yang penting hangatnya bisa dirasain bareng."

Lintang tertawa kecil. “Deal. Tapi nanti aku yang bawain minum.”

“Yang penting jangan bawa kopi susu dua ratus ribu, Mbak. Bisa-bisa saya langsung pingsan,” celetuk Ganendra ringan.

Mereka pun makan bersama, duduk di bangku besi dekat pohon palem tua, di tempat yang jauh dari sorotan tapi dekat dengan ketulusan.

Lintang duduk di samping Ganendra sambil menikmati suapan demi suapan dari kotak makanan yang baru saja dibukanya. Angin siang menggeser sedikit helaian rambutnya, tapi pikirannya lebih ribut dari udara yang berembus.

Dua hari. Baru dua hari ia memperhatikan pemuda itu lebih dekat. Ganendra bukan siapa-siapa dalam silsilah keluarga mereka, hanya supir pribadi kakeknya. Tapi entah kenapa, dari cara Ganendra menunduk saat bicara, dari caranya menolak makanan dengan sopan, dari nada bicaranya yang tenang namun dalam… ada sesuatu yang membuat dada Lintang terasa aneh.

Bukan kagum karena penampilan. Bukan juga karena posisi. Tapi ada keteduhan yang sulit dijelaskan. Ada wibawa diam-diam yang tumbuh tanpa banyak kata.

Lintang menyuap lagi makanannya, tapi rasa di lidahnya tak sekuat rasa di hatinya.

"Apa mungkin... ini perasaan yang nggak seharusnya ada?" batinnya pelan.

Ia melirik ke arah Ganendra yang masih asyik makan, duduk dengan tenang, seperti tak tahu bahwa seseorang di sebelahnya sedang berjuang dengan gelombang kecil dalam hatinya.

Lintang mengembuskan napas pelan.

"Mas Ganendra," ucapnya tiba-tiba, mencoba meredam suara hati dengan suara nyata.

Ganendra menoleh sambil mengunyah.

"Iya, Mbak?"

Lintang tersenyum tipis. “Nggak apa-apa. Tadi cuma pengin manggil aja.”

Ganendra tertawa kecil. “Kalau begitu saya hadir, Mbak. Saya standby kapan pun dipanggil.”

Lintang ikut tertawa. Tapi dalam tawanya, ada getar yang belum berani diakui. Ia tahu ini mungkin rumit. Tapi hati tak pernah minta izin untuk merasa.

1
Anto D Cotto
menarik
Anto D Cotto
lanjut crazy up Thor
sunshine wings
dan kamu emang udah layak dari pertemuan pertama insiden itu Livia .♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Wah aku yg salting.. asekkk.. 💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻💃🏻
sunshine wings
hahaha.. energi ya mas.. powerbank.. 💪💪💪💪💪😍😍😍😍😍
sunshine wings
Kan.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Good Ganendra.. 👍👍👍👍👍
sunshine wings
Yaa begitulah..Mantapkan hati.. 👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻👏🏻♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
Memang ada pilihan lain tapi hati hanya punya satu ya mau gimana lagi ya kan..
sunshine wings
Sudahlaa Lintang nanti makan diri sendiri.. 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
sunshine wings
kerana Livia yg pertama ada selepas hati Ganendra hancur berkeping².. ♥️♥️♥️♥️♥️
Naila
lanjut
Purnama Pasedu
lintang jadi badai
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: duri dalam daging 🤭🤣
total 1 replies
sunshine wings
😘😘😘😘😘
sunshine wings
Yesss!!! 💪💪💪💪💪♥️♥️♥️♥️♥️
sunshine wings
🥰🥰🥰🥰🥰
sunshine wings
daaan calon suami juga.. 🥰🥰🥰🥰🥰
Purnama Pasedu
Livia,,,sekali kali ajak ibunya ganen sama ganen ke restoran
Purnama Pasedu: begitu ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: belum waktunya kak mereka belum resmi pacaran
total 2 replies
sunshine wings
Laa.. rupanya adek sepupu kirain adek sekandung.. buat malu aja.. sadar dri laa ɓiar sedikit.. 🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️🤷🏻‍♀️
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭🤣
total 1 replies
Al Ghifari
lanjut seru banget
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak insyaallah besok 😘🙏🏻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!