Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Titik balik yang penuh luka dan harapan..
Pagi itu, suasana di luar terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan turun pelan-pelan, membasahi atap rumah kontrakan yang Nayla tinggali. Ia duduk di ruang tamu kecil, setumpuk berkas terbuka di hadapannya. Mata Nayla menatap satu lembar surat kuasa, lalu berpindah ke formulir sidang perceraian.
Ketika pintu diketuk, Nayla segera bangkit. Aldi berdiri di luar, mengenakan kemeja abu dan jas hitam, wajahnya tenang, berkas di tangan.
"Pagi, Bu Nayla. Saya sudah siapkan draf untuk sidang pertama. Kalau berkenan, kita bahas sebentar sebelum saya ajukan ke pengadilan," ucapnya lugas.
Nayla mempersilakan masuk. Mereka duduk berhadapan di ruang tamu yang sempit. Bau kayu basah bercampur aroma teh melati menguar dari dapur.
"Sidang pertama akan dilakukan dua minggu lagi. Untuk itu, kita perlu mematangkan dokumen. Bu Nayla bisa menandatangani surat ini hari ini?" tanya Aldi, menggeserkan lembaran ke arahnya.
Nayla membaca perlahan. Tangannya sempat bergetar, tapi ia segera menarik napas dan menandatangani.
"Saya akan jalani semuanya sesuai prosedur, Pak Aldi. Terima kasih sudah membantu saya sejauh ini."
Aldi mengangguk. "Saya hanya menjalankan tugas. Tapi izinkan saya bilang... Ibu kuat. Tidak semua orang bisa mengambil langkah seperti ini."
Nayla tersenyum kecil, tapi matanya sembab. "Saya tidak punya pilihan lain. Demi anak saya... dan diri saya sendiri."
Aldi menutup map dengan pelan. "Saya akan laporkan perkembangan ini ke pengadilan. Jika Ibu membutuhkan waktu atau bantuan tambahan, saya siap mendampingi."
Malam harinya, hujan tak berhenti. Nayla duduk di tepi tempat tidurnya, mengusap perutnya yang mulai membuncit. Ia menyentuh perut itu dengan lembut.
"Maaf ya, Nak. Mama nggak bisa kasih kamu keluarga yang utuh. Tapi Mama janji, kamu akan punya hidup yang lebih baik dari ini."
Air matanya menetes pelan. Tangisnya senyap. Ia menoleh ke dinding, di mana foto ibunya masih tergantung. Seketika ingatan masa kecil menyeruak...
Kilas balik: Saat Nayla kecil
Ayahnya meninggal saat Nayla baru dua tahun. Ibunya, Bu Lestari, seorang pedagang sembako di pasar tradisional. Setiap pagi, ibunya akan membangunkan Nayla dengan lembut, menyuapi sarapan, lalu membawanya ke lapak kecil mereka.
"Nayla harus pintar, ya. Harus kuat. Nggak boleh kalah sama hidup," begitu pesan yang selalu diulang ibunya.
Di malam hari, setelah berjualan seharian, mereka akan duduk berdua di lantai, makan nasi dengan tempe goreng. Terkadang, ibunya mendongeng sebelum tidur, cerita tentang bidadari yang jatuh cinta pada bumi.
"Ibu nggak pernah mau nikah lagi?" tanya Nayla kecil suatu malam.
Ibunya tersenyum dan mengelus rambut Nayla. "Nggak usah. Punya kamu aja udah cukup. Kamu kebahagiaan Ibu."
Kenangan itu seperti pelukan hangat. Nayla menutup mata, air mata mengalir semakin deras.
Beberapa hari kemudian, Nayla baru saja selesai mencuci piring ketika notifikasi dari ponsel berbunyi. Salah satu teman lamanya dari komunitas pengajian mengirim story yang menampilkan foto pesta ulang tahun anak teman mereka. Di salah satu sudut foto, tampak Raka dan Tania berdiri berdampingan. Mesra. Tertawa.
Komentar bermunculan:
"Cocok banget sih kalian."
"Wah, semoga langgeng ya kak Raka dan kak Tania."
Nayla menelan ludah. Ia tidak tahu bahwa Raka sudah terang-terangan membawa Tania ke lingkup sosial mereka.
Tapi Nayla tidak ingin membalas. Tidak ingin menjelaskan apa pun. Ia hanya menggenggam ponsel itu erat dan berkata pada dirinya sendiri:
"Biarlah mereka nggak tahu cerita sebenarnya. Yang penting aku tetap di jalan yang benar."
Sore harinya, Aldi kembali menghubungi lewat telepon.
"Bu Nayla, saya butuh satu dokumen tambahan untuk sidang. Kapan bisa Ibu kirim?"
Nayla nyaris tak menjawab. Matanya masih basah. Tapi ia menguatkan suara.
"Malam ini saya kirim, Pak. Mohon maaf atas keterlambatan."
"Tidak apa-apa. Terima kasih atas kerjasamanya."
Saat telepon ditutup, Nayla duduk termenung di depan cermin. Ia melihat dirinya sendiri. Wajah lelah. Mata sembab. Tapi di balik itu, ada ketegaran yang perlahan tumbuh. Ia tahu, ini belum akhir. Ini baru permulaan.
Dan entah mengapa, ia merasa... dirinya tidak benar-benar sendirian.