Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbaikan Rumah
Membersihkan rumah yang sudah lama tidak dihuni bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi beberapa bagian seperti atap, plafon dan pembatas yang terbuat dari kayu memerlukan perbaikan.
“Sebaiknya kamu lapor ke Pak RT dulu, sekalian minta tolong carikan tukang untuk perbaikan. Kamu tidak akan bisa tinggal di rumah ini kalau bagian-bagian ini belum diperbaiki.” Kata Romi yang mengipasi tubuhnya yang berkeringat.
“Iya, Kak. Aku cuci tangan dulu.”
“Aku akan menemanimu!” seru Aliya yang masih dengan semangat 45nya.
Arumi dan Aliya mengetuk pintu tetangga yang ada di sebelah dan menanyakan dimana rumah Pak RT.
Tetangga yang Arumi datangi justru menyarankannya ke rumah kepala desa karena jaraknya yang lebih dekat dibandingkan dengan ketua RT. Arumi mengikuti saran beliau dan sampailah keduanya di rumah kepala desa yang ada di dalam gang seberang rumahnya.
“Silahkan masuk! Ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang perempuan paruh baya.
“Saya mau melapor ke kepala desa.”
“Oh! Saya istrinya. Sebentar saya panggilkan.” Perempuan paruh baya tersebut masuk ke dalam dan keluar kembali bersama laki-laki paruh baya.
“Duduk, Mbak! Jangan sungkan-sungkan!” kata laki-laki paruh baya tersebut.
Arumi dan Aliya mengangguk dan mereka duduk di hadapan laki-laki dan perempuan paruh baya tersebut.
Sebelum Arumi mengutarakan maksudnya, laki-laki paruh baya tersebut mengenalkan diri sebagai kepala desa, Arifin dan istrinya, Puji. Setelah berbasi-basi, akhirnya sampai pada inti kedatangan Arumi yang ingin melapor kalau dirinya akan menempati rumah peninggalan Umi Im.
“Kamu anaknya Mbak Imamah?” tanya Arifin.
“Iya, Pak. Lebih tepatnya anak angkat.”
“Oh! Jadi, kamu mau menempati rumah itu?” Arumi mengangguk.
“Rumah itu sudah 8 tahun terbengkalai, tidak layak huni.”
“Selain melapor, saya juga ingin meminta bantuan Bapak untuk mencarikan tukang yang bisa memperbaiki rumah, Pak. Tidak renovasi besar-besaran, yang penting layak huni.”
Arumi takut menghabiskan banyak uang untuk memperbaiki rumah secara keseluruhan, sehingga hanya bisa melakukan perbaikan di bagian yang penting saja. Uang yang ia pegang saat ini tidaklah banyak dan dirinya juga memerlukannya untuk kehidupan mendatang.
“Bisa-bisa. Sekarang juga saya hubungi, kebetulan masih saudara.” Arumi mengangguk dan Arifin menghubungi saudaranya yang merupakan tukang bangunan.
Setelah berbincang sebentar, Arifin mengakhiri panggilannya dan mengatakan kepada Arumi kalau besok saudaranya akan datang melihat rumah agar tahu keadaannya.
“Kamu bisa tinggal di sini untuk sementara waktu kalau tidak ada tempat menginap. Kebetulan anak kami di luar kota, kamu bisa menggunakan kamarnya.” Kata Puji.
“Terima kasih, Bu.”
Arumi dan Aliya kembali ke rumah dan mendapati Romi yang sedang tertidur di teras. Aliya membangunkan Romi dan mengajaknya ke masjid karena sudah masuk waktu maghrib. Selesai melaksanakan sholat berjamaah, mereka mencari makan dan pergi ke rumah kepala desa untuk menginap.
Keesokan harinya, Arifin mengenalkan saudaranya, Amin kepada Arumi. Setelah berkenalan dan mengatakan keinginannya, Arumi membawa Amin ke rumah. Amin melihat keadaan rumah dan berkeliling.
“Yang pasti atap, plafon dan beberapa kayu ini harus diganti. Sekat ini bisa diganti dengan kalsiboard. Berhubung atap genting, perlu beli beberapa kayu untuk mengganti rusuknya. Teras depan dan belakang juga perlu perbaikan. Saran saya, diganti dengan baja ringan saja lebih ekonomis dibandingkan menggunakan kayu. Temboknya hanya perlu dicat ulang dan poles anti jamur karena lembab. Beberapa jendela juga perlu diganti kacanya. Terakhir, beberapa ubin yang rusak bisa diganti atau dibuat lantai semen sekalian.” Kata Amin setelah melihat kondisi rumah secara keseluruhan.
“Kira-kira habis berapa ya, Pak?” tanya Arumi.
“Sekitar 15, bisa kurang dari itu.”
“15 juta? Apa pakai tabungan dari Umi saja?” batin Arumi bimbang.
Ia tidak menyangka akan menghabiskan uang sampai 15 juta. Tetapi demi rumah amanat Umi Im, Arumi menyanggupinya.
“Baik, Pak. Kira-kira selesai berapa hari?”
“Satu minggu dengan 2 tukang.”
“Baik, Pak. Ini uang muka yang bisa saya berikan. Kekurangannya akan saya bayar nanti.” Kata Arumi seraya menyerahkan uang sejumlah satu juta rupiah yang ada di dalam tasnya.
Amin menerimanya dan mengatakan jika dirinya akan memulai pekerjaan hari ini juga. Sementara ia akan mengambil bon di toko bahan bangunan yang mana akan di total setelah pekerjaannya selesai nanti.
Arumi setuju karena ia sendiri tidak mengerti bagaimana cara kerja perbaikan rumah. Ia sepenuhnya percaya dengan Amin yang merupakan saudara dari kepala desa. Jika ada masalah, ia hanya perlu meminta pertanggung jawaban kepala desa yang merekomendasikan Amin. Begitu pikir Arumi.
Perbaikan rumah dimulai begitu salah satu rekan Amin datang bersama dengan satu pickup bahan bangunan yang diperlukan.
Aliya dan Romi tidak bisa tinggal lama karena Romi masih ada janji besok. Akhirnya Aliya dan Romi berpamitan, meninggalkan Arumi yang akan menginap di rumah kepala desa selama perbaikan rumah.
“Hati-hati di jalan.” Kata Arumi.
“Jangan lupakan aku, oke!” rengek Aliya yang memeluk Arumi.
“Tentu saja tidak! Kamu bisa menghubungiku kapan saja.”
Aliya dengan enggan melepas pelukannya dan masuk ke dalam mobil. Ia melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak.
Arumi merasakan kehilangan teman yang selama ini tidak pernah melihat kekurangannya dan bahkan mendukung apapun keputusannya. Tetapi ia tidak boleh lemah. Ia harus kuat karena mulai saat ini ia harus mengandalkan dirinya sendiri.
Seminggu berlalu, perbaikan rumah Arumi sudah hampir selesai. Di hari ke delapan, rumah sudah selesai di perbaiki. Setelah melunasi semua tagihan, Arumi meminta bantuan Amin untuk membersihkan rumah sekalian membuang perabotan yang sudah lapuk.
“Bayar setengah dari harga kemarin saja, Rum.” Kata Amin yang telah menyelesaikan pekerjaan bersih-bersihnya.
“Tidak, Pak. Saya sudah mengatakan akan membayar penuh, jadi ini saya bayar penuh.” Amin tidak berkomentar dan menerima uang dari Arumi.
“Panggil Kang saja. Terlalu tua kalau kamu panggil Pak!”
“Baik, Kang.”
“Kalau ada apa-apa, hubungi saja aku.” Arumi mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Akhirnya ia bisa menempati rumah peninggalan orang tua Umi Im. Setelah perbaikan dan dibersihkan, kini rumah tua itu terlihat lebih hidup dibandingkan saat Arumi pertama kali datang.
Rumah tembok dengan lantai ubin itu terlihat nyaman ditinggali. Arumi tersenyum melihat ke sekeliling. Yang harus ia lakukan sekarang adalah membeli peralatan yang tidak ada di sana, seperti keset, tempat sampah, tirai, Kasur dan lain-lain karena perabot rumah seperti meja, kursi, lemari, ranjang, perlatan masak dan makan, masih bisa digunakan.
“Tabungan dari Umi hanya tersisa separuh. Aku akan menggunakan tabunganku untuk membeli perlengkapan.” Gumam Inaya yang kemudian menghubungi kepala desa untuk bertanya dimana ia bisa mendapatkan perlengkapan yang ia butuhkan.
Kepala desa menyarankan Arumi untuk memakai ojek agar dirinya bisa ke toko serba ada yang ada di desa sebelah. Arumi menurut dan berjalan menuju pangkalan ojek yang ada di samping masjid.
.
.
.
.
.
Haloo... hari ini author hanya sempat up satu bab. Selamat membaca...