Sebuah Cinta mampu merubah segalanya.Begitulah kiranya yang akan dirasakan Mars dalam memperjuangkan cinta sejatinya.
gaya hidup Hura Hura dan foya foya berlahan mulai ia tinggalkan, begitu juga dengan persahabatan yang ia jalin sejak lama harus mulai ia korbankan.
lalu bisakah Mars memperjuangkan cinta yang berbeda kasta, sedangkan orang tuanya tidak merestuinya.
Halangan dan hambatan menjadi sebuah tongkat membuatnya berdiri tegak dalam memperjuangkan sebuah cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yunsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 11
Amara menatap tajam ke arah mata Mars tanpa ingin menjelaskan apa yang sebenarnya, karena memang inilah yang diinginkan olehnya, walaupun sebenarnya hatinya sangat terluka.
"Mars....."
"Mars, sejak tadi pagi aku mencari mu. Ini jaket mu tertinggal semalam." ucap gadis itu sambil menyerahkan jaket ke tangan Mars,dan Mars yang semula menatap tajam kearah Amara menoleh pada gadis di belakangnya, dan menerima jaket itu tanpa menjawab.
Amara menatap lekat gadis itu dengan tatapan tajam dan kembali menatap ke arah mata Mars yang sudah kembali menatap matanya pula, seakan memberitahukan pada Mars, jika dirinya pun sama saja, namun berlagak seperti korban. Tanpa ingin menjelaskan Amara memilih pergi meninggalkan Mars, dengan langkah cepat dan tanpa menoleh kebelakang kembali.
Amara berusaha menyakinkan dirinya sendiri jika ini adalah yang terbaik untuk kehidupannya. Selain kesenjangan sosial, ia tidak mau di campakan seperti gadis gadis sebelumnya.
Mars terus melihat kepergian Amara, ia masih belum terima dengan perlakuan Amara yang mendiamkan dirinya, seolah membenarkan apa yang diucapkannya barusan.
"Kamu akan membayar ini Amara." gumam Mars yang merasa tidak terima hatinya di campakan begitu saja. Mars menatap gadis yang masih berada di hadapannya yang ikut menatap kepergian Amara.
"Maafkan aku, aku rasa aku datang di waktu yang tidak tepat." ucap gadis itu menatap wajah Mars, dan Mars hanya diam saja seolah tadi malam memang tidak pernah bertemu. Di depan gadis itu Mars membuang jaket yang di berikan gadis tadi di tempat sampah kemudian berjalan menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya tadi.
Clara dan Bara yang melihat dari kejauhan mencoba mendekati gadis yang terdiam terpaku menatap dan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Ia sejak semalam tidak bisa tidur memeluk jaket Mars, dan sejak tadi pagi bingung mencari keberadaan Mars, bahkan ia dengan percaya diri menanyakan pada setiap mahasiswa adakah yang mengetahui keberadaan Mars, dan dengan sombongnya memberitahukan pada mahasiswa lainnya, jika jaketnya berada di tangannya. Namun sekarang?? Jaket itu di buang di tempat sampah begitu saja oleh pemiliknya.
"Miris sekali.... Sangat sayang jaket LV terbuang sia sia karena mu girl. Makanya lain kali jangan terlalu percaya diri, karena itu akan mempermalukan dirimu sendiri." ucap Clara dengan intonasi halus namun nada mengejek.
Begitu mengejek gadis itu, Clara berjalan kembali di ikuti Bara yang hanya menatap kearah gadis itu dengan dingin tanpa ekspresi.
"Tunggu dulu...." ucap Clara sambil berbalik kearah gadis itu
"Kamu bisa mengambil jaket itu, sayang sekali produk LV asli teronggok di tempat sampah. Anggap saja itu adalah bayaran semalam kamu sudah menemani Mars." ucap Clara mengejek
"Tapi ingat, kamu hanya dianggap tak lebih dari sampah, seperti jaket itu. Walaupun kamu cantik... Tapi kamu tidak menarik." lanjut Clara dengan sinis namun tetap dengan senyuman mengejek.
"Apa yang terjadi dengan Mars??" gumam Clara ketika berada di mobil Bara. Sedangkan Bara hanya diam saja tidak menjawab ucapan Clara.
"Bara..."
"Clara... biarkan Mars menyelesaikan masalahnya sendiri, kamu jangan terlalu ikut campur." ucap Bara memperingati Clara. Sebenarnya ia tidak setuju jika Clara mempermalukan gadis tadi, walau sebenarnya apa yang di katakan Clara adalah sebuah kebenaran. Clara menjadi jengkel pada Bara karena ucapannya di potong, sehingga Clara akhirnya memutuskan diam saja.
Sampai di rumah Amara terdiam di kamar, ia masih merenung. Masih terlihat jelas diingatan nya tentang semua ucapan Mars tadi siang. Dan juga ucapan gadis itu yang membuat Amara menjadi panas, sesak dan emosi. Amara mencoba menenangkan dirinya sendiri jika apa yang ia lakukan adalah keputusan yang benar.
"Tenang Amara.... Ini hanya permulaan. Kamu lama lama akan melupakan dan terbiasa tanpa dirinya, seperti saat kamu belum mengenalnya. Jangan sampai perasaanmu membuat keputusan bodoh, yang akan membuatmu semakin sakit nantinya." gumam Amara pada bayangan wajahnya sendiri di depan cermin riasnya.
"Amara...." panggil Ibunya dari luar membuat Amara terkejut dan akhirnya memutuskan keluar untuk membantu ibunya.
Mars sendiri langsung pulang ke rumah, dia mendudukan diri di kursi sofa kamarnya. Di raih botol wine, dan menuangkannya pada gelas kecilnya lalu menenggak hingga habis dalam satu waktu. Terlihat wajahnya menahan pahit, namun ia masih menuangkannya lagi ke dalam gelas kecil lagi.
Ingatan tadi siang masih terlintas di pikirannya, wajah Amara yang terlihat menatap tajam kearahnya tanpa menjawab, membuat emosi Mars kembali naik, dan kembali meneguk kembali gelas kecil berisi alkohol itu.
Ting...tong....
Mars mengerutkan keningnya, namun tetap berdiri dan berjalan keluar kamar melihat siapa yang datang. Karena rumah Mars hanya memakai petugas kebersihan yang pulang dan tidak stay home, maka ia sendirian di rumah mewah itu. Sedangkan Ayahnya entah kapan akan pulang Mars sendiri juga tidak tahu. Papanya terlalu sibuk bekerja, sampai ia sendiri sangat jarang bertemu dengan Papanya. Bahkan belum tentu satu Minggu ia bisa bertemu bertegur sapa dengan Papanya. Jika di bar pun mereka hanya sebatas bersay helo tanpa ada percakapan seperti keluarga.
Mars membuka pintu rumahnya, ternyata Bara mendatangi dirinya namun Bara terlihat sendirian, tanpa ada Clara di sampingnya.
"Sendiri?" tanya Mars sambil mempersilahkan Bara masuk kemudian menutup kembali pintu rumahnya.
"Aku mengantar Clara pulang. Dia terlalu berisik kadang kadang." ucap Bara sedikit membuat candaan agar Mars tersenyum, karena ia tahu wajah Mars tidak bisa menyembunyikan jika ia sedang frustasi.
Bara mengikuti langkah Mars ke kamar, dan ikut duduk sofa tempat Mars duduk tadi. tanpa di suruh Bara ikut menuang wine ke gelas dan meminumnya namun tidak langsung habis, hanya sebatas mencicipi.
Bara menatap Mars tanpa bicara, seperti yang sudah sudah. Ia akan menemani sahabatnya, dan memberi masukan jika di perlukan, Bara selalu setia menjadi pendengar yang baik untuk Mars selama ini.
"Aku melihatnya di jemput seorang Pria kemarin." ucap Mars mulai bercerita, kemudian meminum wine di tangannya.
"Baru lusa ia memberi nomor ponselnya, dan kemarin dia sudah.... Berubah." lanjut nya
"Apa kamu sudah bertanya siapa pria itu?" tanya Bara bijak
"Bagaimana aku mau bertanya? Sedangkan dia melihatku seperti musuh." jawab Mars tidak mengerti dengan sikap Amara yang berubah ubah tidak menentu.
Untuk hal ini Bara sendiri tidak bisa memberi masukan seperti sebelumnya, karena ia juga tidak tahu kebenarannya. Ia hanya bisa menepuk pundak Mars agar Mars bisa bersabar tanpa emosi.
"Aku akan membalasnya Bara." ucap Mars sambil kembali meneguk gelas wine penuh dalam satu tegukan. Rasa kecewa, frustasi dan juga emosi bercampur di wajah Mars saat ini.
Bersambung....