Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persiapan
..."Rahasiamu, membuat setengah diriku terbunuh"...
...•...
...•...
Kezia keluar dari gerbang sekolah dengan menuntun sepedanya. Ia tidak menyangka jika Leon memberitahukan perihal penting itu kepadanya terlebih dahulu, bahkan ia satu-satunya yang Leon beritahu.
Awal yang membingungkan, pertengahan yang menyedihkan, dan akhir yang membahagiakan. Itu yang seharusnya terjadi, bukan akhir yang menyedihkan pula.
Tidak ingin terus memikirkan apa yang Leon katakan, tapi hal tersebut terus bergantungan di otaknya. Kezia melamun di sisi jalan dan tidak memperhatikan jalannya. Beruntung saja ada Darren yang langsung menariknya karena akan terserempet sebuah mobil.
"Ngapain ngelamun sih? Tadi kalau kena gimana? Lo lagi mikirin apa sampai segitunya, ha?" Darren menatap wajah Kezia yang terlihat seperti gadis kebingungan dengan seribu bahasa yang tidak bisa diterjemahkan.
"Nggak ada, makasih."
"Kalau ada apa-apa cerita ke gua juga nggak apa-apa, jangan dipendam sendiri."
"Hem...."
"Darren!! Ayo! Kamu nggak mau pulang?" teriak Dinda dari sebrang sana dengan mobil putih di sebelahnya.
"Iya-iya, bentar." Darren memegangi kedua bahu Kezia dan menatap gadis di depannya lekat-lekat.
"Apa? Mau ngasih gua kata-kata? Gua udah kenyang sama kata-kata mutiara yang cuman singgah sementara," kata Kezia.
"Gua tahu, tapi kali ini bukan kata-kata biasa." Darren mendekatkan wajahnya ke telinga Kezia. "Selama ada gua, pikiran dan jiwa lo nggak akan sendiri."
"Tap-"
"Apapun yang terjadi, ya udah terjadi. Jangan memaksa apa yang udah terjadi. Kita memang bisa berusaha untuk mengubahnya, tapi takdir yang melakukannya."
"Gua...."
"Yang ada di pikiran lo harus sampai di sini." Darren menunjukkan dadanya.
Setelah itu, laki-laki itu langsung melenggang pergi ke arah Dinda untuk segera pulang. Sebelum masuk ke dalam mobil, Darren menyempatkan diri untuk melambaikan tangannya ke arah Kezia yang tengah menatapnya.
"Bukan itu yang gua pikirin, tapi makasih untuk kata-katanya," kata Kezia. Ia melihat mobil kakak Darren yang menjauh dengan tersenyum tipis mengingat Darren yang selalu memberikan kata-kata untuk harinya.
...••••...
"Arden!! Kamu sembunyiin ke mana buku kakak?" Zea bolak-balik dari kamarnya ke kamar Arden karena mencari buku mengenai materi-materi yang harus ia pelajari untuk ujian berikutnya.
"Aku nggak lihat, bahkan aku aja nggak tahu bukunya kayak apa," balas Arden.
"Ya.... Di mana dong..."
"Terakhir taruh di mana?" tanya Arfan. Pria itu turut serta membantu Zea mencari buku tersebut.
Dari dapur, ruang tamu, ruang keluarga, taman, tempat kerja Arfan, dan tempat-tempat lainnya. Namun tidak terdapat buku tersebut. Lebih anehnya lagi, terdapat bendungan air mata saat Zea mengetahui bukunya tidak kunjung ditemukan juga. Itu bukan buku biasa, melainkan buku diary yang selalu ia bawa kemana-mana.
Salahnya sendiri menaruh materi-materi ujiannya di buku diary karena ada tempat kosong di lembaran belakang. Selain buku diary yang tidak ditemukan, Zea juga tidak menghapal semua materi-materi yang terdapat di sana.
"Aku harus gimana, Pa...." Zea duduk di sofa dengan menahan air matanya yang hendak turun.
"Kamu tanya temen-temen kamu, terus catat lagi," jawab Arfan.
Zea menghempaskan air matanya yang akan turun membasahi pipinya. Ia mulai mengotak-atik ponselnya dan langsung melakukan panggilan suara dengan seseorang.
"Kenapa?" jawab Arlan, saat ia menerima panggilan dari Zea.
"Gua boleh lihat catatan materi buat ujian besok nggak?"
"Nggak, nggak boleh."
"Ayo, dong, Ar. Buku gua hilang dan nggak ketemu-ketemu dari tadi... Nanti gua traktir deh."
"Kalau gua bilang enggak, ya, enggak."
Menatap kesal layar ponselnya saat tau Arlan tiba-tiba mematikan panggilan. Zea meremas benda pipih tersebut dengan air mata yang mulai turun karena sedih dengan bukunya yang menghilang.
"Coba tanya yang lain," ujar Arfan.
Zea mencoba menghubungi temannya yang lain dan mengelap bulir-bulir air mata yang membasahi pipinya dengan menganggukkan kepalanya.
...••••...
"Ngapain lo?" tanya Sean, memasuki kamar Garrel.
"Lo nggak lihat? Gua lagi ritual biar nggak pusing besok."
Ya, benar. Garrel sedang belajar dengan tumpukan-tumpukan buku yang sangat amat banyak hingga berantakan pula ke lantai. Bahkan meja belajar, dan kasurnya juga berantakan dengan berbagai buku-buku yang terbuka lebar.
"Ohh.... Mau tukeran sama gua? Lo cuman ujian kenaikan kelas, kan?"
"Lo mau adu nasib sama gua? Ya, jelas menang gua lah. Orang gua lebih muda dari lo," ejek Garrel.
"Lo kira gua tua? Cuman beda setahun aja belagu," balas Sean.
"Lah, lo juga. Cuman beda jenis ujian aja, menyepelekan ujian gua."
Skak! Sean kalah kali ini. Ia langsung keluar dengan menutup kamar Garrel sangat keras hingga Arsa terbangun dan berteriak nama abangnya.
"ANKA!!"
"ABANG! AWAS AJA KALAU MANGGIL TANPA ABAL-ABAL ABANG LAGI," balas Sean, dari kamarnya. Sementara kamar Garrel ada di antara Arsa dan Sean, tentu saja ia terganggu dengan suara teriakan kedua bersaudara tersebut.
Sean dan Garrel sama-sama berjuang mendapatkan sebuah angka untuk masa depannya. Keduanya sama-sama berambisi jika itu mengenai nilai. Bahkan hingga larut dan bertemu dengan pagi kembali pun masih mereka teruskan.
Garrel menidurkan tubuhnya yang sangat lelah, bahkan punggungnya pun terasa sakit karena terlalu banyak duduk. Ia memejamkan matanya dengan buku-buku yang berantakan di atas kasurnya, bahkan di meja belajarnya juga tidak kalah berantakan.
"Garrel!! Bangun, kamu nggak sekolah? Hari ini kamu ujian lho," panggil Tara, dari balik pintu kamar Garrel yang tertutup rapat.
"Bentar, lima menit lagi."
"Lima menit apanya? Ini udah jam setengah tujuh."
Sontak Garrel bangun dari tempat tidurnya dan bergegas ke kamar mandi untuk mempersiapkan diri. Ia menuruni tangga dengan memakai dasinya dan kondisi rambut yang masih basah karena tidak dikeringkan, bahkan belum ia sisir.
"Kok ka-"
Garrel langsung menyahut kotak bekalnya di atas meja makan dan menyambar tangan Tara untuk mencium punggung wanita itu. "Aku berangkat dulu."
"Nggak sarapan dulu?" tanya Tara. Wanita itu menghampiri Garrel yang sibuk memakai sepatu di depan rumah.
"Aku bawa bekal aja udah cukup. Aku boleh pinjam motor Anka nggak?"
"Ambil aja kuncinya di laci bagian atas, samping tangga."
Beruntung Tara langsung menghindari Garrel yang akan menabraknya untuk kembali memasuki rumah. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala karena kecerobohan Garrel yang jarang sekali muncul di pagi hari.
"Pelan-pelan bawanya, jangan cepet-cepet. Intinya bisa sampai hingga selamat," pesan Tara.
Garrel mengacungkan jempolnya dan memakai helm yang merupakan milik Sean juga. Suara deru mesin motor tersebut sangat keras saat Garrel melesat pergi dari daerah pekarangan rumahnya.
"Dibilangin pelan-pelan, malah kekencangan," kata Tara.
"Namanya juga anak muda, Bun. Susah dibilangin," balas Gilang, yang tiba-tiba ada di belakangnya.
"Tapi ya nggak gitu juga. Kita sebagai orang tua juga khawatir kalau dibilangin tapi nggak dilakuin. Cuman sebuah jawaban, tanpa ada aksi kenyataan."
"Kata-kata untuk pagi ini." Gilang menyeruput tehnya dan memulai pagi dengan seperti biasa, yaitu membaca koran.
...••••...
Sean menyipitkan matanya saat melihat motornya ada di parkiran sekolah. Bukankah ia tadi ke sekolah dengan memakai sepeda? Bagaimana bisa motor itu juga ada di sekolah? Padahal ia juga tidak membawanya.
Saat matanya menangkap Garrel yang akan melewatinya. Ia menarik bahu laki-laki tersebut dengan kencang. "Lo yang bawa motor gua?"
"Iya, gua udah mepet tadi."
Sean pun mengerutkan keningnya. "Mepet?"
Garrel langsung menarik tangan kiri Sean yang terdapat jam tangan dan membulatkan matanya. Ingin sekali ia mengumpat, Ibunda Tara sudah mengibulinya.
"Jangan bilang karena bunda," kata Sean.
"Tck!" Garrel mendudukkan dirinya di tempat duduk terdekat dan mengacak-acak rambutnya yang sudah acak-acakan.
Membiarkan sepupunya menertawakan kecerobohannya. Garrel menatap Sean dengan tatapan malas.
"Kasian.... Dikibulin bunda," ejek Sean, yang ikut duduk juga di samping Garrel.
"Diem lo! Ini bukan kesiangan, tapi kepagian."
"Kepagian apaan? Tiap hari gua jam segini berangkatnya."
"Iya, buat lo. Bukan gua, lo kan berangkat pagi buat belajar bareng sama Sheila."
"Tahu aja lo," balas Sean.
Seorang wanita berseragam sama dengan guru-guru yang lainnya melewati Garrel dan Sean yang tengah duduk dan langsung berjalan mundur karena menatap penampilan Garrel. "Ya, ampun, Garrel.... Penampilan kamu kok kurang enak dilihat?"
"Enak? Saya bukan makanan, Bu."
"Marahin aja, Bu. Kamarnya aja juga berantakan seperti kapal pecah," imbuh Sean.
"Kasihan orang tua kamu, Garrel...."
Garrel langsung mencari ponselnya dan menunjukkan sesuatu. Sebuah gambar yang sedikit buram dengan keadaan meja berantakan.
"Itu berantakan sekali, Rel. Jangan kamu contoh."
"Bu Ratna tidak tahu itu meja siapa?"
"Tidak, tapi jangan ditiru."
"Justru itu saya tiru, Bu. Karena itu meja kerja Albert Einstein yang berantakan, siapa tahu otak kita nanti sama," balas Garrel. Sementara Sean menghela nafasnya karena ikut kesal dengan Garrel.
"Oh, iya. Nama lengkap kamu kan Garrel Albert."
"Maka dari itu, Bu." Garrel melirik Sean di sampingnya dengan tersenyum kemenangan.
"Tapi kebersihan dan kerapian itu penting! Nanti kamu rapikan lagi ya, Rel?"
"Siap, Bu," jawab Garrel, dengan semangat hormat kepada Bu Ratna.
Setelah itu, wanita itu melenggang pergi menjauh. Sementara Garrel tersenyum bangga pada dirinya sendiri, dan Sean yang tiba-tiba beranjak dari duduknya.
"Mau kemana lo?" tanya Garrel.
"Menurut lo?"
Sean berjalan pergi meninggalkan Garrel menuju parkiran. Garrel sudah menduganya, mungkin Sheila sudah sampai.
Sungguh mengenaskan kisah cintanya dengan Sava, dan Garrel tidak ingin mengingat-ingat gadis itu lagi. Ia menepuk-nepuk dahinya dan beranjak dari duduknya ke kelas untuk mempersiapkan dirinya akan ujian.
Pagi-pagi yang biasanya masih sepi. Sekarang tampak berbeda karena ada ujian-ujian yang membuat siswa-siswi berangkat lebih awal untuk memahami kembali materi-materi sebelumnya.
Namun, kelas ujian Garrel masih sepi, dan hanya ada dirinya saja di sini. Duduk di bagian tengah adalah bukan tempat favorit Garrel, karena tempat yang ia sukai adalah tempat dekat dengan meja guru. Entah itu paling depan, bagian tengah ataupun pojok.
...••••...
...TBC....