Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***
Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tak sendiri lagi
Puluhan menit berlalu sejak panggilan video itu ditutup. Suasana kos Galang dan Danu tetap lengang, hanya terdengar sesekali suara kendaraan melintas dari kejauhan. Galang duduk di kursi kayu di teras depan, sesekali melirik layar ponselnya, lalu ke arah pintu kos yang terbuka setengah. Di dalam, Danu tampak sedang memeriksa ulang tas ranselnya, memastikan semua barang penting sudah masuk, charger, dompet, buku catatan kecil, dan jaket tebal untuk jaga-jaga.
Dan akhirnya, suara khas deru mesin mobil terdengar mendekat, lalu berhenti tepat di depan kos mereka. Suara klakson dibunyikan dua kali, singkat namun cukup untuk membuat Galang langsung berdiri dan menoleh. Di balik kaca depan, Bima duduk di belakang kemudi, sementara Naya berada di kursi sebelahnya, mengenakan kaus tipis dan celana training, rambutnya kini diikat seadanya.
"Yuk!" Bima membuka pintu dan turun dengan langkah cepat. Ia mengenakan hoodie abu-abu dan celana jeans. Begitu kakinya menginjak tanah, ia langsung melirik ke arah bagasi. "Nay, lo tunggu di dalam ya. Gue bantu anak-anak masukin barang."
Naya mengangguk santai dari kursinya, membuka jendela sedikit lalu bersandar sambil mengusap pelipis yang masih berkeringat. "Oke. Tapi jangan kelamaan. Gue gabut."
Galang terkekeh kecil melihat interaksi mereka, lalu menoleh ke arah Danu yang baru saja keluar sambil mengangkat satu tas besar.
"Nu, ini bawa apaan aja sih, berat amat," celetuk Bima sambil menerima tas dari tangan Danu dan segera membukakan bagasi.
"Cuma bawa yang perlu. Jaket, sepatu, sama buku catatan. Kali aja butuh," jawab Danu singkat.
"Jaket segala... ya sudahlah. Lo yang jalan, lo yang tau." Bima menyusun barang mereka dengan cekatan di bagasi, lalu menutupnya rapat.
Galang memasukkan tas kecil miliknya sendiri, lalu menepuk pundak Bima. "Thanks, Bim."
Tanpa banyak kata lagi, ketiganya naik ke dalam mobil. Danu duduk di belakang bersama Galang. Bima memutar kunci dan mesin kembali hidup, suara knalpotnya terdengar halus menyatu dengan suasana malam yang mulai datang. Mobil melaju perlahan meninggalkan halaman kos, menuju jalanan utama kota.
Selama beberapa menit pertama, tak banyak yang dibicarakan. Jalanan cukup lengang. Bima memainkan lagu dari playlist lamanya, lagu-lagu tahun 2000-an yang entah mengapa masih ada di flashdisknya. Ritme musik yang familiar memberi rasa nyaman di antara mereka, meski hanya sedikit.
Akhirnya, setelah mobil mulai masuk jalan antar kota, Bima melirik ke spion tengah dan membuka suara. "Oke, sekarang boleh gue tanya? Sebenernya... apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba lo berdua mutusin balik ke sana? Dan buru-buru banget lagi."
Danu menghela napas perlahan. Ia menatap ke luar jendela mobil, memperhatikan pepohonan dan lampu jalan yang mulai menyala. Beberapa detik kemudian, ia baru menjawab. Suaranya pelan.
"Tidur gue belakangan ini nggak pernah benar-benar nyenyak. Mimpi itu balik lagi. Nyai Laras muncul... setiap malam. Kadang dia manggil, kadang dia cuma diam dan berdiri di kejauhan. Tapi rasanya nyata banget, Bim."
Suasana dalam mobil langsung terasa sunyi. Lagu di speaker masih mengalun, tapi tidak ada yang benar-benar memperhatikannya. Bahkan Bima tak langsung membalas. Di kursi depan, Naya ikut menoleh sedikit ke belakang, menatap Danu lewat spion kecil.
Satu menit berlalu dalam diam.
Sampai akhirnya Naya angkat bicara, suaranya lembut tapi penuh keyakinan. "Jangan takut, Nu. Kita udah di langkah yang benar. Kita hadapi ini bareng-bareng. Kalau memang ada yang harus kita selesaikan, ya kita selesaikan. Tapi lo nggak sendiri."
Danu menoleh perlahan ke arahnya dan mengangguk kecil. Senyum tipis muncul di bibirnya, meski matanya masih menyimpan lelah. "Makasih, Nay."
"Tenang aja," sambung Galang dari sebelahnya. "Kita semua di sini buat nuntasin ini. Udah kelamaan kita hidup dalam bayangan. Kalau memang jawaban ada di sana, ya kita cari sampai dapet."
Bima menyeringai kecil, mencoba mencairkan suasana. "Dan jangan lupa, kita kan baru lulus. Anggap aja ini... liburan terakhir sebelum dunia kerja ngebantai kita."
Semuanya tertawa kecil. Naya memukul lengan Bima pelan sambil menggeleng. "Liburan ke desa angker. Keren banget konsep lo."
"Eh, asal nggak disuruh kerja bakti sama makhluk halus, gue oke-oke aja," timpal Bima santai.
Obrolan ringan mereka mulai mencairkan ketegangan.
Sampai tak terasa setelah beberapa jam perjalanan, langit semakin gelap, tapi mobil itu melaju stabil di jalan lintas antar kota, melintasi ruas jalan yang semakin lengang seiring malam semakin larut. Lampu-lampu jalan menyala redup, dan di kejauhan, deretan toko tutup, hanya menyisakan neon minimarket yang masih menyala sendirian. Meski tidak seramai kota besar, suasana ini tetap terasa akrab bagi Danu, jalan-jalan yang ia kenal sejak kecil, kota kecil tempat keluarganya tinggal dan hidup selama bertahun-tahun.
"Sebentar lagi sampai," gumam Danu pelan, lebih pada dirinya sendiri, tapi Bima di depan nya mengangguk mengerti.
Saat mobil berbelok memasuki jalan perumahan yang lebih sempit, suasana menjadi semakin hening. Rumah-rumah berderet rapi, sebagian besar lampunya sudah padam. Tapi satu rumah tampak berbeda, gerbangnya terbuka lebar, begitu pula pintu kayu utamanya yang dibiarkan terbuka, seperti menanti seseorang pulang.
"Benar itu rumahnya, kan?" Bima menunjuk sebuah rumah bertingkat yang terlihat masih menunjukan tanda-tanda kehidupan, dibanding rumah lainnya. lampu masih menyala terang bahkan gerbang dan pintu rumah sudah terbuka lebar.
"Ya. Sepertinya mereka sudah menunggu" jawab Danu, walau nada suaranya terdengar ragu.
Tanpa diminta, Bima menurunkan kecepatan dan langsung masuk ke pekarangan rumah, memarkirkan mobil tepat di samping garasi. Dan Begitu mesin dimatikan, dua sosok dewasa muncul di ambang pintu, Papa dan Mama Danu. Wajah mereka cemas, tapi langsung berubah lega saat melihat Danu turun dari mobil.
Namun yang paling cepat muncul adalah sosok gadis remaja yang tiba-tiba berlari keluar dari dalam rumah. Gadis kecil itu melesat seperti roket, langsung memeluk Danu yang baru saja keluar dari mobil.
"Mas Danu..!!" serunya lantang.
Danu nyaris terhuyung karena pelukan mendadak itu, tapi ia segera tertawa pelan, lalu membalas pelukan adik semata wayangnya dengan hangat. "pelan-pelan dong, Nad. Mas belum sempat napas."
Naya, yang baru turun dari mobil, tersenyum melihat momen itu. Ia menatap Galang dan berbisik, "Itu pasti Nadia ya?"
Galang mengangguk. "Yap. Si kecil kesayangan Danu"
Bima, yang sedang mengambil tas dari bagasi, ikut menimpali, "Lucu juga ternyata. Kupikir anaknya galak, kayak Danu."
"Eh!" Danu menoleh, pura-pura ingin protes. "Gue galak darimana, coba?"
Tawa kecil pun terdengar, termasuk dari Papa dan Mama Danu yang kini sudah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi hangat.
"Ayo masuk dulu semuanya," kata Mama Danu sambil melambaikan tangan. "Udara dingin. Jangan ngobrol di luar terus."
Danu menggandeng tangan Nadia sambil memperkenalkan teman-temannya. "Ma, Pa... Kenalin, Ini Naya, teman Danu yang paling bawel, dan ini Bima, si paling oke dalam segala situasi"
"Selamat malam, Tante, Om," ucap Naya sopan sambil sedikit membungkuk.
"Wah, akhirnya ketemu juga," Papa Danu tersenyum. "Kalian sering disebut Danu, tapi baru Galang yang pernah mampir ke rumah."
Bima menjabat tangan Papa Danu. "Senang akhirnya bisa mampir juga, Om."
Mereka semua lalu masuk ke ruang tamu dengan papa dan mama Danu yang berjalan lebih dulu.
Danu duduk bersebelahan dengan Nadia di sofa panjang. Galang mengambil tempat di ujung sofa, dekat jendela. Bima dan Naya duduk di kursi tunggal di sisi kiri ruangan. Mama Danu sempat ke dapur, lalu kembali dengan nampan berisi teh manis hangat, pisang goreng dan beberapa cemilan lain nya.
Beberapa menit berlalu dalam obrolan ringan, sebelum akhirnya Papa Danu meletakkan cangkirnya di meja dan memandang putranya dengan sorot tenang namun serius.
"Kata mamamu tadi, kamu ingin bicara sesuatu, Nu?" tanyanya. "Sepertinya penting sekali... sampai kamu nekat pulang malam-malam begini."
Danu menggenggam tangan Nadia yang masih menempel di lengannya, seolah sedang mencari kekuatan. Ia menarik napas dalam, lalu menatap ayahnya.
"Iya, Pa. Ada hal yang harus aku selesaikan. Dan itu berhubungan sama desa Pagarjati."
Begitu nama itu disebut, suasana mendadak berubah. Mama dan Papa Danu saling berpandangan, wajah mereka mengeras.
Galang angkat suara. "Kami bertiga ikut Danu karena dia mulai diganggu mimpi aneh, Om, Tante. Ada satu sosok yang selalu muncul... Nyai Laras."
"Dan..." lanjut Danu, "kami merasa semua ini belum selesai. Aku masih dihantui bayangan itu. Malam ini Danu pulang untuk pamit. Besok pagi, kami akan kembali ke sana."
Mama Danu menggenggam tangan suaminya. Suasana ruang tamu berubah hening, hanya terdengar detik jam dinding yang terus berdetak.
"Kamu yakin, Nu?" tanya papa nya pelan. "Setelah semua yang terjadi... kamu benar-benar mau kembali ke desa itu?"
"Aku harus ke sana, Pa, Ma. Aku nggak akan bisa tenang kalau semua ini nggak diselesaikan. Dan satu-satunya cara adalah kembali ke desa Pagarjati." Ia menatap Papa dan Mama dengan nada tenang namun tegas.
Sedangkan Papa Danu menatap lurus ke arah anak sulungnya, dalam dan penuh pertimbangan.
Dan tanpa menunggu lebih lama, ia bersuara, pelan namun tegas "Jangan berangkat sendiri."
Semua orang di ruang tamu sontak menoleh padanya.
"Papa dan Mama ikut."
Danu mengerutkan dahi. "Tapi Pa... Ma... bukankah besok kalian masih kerja?"
Papa Danu menggeleng lambat. "Ini sudah tidak bisa dianggap sederhana, Nu. Bukan cuma soal kamu penasaran atau tidak tenang. Ini lebih dari itu"
Danu hendak membalas, mencoba meredakan kekhawatiran itu. Tapi belum sempat ia membuka mulut, Mama Danu lebih dulu menyela, suaranya terdengar tegas namun sarat emosi.
"Mama juga tidak setuju jika kalian berangkat sendirian"
Danu menoleh, bingung. Tapi mamanya belum selesai.
"Kami harus ikut. Tidak untuk kedua kalinya Mama membiarkan kamu pergi sendiri, Danu. Kamu mungkin sudah dewasa. Tapi kamu tetap anak kami. Dan kalau kali ini kamu benar-benar mau masuk lagi ke tempat itu, maka biar Mama dan Papa ikut. Kami tidak akan tinggal diam."
Suasana berubah hening. Tidak ada yang berani menyela, sampai suara lembut namun keras kepala menyusup dari sisi Danu.
"Nadia ikut!"
Semua kepala otomatis menoleh ke gadis kecil itu. Nadia menatap mereka satu per satu, terutama kakaknya, dengan sorot mata tajam namun penuh perasaan.
Danu mengerjap. "Nad, nggak bisa. Mas nggak mau kamu—"
Tapi kalimat itu belum selesai ketika Nadia langsung memotong.
"Mas nggak boleh larang Nadia!" suaranya meninggi, tapi bukan marah, lebih kepada tekad yang meledak dari dadanya. "Mas lupa, ya? Kalau Nadia juga, secara nggak langsung, udah terseret ke sana."
Napas Danu tercekat.
"Kalau Mas yakin wanita yang Mas temui itu sama dengan Kak Isabella... maka, biarkan Nadia menemuinya. Nadia kangen."
Kalimat itu menggantung di udara seperti petir yang jatuh diam-diam. Tak ada yang bicara. Tak ada yang berani membantah. Bahkan Danu yang sejak tadi ingin mengontrol semuanya, hanya bisa menatap adiknya dengan mata membulat.
Bima dan Naya saling berpandangan, jelas terlihat bingung dengan nama yang baru saja disebut.
"Kak siapa?" bisik Naya lirih.
Galang, yang sejak tadi duduk diam, hanya memberi kode lewat lirikan mata pada mereka: Tenang. Nanti kujelaskan.
Danu memejamkan mata sejenak. Dalam hatinya berkecamuk. Ini bukan rencana yang ia bayangkan. Ia ingin menghadapi semuanya sendiri. Tapi sekarang, keluarganya... semua orang yang ia sayangi malah memilih ikut bersamanya. Sebagian dari dirinya menolak. Tapi bagian lain tahu, bahwa mungkin memang sudah waktunya mereka tahu semuanya.
"Baik," gumamnya akhirnya. "Tapi kalau kalian ikut, kalian harus tahu... ini mungkin bukan cuma tentang mimpi atau masa lalu. Ini bisa jadi berbahaya."
"Kita keluarga, Danu," ucap Papa Danu. "Kalau berbahaya untuk kamu, berarti juga berbahaya untuk kami. Dan kita hadapi bersama."
Mama Danu mengangguk pelan, lalu berdiri dari sofa. "Tunggu sebentar, Mama mau telepon sekertaris mama untuk menggantikan meeting besok di kantor"
"Papa juga," tambah Papa Danu sambil ikut berdiri. "Papa akan hubungi kantor untuk menunda segala pertemuan dengan klien.l sementara waktu. Pekerjaan bisa ditunda. Keluarga tidak."
Mereka berdua lalu masuk ke kamar masing-masing. Langkah-langkah mereka terdengar cepat, seperti orang yang sudah lama memendam kekhawatiran dan akhirnya memutuskan untuk ikut turun tangan.