NovelToon NovelToon
Paman, Aku Mencintaimu

Paman, Aku Mencintaimu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Enemy to Lovers
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.

Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 - Rencana dan Dendam

Bagi Gilang, hari Jumat selalu sibuk. Pagi dipenuhi evaluasi mingguan, tengah hari untuk laporan keuangan dan produksi, lalu sore untuk rapat divisi kreatif yang entah mengapa akhir-akhir ini menjadi sesi yang paling menarik perhatiannya.

Ia tak pernah menyangka divisi kreatif akan menjadi tempat ia menunggu-nunggu untuk datang.

Rapat sore itu digelar di ruang presentasi kaca di lantai lima. Dinding putih yang bersih, meja panjang dari marmer, dan layar digital besar di ujung ruangan. Restu duduk di sisi kanan, sementara Gilang menatap daftar nama dan file presentasi yang sudah dikompilasi asisten pribadinya. Di daftar itu, ada nama yang sekarang semakin sering muncul dalam pikirannya—Tari Sukma Dara.

Sejak awal ia menerima perintah dari Bu Tirta untuk membimbing Tari, ia sudah menyusun rencana dingin: beri batas jelas, uji kompetensi, beri tekanan cukup, lalu perlahan dorong agar Tari menyerah dengan sendirinya. Ia pikir, seorang gadis dari Bandung dengan latar agribisnis dan pengalaman florist, akan rapuh di bawah sistem keras Kartanegara Beauty.

Tapi dua minggu terakhir… tidak berjalan seperti rencananya.

Tari ternyata tidak selemah itu.

Ia memang polos. Tapi bukan bodoh. Ada keingintahuan dalam dirinya yang konsisten. Dan yang paling mencolok: dia tidak merasa rendah. Bukan dalam arti sombong, tapi percaya diri secara alami. Tari tahu dia ‘baru’, tapi dia tidak pernah mencoba menjadi ‘orang lain’. Dia datang sebagai dirinya sendiri. Dan itu membuat Gilang tidak bisa memalingkan perhatian.

“Tim kreatif siap masuk, Pak,” ujar sekretaris dari balik pintu.

Gilang hanya mengangguk. Beberapa detik kemudian, lima orang masuk: Restu, Nana, Rega, Riska… dan Tari. Ia duduk di kursi keempat dari kiri, mengenakan blus biru muda dan rok span krem. Riasan wajahnya tipis, namun cukup untuk menonjolkan garis wajahnya yang lembut. Tidak mencolok, tapi segar. Modern, tapi tetap sederhana.

Dan ia tahu apa yang ia kenakan cocok untuk dirinya.

Gilang tidak bisa menahan diri untuk memperhatikan itu—ketelitian kecil dalam penampilan seseorang. Banyak dari staf di sini berdandan sesuai tren, tapi Tari… dia tidak mengikuti. Dia menyesuaikan.

“Silakan dimulai,” kata Gilang.

Restu memulai sesi dengan menjelaskan tema kampanye: Festival Bumi Nusantara. Beberapa slide ide ditampilkan. Ada desain mockup, palet warna, narasi tagline. Tari duduk diam, sesekali mencatat, sesekali menatap layar, tapi matanya tidak kosong. Ia menyerap. Menimbang.

Riska, seperti biasa, menyajikan proposal penuh grafik dan wording sempurna. Tapi Gilang sudah hafal gayanya. Konsepnya tidak buruk, hanya… terlalu textbook. Ia tahu Riska hanya ingin tampil memukau di hadapannya. Dan itu justru mengganggu fokus Gilang.

Lalu giliran Tari.

Restu menampilkan slide sederhana: ilustrasi tangan menggenggam segenggam tanah, lalu di bawahnya muncul tunas hijau. Slide berganti, menjadi bunga mekar perlahan, lalu perempuan berkerudung menatap cermin dengan wajah tersenyum.

Teksnya hanya satu kalimat:

“Keindahan tidak lahir dari keinginan menjadi orang lain, tapi dari keberanian untuk tumbuh sebagai diri sendiri.”

Gilang tak berkata apa-apa sejenak.

Lalu Restu menyahut, “Konsep ini dari Tari. Kami masih bantu sempurnakan visual dan narasinya.”

Gilang menatap Tari. Gadis itu tetap tenang. Tidak mencoba menjelaskan, tidak menjual dirinya. Hanya menatap balik, menunggu dengan sopan.

“Ini… pendekatan yang segar,” kata Gilang pelan. “Simbol pertumbuhan, tanah, dan narasi personal ini bisa menjangkau banyak lapisan audiens. Terutama mereka yang ingin merasa dimengerti.”

Tari masih tidak bicara. Tapi sorot matanya menunjukkan sedikit rasa terkejut.

Riska mengangkat alis, jelas tak senang. “Tapi bukankah tema pertumbuhan sudah sangat umum? Kita butuh konsep baru yang lebih bold.”

“Tidak selalu tentang seberapa baru idenya,” sahut Gilang datar. “Tapi seberapa dalam ia menancap.”

Gilang tidak sering memuji langsung. Tapi ia tahu saat seseorang layak mendapatkannya. Dan Tari… layak.

Rapat dilanjutkan dengan beberapa diskusi teknis. Gilang sesekali bertanya pada Rega, memberi arahan pada Restu, dan mencatat ide kolaborasi dengan tim media sosial. Namun dalam benaknya, masih terngiang sketsa sederhana dari Tari.

Ia bukan hanya tertarik pada idenya tapi tertarik pada cara berpikirnya.

Sore hari, Gilang kembali ke ruang kerjanya. Ia duduk di belakang meja besar berlapis kayu gelap, menatap layar laptopnya yang memuat data evaluasi karyawan.

Ia membuka folder Tari Sukma Dara. Data sudah ia lihat berkali-kali: lulusan agribisnis, pemilik toko bunga, pengalaman mengelola pesanan, workshop, dan dekorasi pernikahan.

Basic-nya memang bukan branding, bukan corporate management. Tapi dari pengamatan dua minggu ini, Tari memiliki satu hal yang sulit dicai yaitu intuisi.

Dan keberanian untuk menjadi berbeda.

Ia menatap fotonya di profil data internal. Wajahnya polos. Latar foto abu-abu yang sedikit buram. Bukan foto yang dibuat untuk menonjol. Tapi justru itu yang membuatnya… nyata.

Gilang memutar kursinya ke arah jendela. Di luar, matahari mulai tenggelam. Gedung-gedung Jakarta terlihat kecil dari lantai sepuluh.

Ia menarik napas panjang.

Awalnya, ia pikir Tari akan menjadi masalah. Perebut takhta. Ancaman eksistensinya. Tapi kini…

Ia sadar Tari bukan datang untuk merebut.

Dia datang… untuk mengambil haknya yang menang miliknya.

Dan entah sejak kapan, Gilang mulai menunggu kehadirannya setiap pagi. Menyadari bila tak sengaja tidak melihatnya satu hari saja, ada ruang kosong yang aneh dalam rutinitasnya.

Ia menggeleng pelan, menyentuh pelipis.

“Bodoh,” gumamnya.

Tapi senyum kecil muncul di sudut bibirnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Gilang Adiyaksa mulai mempertimbangkan sesuatu yang selama ini ia tolak.

Bahwa mungkin… ia juga berhak merasakan jatuh hati.

1
Rendi Best
lanjutkan thor🙏🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!