Akhir Dari Sebuah Pernikahan

Di pulau dewata yang begitu menyenangkan, Aleya tengah duduk dengan Aldi Yunanda, bosnya. Mereka sedang membaca naskah yang akan dilakukan syuting keesokan harinya. Ekspresi Aleya membuat Aldi penasaran.

"Apa yang mengganggumu, Aleya?" Tanya Aldi.

"Maaf sebelumnya Pak. Tapi berdasarkan pengalaman singkat saya, saya akan mengatakan bahwa naskah ini benar-benar tidak masuk akal. Namun tadi malam, saat menonton beberapa episode pertama, saya bisa melihat potensi dari serial ini. Saya hanya bertanya-tanya apa yang telah berubah sehingga serialnya malah berakhir dengan tidak masuk akal seperti ini." Ucap Aleya.

"Ulasan yang buruk," kata Aldi.

Aleya menatap Aldi dengan terkejut.

"Percaya atau tidak, ulasan yang buruk dapat menghancurkan mu. Jika kau tidak tahu cara menghadapinya, aku akan memberitahumu dari pengalamanku sendiri. Dalam pekerjaan ini, kau harus belajar untuk mengatasi semuanya. Seorang penulis naskah bisa saja menerima ulasan buruk yang diberikan orang lain dan mengubah naskahnya secara tak terduga. Tapi seperti yang kau katakan, naskah ini punya potensi. Kau akan selalu bertemu orang-orang yang tidak menyukai pekerjaanmu. Pada saat-saat seperti itu, kau punya dua pilihan yakni kau bisa mengabaikan ulasan buruk itu dan melanjutkan naskah yang sudah ada, atau kau bisa memutarbalikkannya untuk mencoba menyenangkan semua orang. Tapi ingat, kau tidak bisa menyenangkan semua orang selamanya." Ujar Aldi.

"Bagaimana Anda belajar menghadapi kritik-kritik pedas itu?" Tanya Aleya.

"Aku sudah melalui banyak kegagalan dalam hidup. Mencapai titik terendah dalam hidup terkadang memotivasi kita lebih keras lagi. Biar aku memberikan sebuah contoh padamu. Selama pengalaman terburuk yang aku alami, ketika rasanya jiwaku hancur dan aku bahkan kesusahan hanya untuk membeli makanan, dan setiap malam aku akan tidur dengan perut yang kelaparan. Aku menulis karya terbaik ku dari penderitaan terdalam itu. Karya itu menjadi mahakarya ku yang paling berharga saat ini." Ujar Aldi.

"Itu menakjubkan. Saya akan mencoba menulis malam ini, melihat apakah kesedihan saya bisa menginspirasi saya," kata Aleya.

"Dan mengapa seorang wanita muda, cantik, dan berbakat sepertimu harus bersedih?" Tanya Aldi.

"Orangtua saya akan bercerai," kata Aleya.

"Aku mengerti. Aku rasa kau terkejut. Apakah itu masalah pribadi yang kau sebutkan saat izin beberapa hari yang lalu?" Tanya Aldi lagi.

"Ya Pak, itu masalahnya. Dan benar, ini sangat mengejutkan saya. Baru seminggu yang lalu, orang tua saya merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Yang paling mengganggu saya adalah cara Papa mencampakkan Mama saya demi wanita yang seumuran dengan saya, itu membuat saya frustasi dan sangat kecewa. Papa adalah idola saya, dan hari ini Paa menghancurkan hati saya." Ucap Aleya terdiam, terkejut pada dirinya sendiri karena sudah begitu banyak bicara kepada orang yang sama sekali tidak dia kenal yang juga merupakan bosnya. "Maaf, Pak. Saya terlalu banyak bicara dan lupa bahwa kita di sini untuk bekerja." Lanjut Aleya.

"Kita manusia, dan terkadang hidup membuat kita kewalahan. Kita akan bekerja dan saling membantu. Anggap saja aku sebagai rekan kerja mu yang biasa Aleya." Balas Aldi.

"Terima kasih, Pak. Baiklah, mari kita mulai bekerja karena kalau tidak, ini tidak akan berlanjut. Setelah menonton episode-episodenya, kita bisa mulai dari episode 3 sebagai cerita yang dimulai dari hari itu. Itu akan menjelaskan mengapa aktris itu pergi dan juga..."

Aldi mendengarkan setiap kata yang diucapkan Aleya, terkagum-kagum dengan idenya. Dia mengeluarkan buku catatannya dan mulai mencatat ide-ide utamanya. Kemudian, dia akan mulai menulis naskahnya.

****************

Setelah melayani beberapa klien, Robby Anggara memutuskan untuk mampir ke ruangan Dani. Dia sedang menunggu Dani menyelesaikan panggilan teleponnya. Satria Abimana teman keduanya, masuk ke ruangan Dani.

"Robby, apa yang kamu lakukan di sini?" Tanya Satria.

"Aku datang untuk berbicara dengan Dani, tetapi dia sedang menelepon." Jawab Robby.

"Aku akan menemanimu. Kau mau kopi?" Tanya Satria.

"Tentu. Bagaimana kabar keluargamu?" Tanya Robby.

"Mereka baik-baik saja. Rosa akan menikah, jadi kami sedang mengurusnya." Kata Satria.

"Itu berita bagus, selamat! Luar biasa ya, dia akan menikah. Aku masih ingat saat gadis itu lahir," komentar Robby.

Robby dan Satria pernah kuliah bersama. Satria memiliki seorang putri berusia dua puluh lima tahun bernama Rosa, sementara Robby, di sisi lain, memiliki seorang putra berusia dua puluh tahun yang kuliah di Universitas Harvard. Istrinya, Ana, telah meninggal lima tahun yang lalu. Di usia 55 tahun, Robby Anggara masih betah sendiri dan hampir pensiun dari pekerjaannya.

"Sungguh menakjubkan, betapa cepatnya waktu berlalu," kata Satria.

"Maaf atas keterlambatannya," Dani meminta maaf saat memasuki ruang rapat.

"Jangan khawatir, aku punya waktu luang dan obrolannya menghibur. Aku sudah bicara dengan istrimu," kata Robby.

"Bicaralah dengan jujur, Satria tahu segalanya. Apa yang dikatakan Santi?" Tanya Dani sambil duduk.

"Dia belum membaca surat itu dan belum menyewa pengacara, tetapi dia bilang dia akan menandatanganinya. Dia akan datang ke kantorku besok," jawab Robby.

"Beritahu aku besok kalau kau sudah bicara dengannya." Ucap Dani.

"Baiklah, tapi pikirkan kemungkinan untuk memberikan putrimu... "

"Tidak sedikitpun." Ucap Dani dengan tegas menyela ucapan Robby.

"Dani, setidaknya pertimbangkan lagi." Kata Satria.

Mereka bertiga terus berbicara, tetapi Dani tetap teguh pada pendiriannya mengenai uang yang tidak akan dia berikan pada putrinya.

****************

Malam itu, Desi menyiapkan makan malam untuk teman-teman Santi. Julia datang bersama Sandra dan Marina, istrinya Satria Abimana. Keempatnya adalah teman dekat yang sudah saling kenal selama bertahun-tahun. Julia adalah seorang janda berusia 50 tahun, sementara Marina yang berusia 47 tahun menikah dengan Satria, rekan bisnis Dani. Sandra, yang juga sudah menikah, berusia 45 tahun dan memiliki dua anak berusia 15 tahun.

"Oh Santi, aku turut prihatin. Tapi, ceritakan pada kami, bagaimana perasaanmu?" Tanya Sandra.

"Tersesat. Rasanya seperti aku kehilangan arah, menyadari bahwa seluruh hidupku berputar di sekitar Mas Dani dan segala kebutuhannya. Dan sekarang dia sudah pergi," jawab Santi.

"Itu mengingatkanku pada saat Mas Andre meninggal. Aku tidak tahu bagaimana cara melanjutkan hidup setelah bertahun-tahun," jawab Julia.

"Tapi setidaknya kau bisa tenang, dia sudah meninggal. Sementara Dani di luar sana sedang bersenang-senang dengan seorang wanita berusia dua puluhan," kata Sandra.

"Lebih baik menjadi janda," kata Santi, dan mereka berempat tertawa terbahak-bahak.

Santi menuangkan jus jeruk ke dalam gelas.

"Kita harus mengakui, bajingan itu punya nyali untuk mengejar seorang gadis berusia dua puluhan," kata Marina.

"Yang paling berani adalah si pelakor itu karena, di usianya dan dengan begitu banyak pria muda, dia malah memilih pria berusia lima puluhan. Kalau aku, aku akan memilih pria keren berusia tiga puluhan," jawab Julia.

"Kupikir kau akan memilih seorang pria yang berusia dua puluhan!" Jawab Santi.

"Tidak, pria berusia dua puluh tahun itu seperti kelinci, mereka hanya memikirkan bercinta saja dan melakukannya tanpa peduli dengan pasangannya. Sebaliknya, mereka yang berusia tiga puluhan tahu apa yang kita sukai." Jelas Julia.

"Orang berusia dua puluh tahun sama saja dengan orang berusia lima puluh tahun, mereka hanya memikirkan hal itu," tambah Marina.

"Cepat atau lambat, hubungan mereka akan gagal, atau saat dia sudah bosan, percayalah, dia akan pergi," prediksi Sandra.

"Sementara itu, kau sendiri membutuhkan seorang pria berusia tiga puluhan yang dapat memberimu waktu dan cinta." Saran Julia.

Santi mulai tertawa.

"Tidak mungkin! Lagipula, aku tidak akan pernah menyukai pria yang lebih muda dariku." Ucap Santi.

Bersambung....