Fitri terpaksa bersedia ikut tuan Tama sebagai jaminan hutang kedua orang tuanya yang tak mampu mwmbayar 100 juta. Dia rela meski bandit tua itu membawanya ke kota asalkan kedua orang tuanya terbebas dari jeratan hutang, dan bahkan pak Hasan di berikan uang lebih dari nominal hutang yang di pinjam, jika mereka bersedia menyerahkan Fitri kepada sang tuan tanah, si bandit tua yang beristri tiga. apakah Fitri di bawa ke kota untuk di jadikan istri yang ke 4 atau justru ada motif lain yang di inginkan oleh tuan Tama? yuk kepoin...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arish_girl, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bercocok tanam
"apa? menikah lagi?" wajah Arumi seketika jadi muram. Entah ke berapa kata kata itu menghantam lubuk hatinya yang paling dalam. Seketika bola mata Arumi mulai berkaca kaca.
"iya, papa mau menikah lagi. Biar bagaimanapun papa harus menikah lagi, ini demi kelangsungan status keluarga kita. Papa membutuhkan pewaris. Pewaris yang bisa meneruskan tahta kerajaan bisnis keluarga Wira Tama." kata Tama dengan mantap.
"pa, seharusnya papa itu sadar. Papa sudah tua. Papa bukan anak muda lagi. Umur papa sudah 60 tahun. Tak seharusnya papa memikirkan untuk menikah. Bukankah ada Devan sebagai pewaris kita?" sanggah Arumi.
"hah, Devan mama bilang? Dia itu anak tidak berguna. Sudah berapa biaya yang kita keluarkan untuk menyembuhkan dia, hah? Mana hasilnya? mana? Yang ada, kehadiran dia justru membuat papa malu. Dia anak yang tak normal. Devan tak pantas menjadi pewaris keluarga ini. Dia itu hanyalah anak pembawa sial." pekik Tama dengan suara meninggi.
"cukup, pa. Jangan katakan Devan itu sebagai anak pembawa sial. Biar bagaimana pun, Devan itu cucu kita. Dia putra Aditya." Sentak Arumi tak Terima.
"Dan papa juga masih ingat dengan betul, gara gara anak itu pula, pewaris kita harus meninggalkan kita. Aditya hatus tewas, dan itu tak lebih karena Devan pembawa sial." sungut Tama dengan wajah merah.
"tidak, Devan tidak tau apapun dengan kejadian itu. Itu murni kecelakaan." Arumi menangis, dadanya terasa sesak di saat suaminya menyebutkan Devan, cucunya sebagai penyebab kecelakaan yang terjadi pada putra mereka.
"coba saja Hera dan Tasya bisa memberikan aku keturunan, tentu aku tak akan berinisiatif untuk menikah lagi. Aku membutuhkan keturunan. Itu saja, tidak ada maksud lain." kata Tama dengan nada penuh penekanan.
"itu karena papa yang terlalu ambisius untuk menikahi mereka. Walaupun papa mau menikah lagi, papa tidak akan memiliki anak lagi, papa sudah tua. Benih papa sudah tidak akan bekerja dengan sempurna." kata Arumi.
"tidak, keputusan papa sudah bulat, dengan atau tanpa restu mama, papa akan tetap menikah." kata Tama sembari beranjak dari sisi Arumi.
Arumi menengadahkan wajah, berusaha menyembunyikan luka di hatinya, berharap agar bulir bening tak jatuh di matanya. Luka hati yang selalu ia rasakan seumur hidupnya. Wanita mana yang bisa tegar, di saat sang suami membagi hati dengan wanita lain, bukan cuma sekali, tapi dua kali. Dan ini sudah mau ke tiga kali suaminya akan membagi hati dengan wanita lain. Entah wanita mana lagi yang akan di bawa pulang dan di nikahi suaminya itu.
Malam ini, Arumi tak bisa memejamkan mata, ia teringat terus akan perkataan sang suami. Jika perdebatan terjadi, maka sudah bisa di pastikan pasti Tama akan ke kamar Hera atau Tasya. Arumi menghapus bulir bening yang mengalir di pipinya. Terasa sakit hatinya di saat ungkapan pernikahan ketiga kembali harus ia dengar setelah beberapa tahun lalu. Sakit tak berdarah, mungkin itu yang saat ini menggambarkan suasana hati Arumi. Apalagi istri kedua dan ketiga suaminya, semuanya ada di dalam rumah itu. Usia kedua madunya itupun bisa di bilang terpaut jauh dengan usianya selalu istri tua.
Arumi meneguk gelas berisi air putih di atas nakas, tenggorokannya terasa kering, Arumi menenggak minuman itu hingga tandas. Meski demikian, segelas air putih itu seakan tak mampu mendinginkan hati Arumi yang panas dan pedih. Arumi menghapus bulir bening di pipinya, kemudian bangkit dan beranjak ke dapur. Ia berniat akan mengambil air dingin di dapur. Namun, begitu ia melintas di depan kamar Tasya, kaki Arumi terhenti untuk melangkah. Telinganya menangkap suara yang tak asing di telinganya.
"Ayoo, Tasya percepat, aku menunggumu. Kita akan lepas bersamaan." suara Tama terdengar menggema di balik dinding, seakan merobek hati Arumi yang saat ini sedang rapuh.
"sudah hampir, honey. Sekarang ganti posisi. Kau ambil kendali." Suara Tasya terdengar begitu menahan rintih yang tertahan.
suara desahan kemudian terdengar bersahutan. Membuat luka dan sayatan di hati Arumi semakin melebar.
"ah... honey... Tancapkan ke posisi yang paling dalam. Aku menantimu. Ayoo lebih keras lagi honey. Supaya bisa melahirkan pewaris untukmu." suara Tasya begitu lembut, dan manja bercampur desahan yang membuat Arumi meringis kesakitan.
"Seharusnya aku tidak di sini. Kenapa aku harus mendengarkan mereka berkebun? Menyakitkan hati saja." Arumi bermonolog. Namun, tak bisa di pungkiri, air mata Arumi tumpah begitu saja. Meski ia berusaha tegar, namun nyatanya, ia tetap saja terluka.
Sedangkan di kamar Sebelah, Hera juga meradang. Dia juga bisa mendengar aksi bercocok tanam yang di lakukan oleh suaminya bersama istri mudanya, benar benar terdengar ke telinganya. Tembok penghalang kamarnya dan kamar Tasya, ternyata tak bisa menyembunyikan suara desahan yang ia timbulkan saat bercocok tanam. "awas kamu Tasya. Kamu pikir kamu akan bisa hamil? tidak akan pernah aku biarkan. Hanya aku yang bisa melahirkan pewaris untuk Wiratama." Desisnya bermonolog.
Arumi berdiri di depan pintu kulkas yang sedang terbuka lebar. Hawa dingin menyeruak keluar dari dalam kulkas, menerpa tubuh Arumi yang mematung. Tangannya meraih sebotol air putih, lalu dengan rakus ia menenggak minuman itu hingga tandas. Berharap, minuman itu mampu meredam gejolak panas di hatinya.
Lepas itu, Arumi kembali ke dapur, namun di saat bersamaan, Ia berpapasan dengan Tasya yang sedang keluar dari kamarnya. Pakaian lingerie seksi dan transparan terlihat menempel di tubuh seksi Tanya.
"Hai istri tua, apa kabar? Sedang ngintipin suamiku, ya?" kata Tasya dengan menatap remeh ke arah Arumi.
Arumi tak menyahut, malas rasanya ia meladeni wanita yang satu ini.
"Wanita tua, kamu budek ya? Jangan blagu kamu. Ingat, aku dan suamiku baru saja sedang proses progam anak laki-laki. Jika proses kami berhasil, maka kamu dan cucumu yang idiots itu akan segera di usir dari istana ini. Semua yang ada di rumah ini akan jadi milikku dan putraku." seru Tasya dengan di iringi tawa yang menggelegar.
Arumi hanya mengusap dada pelan. Tak ingin meladeni ocehan Tasya yang tak penting. Arumi langsung melangkah menuju kamarnya.
"eh, wanita tua. Mau kemana lo? Jangan coba kabur lo. Jika gue hamil, lo harus angkat kaki dari sini. Sekalian bawa tuh si pemuda idiots itu." Ejek Tasya. dengan tangan terangkat mengusir.
"Astaghfirullah, semoga saya di berikan kekuatan oleh-Mu ya Rabb..." pekik Arumi beristighfar.