Dijodohkan dengan pria kaya raya? Kedengarannya seperti mimpi semua perempuan. Tapi tidak bagi Cloe.
Pria itu—Elad Gahanim—tampan, sombong, kekanak-kanakan, dan memperlakukannya seperti mainan mahal.
“Terima kasih, Ibu. Pilihanmu sungguh sempurna.”
Cloe tak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi siapa peduli? Dia hanya anak yang disuruh menikah, bukan diminta pendapat. Dan sekarang, hidupnya bukan cuma jadi istri orang asing, tapi tahanan dalam rumah mewah.
Namun yang tak Cloe duga, di balik perjodohan ini ada permainan yang jauh lebih gelap: pengkhianatan, perebutan warisan, bahkan rencana pembunuhan.
Lalu, harus bagaimana?
Membunuh atau dibunuh? Menjadi istri atau ... jadi pion terakhir yang tersisa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rinnaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Harga sebuah kalung.
Pintu rumah terbuka. Elad melangkah masuk membawa kotak beludru kecil berwarna hitam. Wajahnya tenang, bahkan sedikit percaya diri. Di ruang tengah, para pelayan segera menunduk memberi salam. Elad tidak menggubris mereka. Langkahnya langsung menuju ruang belakang, tempat Cloe duduk di sofa membaca buku diam-diam atau setidaknya berpura-pura membaca.
“Untukmu,” ucap Elad singkat, meletakkan kotak itu di meja depan Cloe.
Cloe menatapnya dengan alis terangkat, lalu membuka perlahan. Di dalamnya, tergeletak kalung berliontin permata putih indah, mahal, dan terasa tidak wajar.
Sebelum Cloe sempat berkata apa-apa, suara tumit sepatu menggema di lantai marmer. Jasmin masuk dengan langkah angkuh dan senyum tipis menyebalkan di bibirnya.
Jadi ini jawabannya, Jasmin tetap bisa masuk ke dalam rumah ini. Atau sebenarnya dia tidak tahu apa-apa?
“Akhirnya kalung itu punya pemilik baru,” katanya nyaring. “Kau harus tahu, Clo, aku yang menyuruh Elad memberikannya padamu.”
Cloe berdiri. “Apa maksudmu?”
“Elad membelinya untukku. Tapi aku tidak suka modelnya. Berliannya tidak begitu terlihat,” Jasmin meliriknya dari atas ke bawah. “Tapi kau memang suka sesuatu yang merupakan milikku, kan?”
Plaak!
Tangan Cloe menampar pipi Jasmin dengan keras. Para pelayan membeku, suasana membeku.
“Jaga mulutmu!” teriak Cloe. “Kalau kau ingin jadi bangkai, aku bisa bantu!”
Jasmin melotot marah. “Beraninya kau—”
“Cukup!” suara Elad membentak, melangkah cepat ke arah Cloe, tanpa ragu mendorong tubuh istrinya hingga jatuh ke lantai.
Cloe mendesis kesakitan, tapi matanya membakar Elad dengan amarah yang tak bisa dibendung. Baru saja dia didorong? Sebenarnya siapa yang lebih dulu mencari masalah?
“Aku tidak pernah minta hadiah darimu!” teriaknya, bangkit perlahan. “Apalagi barang sisa simpanan enggak sadar diri!”
Kalung itu ia ambil dan dilemparkan ke wajah Elad. Benturan kecil terdengar saat rantai permata itu menghantam pipi Elad lalu jatuh ke lantai.
“Harga kalung itu tidak sebanding dengan harga diriku. Dengan cara seperti ini, apa kau tahu? Kau merendahkan aku!”
Cloe berjalan cepat, sengaja menabrak pundak Jasmin secara keras, diam-diam menendang belakang lututnya sehingga wanita itu menggantikan Cloe tersungkur di lantai.
“Elad! Lihat dia!” rengek Jasmin menunjuk Cloe yang semakin menjauh.
Elad memang tengah melihatnya, melihat bagaimana Cloe menyadarkan dia bahwa dia mungkin sudah sangat keterlaluan. Memberikan barang milik simpang ke istri sah? Tadi Elad pikir kalung tersebut hadiah yang ingin diberikan Jasmin untuk mencoba mengakrabkan diri.
“Jasmin, aku pikir kau ingin menyenangkan Cloe dengan memberikan hadiah. Kenapa kau mengatakan aku yang membelikannya, atau benda yang tak kau inginkan.”
“Jika tidak seperti itu, kau tidak akan membiarkan aku bertemu dengan Cloe.”
“Hanya untuk memancing perkelahian?”
“Jadi kau ingin aku menghormati Cloe bagaikan seorang selir rendahan yang memberikan salam pada sang ratu setiap hari?”
Elad memijat pangkal hidungnya, dengan begini ia yakin kebencian Cloe semakin berkobar. Sayangnya Elad tidak bisa mengabaikan wanita itu, entah itu kemauan keluarga ataupun kemauan Elad sendiri.
“Kau sebaiknya pulang, aku akan seseorang mengantarmu.”
“Apa?!”
Elad mengabaikan keterkejutan Jasmin, dia pergi meninggalkan wanita itu tanpa menoleh ke belakang. Pelayan yang mengerti tugasnya bergerak: memaksa Jasmin keluar tidak peduli bagaimana Jasmin berteriak memaki.
Jasmin terlempar keluar pintu, untuk waktu sekian detik, pintu kembali rapat dan menyisikan bunyi kunci diputar.
“A-aku diusir?” Jasmin tidak percaya ini. Lihat saja, ia tidak akan memaafkan Elad secara mudah atas kejadian ini.
Semenjak itu Cloe tidur di kamar tamu, bahkan enggan keluar kamar jika masih ada Elad di dalam rumah ini. Para pelayan mulai terbiasa mengantarkan makanan ke kamar tamu.
Sudah seminggu berlalu dalam kesendirian di kamar, Elad merasa sudah cukup bagi Cloe menghindarinya. Baiklah, sebelumnya Elad salah, dia sudah memikirkan sedemikian rupa sepanjang hari.
Elad turun ke lantai bawah. Suaranya dalam dan tajam. “Cloe. Kembali ke kamar kita,” ucapnya sembari mengetuk pintu. “Aku salah, maafkan aku.”
Tidak ada jawaban, Elad berdiri cukup lama di depan pintu.
“Kau mau sampai kapan seperti ini?”
Masih hening. Emosi Elad tersulut, lantas dia menendang pintu itu hingga terbuka. Tindakannya membuat Cloe takut, wajah gadis itu pucat, dia bersikap waspada pada setiap langkah Elad yang mendekat.
“Jangan sentuh aku,” bisiknya gemetar.
Tapi Elad tidak peduli. Ia melangkah cepat, menarik tangan Cloe, membuat wanita itu terdongak terkejut.
“Berhenti mempermalukanku di rumahku sendiri!”
“Kalau kau malu, jangan jadikan aku trofi yang bisa kau lecehkan di depan perempuan simpananmu!” Cloe menjerit sambil berusaha melepas cengkeraman Elad.
“Cukup!” Elad membentak dan menyeret Cloe keluar kamar.
Tangis Cloe pecah, lagi-lagi dia dipaksa.
Tubuhnya diseret menaiki tangga, langkah-langkah Elad memburu seperti amarahnya belum cukup dibayar. Tapi Cloe tidak diam kali ini. Ia meronta, menahan sisi tangga, meraih tiang kayu meski kuku-kukunya terasa nyaris patah.
“Lepaskan aku!” jeritnya, nadanya serak dan histeris.
“Jangan buat semuanya lebih buruk, Cloe,” sahut Elad tanpa menoleh. Suaranya berat, rendah, tapi terdengar seperti ancaman.
Sampai akhirnya, Elad mendorongnya ke sofa. Cloe terjatuh terduduk, napasnya berat, wajahnya basah oleh air mata dan rambut berantakan menutupi pipi. Dia menunduk, tangan gemetar di pangkuan.
Pelayan yang menyaksikan dari sudut ruangan membeku. Mereka tak tahu harus ikut campur atau tidak. Tapi sorot mata Cloe cukup untuk membuat mereka mundur beberapa langkah antara rasa takut dan iba.
Elad berdiri di hadapannya, matanya tak lagi merah oleh emosi, tapi oleh kebingungan yang bercampur rasa gagal.
“Cloe, aku sudah bilang aku minta maaf.”
Cloe menatap ke atas, menahan napas. “Apa menurutmu permintaan maafmu cukup untuk menyembuhkan luka seperti ini?”
Elad tak menjawab.
“Apa dengan menyeretku kembali, kau pikir semuanya akan kembali normal?” suaranya semakin pelan, tapi dingin. “Aku ini istrimu, Elad. Bukan budak yang bisa kau hinakan di depan selirmu. Bukan boneka yang bisa kau paksa pulang dan tidur di ranjang yang sama hanya karena egomu tidak terpuaskan.”
Dia berdiri. Tubuhnya masih gemetar, tapi suaranya tidak lagi goyah.
“Jika kau ingin anak, cari perempuan yang siap dibeli. Tapi jangan minta anak dariku dengan cara begini.”
Mata Elad sedikit melebar.
“Kau menyesal menikahiku, Cloe?”
Cloe menatapnya dalam-dalam, sorot matanya kosong, tanpa benci—tapi juga tanpa harapan.
“Tentu saja,” katanya lirih. “Kenapa aku tidak melawan lebih keras sejak awal?” Cloe memalingkan wajah, posisinya saat ini didukung oleh kedua tangan Elad.
Elad menyentuh puncak kepala Cloe, memberikan sentuhan halus. “Aku akan belikan kalung berlian yang baru untukmu.”
“Tidak perlu, aku sama sekali tidak ingin.”
“Kau suka tipe permata seperti apa? Diamond, ruby, giok, emerald, atau apapun? Beritahu aku.”
“Aku suka batu sungai tempat aku mencuci setiap hari di desa. Bisakah kau biarkan aku duduk di atasnya lagi?”
Elad tersenyum, tiba-tiba mengecup Cloe. Dia berdiri tegak, pergi mengunci pintu kamar. Setelah itu menggendong Cloe ke atas ranjang, memeluknya seperti bantal guling.
“Kau tahu,” bisik Elad, “mungkin aku mulai menikmati hidup bersamamu.”
“Singkirkan tanganmu, sialan.”
Elad justru mengencangkan pelukannya. “Diamlah, aku sedang menikmati cinta Cloe.”
“Berhenti bicara omong kosong!”
Bersambung....