"Daripada ukhti dijadikan istri kedua, lebih baik ukhti menjadi istriku saja. Aku akan memberimu kebebasan."
"Tapi aku cacat. Aku tidak bisa mendengar tanpa alat bantu."
"Tenang saja, aku juga akan membuamu mendengar seluruh isi dunia ini lagi, tanpa bantuan alat itu."
Syifa tak menyangka dia bertemu dengan Sadewa saat berusaha kabur dari pernikahannya dengan Ustaz Rayyan, yang menjadikannya istri kedua. Hatinya tergerak menerima lamaran Sadewa yang tiba-tiba itu. Tanpa tahu bagaimana hidup Sadewa dan siapa dia. Apakah dia akan bahagia setelah menikah dengan Sadewa atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4
Satu jam kemudian, mobil Sadewa berhenti di depan gerbang pondok pesantren. Dari dalam mobil, dia melihat seorang wanita keluar bersama dua anak kecil, membawa buku di pelukannya. Jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari bahwa itu adalah Syifa. Kerudung bermotif bunga-bunga yang dikenakannya hampir sama seperti yang ada dalam ingatannya, dan senyumannya sangatlah cantik.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Sadewa merasa takut. Bukan takut karena musuh, bukan takut kehilangan harta, tapi takut menghadapi masa lalu yang selama ini dia coba hindari. Namun, inilah saatnya menebus kesalahannya.
Sadewa turun dari mobil dan melangkah mendekati Syifa. Hatinya berdebar, sesuatu yang hampir tidak pernah dia rasakan selama ini. Setelah sekian lama, dia akhirnya bisa bertemu dengan wanita yang menghantuinya selama dua belas tahun terakhir. Namun, ketika dia hendak membuka mulut untuk sekedar memanggilnya, tidak ada satu kata pun yang keluar. Bibirnya terasa kaku.
Syifa menatapnya dengan bingung. Mata teduhnya seakan menunggu penjelasan. "Anda mencari siapa?" tanyanya dengan lembut.
Sadewa masih terdiam. Dia bukan orang yang biasa kehabisan kata-kata, tapi kali ini berbeda. Namun, sebelum dia sempat mengumpulkan keberanian, sebuah suara memecah ketegangan.
"Syifa!"
Seorang pria paruh baya berdiri tak jauh dari mereka. Syifa tersentak. Wajahnya yang semula tenang berubah, seakan ada ketakutan yang mendadak menyelimutinya. Tanpa menoleh lagi ke arah Sadewa, Syifa buru-buru berjalan menghampiri pria itu.
Sadewa memperhatikan interaksi mereka dari kejauhan. Pria itu tampak berbicara serius dengan Syifa, dan Syifa hanya menunduk, sesekali mengangguk pelan. Tidak ada lagi senyum hangat yang tadi menghiasi wajahnya.
Sadewa mengepalkan tangannya. Ada sesuatu yang tidak beres. Dia berjalan mendekati rumah itu.
Sadewa kini berdiri di dekat rumah Syifa, matanya tajam mengamati beberapa pria dan wanita yang baru saja turun dari mobil. Mereka semua mengenakan gamis dan tampak berbicara pelan sebelum memasuki rumah Syifa.
Tanpa berpikir panjang, dia melangkah lebih dekat, menyelinap ke halaman rumah itu. Beruntung, pagar kayu tinggi di samping rumah memberi cukup perlindungan baginya untuk menguping.
Dari dalam, suara seorang pria paruh baya terdengar jelas yang dipanggil Paman Wahyu itu.
"Syifa, ini adalah keputusan terbaik untukmu. Ustaz Rayyan adalah pria terhormat, seorang pemimpin agama dan guru yang disegani. Menjadi istrinya adalah suatu kehormatan. Ustaz Rayyan juga yang mengelola pondok pesantren kita. Tanpa Rayyan pondok pesantren kita tidak akan berjalan sampai sekarang."
Jantung Sadewa semakin berdegup kencang. Dia menajamkan pendengarannya.
"Tapi ... saya belum siap," suara Syifa terdengar lirih dan bergetar.
"Syifa, ini bukan masalah siap atau tidak. Ini takdir. Kamu tahu sendiri bagaimana keadaanmu sekarang. Ustaz Rayyan telah bersedia menerimamu meskipun dengan semua keterbatasanmu."
Sadewa mengepalkan tangannya. ‘Keterbatasan?’ Mereka semua terus memanfaatkan keterbatasan itu untuk menekan Syifa.
Seorang wanita lain ikut bicara, suaranya lembut namun menekan. "Sebagai perempuan, kita harus mengikuti arahan orang yang lebih tahu, Syifa. Kamu akan mendapatkan perlindungan dan kehidupan yang lebih baik."
Syifa terdiam lama.
"Ini semua salahku, dan aku harus bertanggung jawab atas hidup Syifa." Sadewa tidak akan membiarkan Syifa menjadi istri kedua.
Kemudian Sadewa duduk di taman yang berbatasan langsung dengan rumah Syifa dan pondok pesantren. Dia menatap rumah Syifa dari kejauhan. Hingga akhirnya orang-orang itu pergi dari rumah Syifa.
"Syifa, kalau kamu memang jodohku, kamu keluar sekarang," gumam Sadewa.
Perkataannya langsung dikabulkan. Syifa melangkah keluar dengan pelan, kepalanya tertunduk, tangannya meremas sisi gamisnya dengan gelisah. Dia berjalan menjauh dari rumahnya dan memilih duduk di bangku taman yang berjarak cukup jauh dari tempat Sadewa duduk.
Sadewa mengamatinya dalam diam. Gadis itu mengangkat wajahnya sedikit, menatap langit yang mulai berubah warna jingga. Bibirnya bergetar, lalu butiran air mata jatuh tanpa suara.
Hati Sadewa mencelos melihat butiran bening itu terjatuh. Mata indah yang berwarna coklat itu tidak seharusnya mengeluarkan air mata.
"Apa selama 12 tahun ini hidupmu penuh dengan air mata? Maafkan aku ...."
Tanpa pikir panjang, dia berdiri dan berjalan mendekati Syifa. Langkahnya perlahan agar tidak membuat gadis itu terkejut.
"Assalamu'alaikum, Ukhti."
Mendengar suara itu, Syifa seketika mendongak. Mata mereka bertemu. Dia menatap Sadewa dengan penuh tanya, tapi buru-buru dia menghindari tatapan itu.
Sadewa bisa melihat matanya yang sembap. Jelas, Syifa telah menangis cukup lama. "Boleh aku duduk di sini?"
harus di ajak ngopi² cantik dulu si Lina nih😳😳😳
musuh nya blm selesai semua..
tambah runyam...🧐
mungkin kah korban itu sebuah jebakan🤔🤔🤔