Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 5
Pagi itu, sinar matahari menembus tirai kamar Rania, membangunkannya dari tidur yang tak nyenyak. Ia merasakan dinginnya liontin yang berbentuk GPS yang menggantung di lehernya, mengingatkannya pada belenggu tak kasat mata yang kini mengikatnya. Dengan enggan Rania bangkit dan bersiap menghadapi hari di bawah bayang-bayang Adrasta.
Setelah mandi, Rania menemukan pakaian yang telah disiapkan di lemari: Gaun yang berwarna pastel yang elegan namun sederhana. Ia mengenakannya, merasa seperti boneka yang didandani sesuai dengan keinginan tuannya. Saat Rania keluar dari kamar, Gino, asisten pribadi adrasta sudah menunggunya di depan pintu.
"Selamat pagi, Nona Rania," sapanya dengan suara datar. "Tuan Adrasta menunggu Anda di ruang makan untuk sarapan." Rania mengangguk pelan, mengikuti Gino menyusuri koridor menuju ruang makan.
Di sana, Adrasta sudah duduk dengan santai, menyeruput kopi hitamnya. Matanya menatap Rania tajam saat ia mendekat. "Duduklah," perintahnya singkat. Rania duduk di kursi di seberangnya. Pelayan datang menyajikan sarapan dengan rapi. Suasana hening menyelimuti ruangan, menciptakan ketegangan yang hampir tak tertahankan.
"Mulai hari ini," Adrasta memecah keheningan, "ada beberapa aturan yang harus kamu patuhi."
Rania menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut. "Pertama, jadwal harian mu sudah ditentukan. Kamu harus mengikutinya tanpa pengecualian. Kedua, pakaian yang kamu kenakan akan disiapkan oleh staf ku. Aku ingin kamu tampil sesuai standar yang aku tetapkan." Rania mengepalkan tangannya di bawah meja, menahan amarah yang mulai membara.
"Dan terakhir," lanjut Adrasta, "semua komunikasi akan melalui ponsel yang sudah aku berikan. Tidak ada perangkat lain yang diizinkan." Rania mengangguk pelan, menyadari betapa ketatnya kontrol yang diterapkan oleh Adrasta padanya.
Setelah mendengar semua peraturan itu, Rania merasa dadanya semakin sesak. Ia sadar, kehidupannya kini tak ubahnya seperti tawanan mewah — hidup dalam kemewahan, tapi tanpa kebebasan.
Adrasta memperhatikan ekspresi Rania yang berusaha tetap tenang. Bibirnya sedikit terangkat, bukan senyum ramah, melainkan seringai penuh superioritas.
"Kamu pintar, Rania. Jangan buat aku kehilangan kesabaran," ucap Adrasta tenang, tapi mengandung ancaman halus.
Rania menegakkan bahunya, menatap Adrasta dengan mata yang tak sepenuhnya tunduk. "Aku mengerti, Tuan Adrasta," jawabnya pelan namun tegas.
Adrasta meneguk kopinya perlahan, seolah puas dengan jawaban itu. "Bagus. Aku suka wanita yang tahu diri."
Suasana sarapan itu terasa seperti awal dari sebuah babak baru dalam hidup Rania — babak penuh aturan, kontrol, dan permainan kekuasaan. Tapi jauh di dalam dirinya, ada bara kecil yang tak mau padam.
Bara yang diam-diam berjanji... suatu hari nanti, akan ada waktunya Adrasta tidak lagi bisa mengendalikan semuanya.
Karena bahkan cangkang paling indah sekalipun… bisa retak dari dalam.
Setelah sarapan selesai, Adrasta bangkit dari kursinya tanpa banyak kata. Sosok pria itu memang tak pernah membuang waktunya untuk basa-basi. Ia hanya melirik singkat ke arah Gino. Sebuah isyarat tanpa suara.
"Gino akan mengantarmu berkeliling area mansion ini," ucap Adrasta datar. "Anggap saja sebagai pengenalan... sekaligus pengingat, bahwa tak ada jalan keluar dari tempat ini."
Tanpa menunggu jawaban, Adrasta melangkah pergi, meninggalkan aroma kopi dan kuasa yang begitu melekat di ruang makan itu. Rania menatap punggungnya yang menjauh, sebelum akhirnya berdiri dan mengikuti Gino keluar.
Sepanjang lorong-lorong panjang itu, langkah Rania terasa berat. Mata cokelatnya menangkap kamera tersembunyi di setiap sudut. Mata-mata Adrasta ada di mana-mana.
Mereka melewati taman belakang, ruang kerja, bahkan ruang senjata kecil yang tersembunyi di balik panel dinding—tempat Adrasta menyimpan koleksi pistol dan pisau seperti trofi.
"Hanya sedikit orang yang tahu ruangan ini ada," kata Gino singkat.
Rania hanya diam. Mengingat. Menghafal. Mencari celah.
Saat mereka hampir kembali ke kamarnya, langkah Gino tiba-tiba terhenti di depan sebuah pintu besi besar yang tampak berbeda dari ruangan lainnya.
"Apa ini?" gumam Rania refleks.
"Gudang lama. Tidak dipakai lagi," jawab Gino, suaranya terdengar terlalu cepat... terlalu defensif.
Dan di sanalah, untuk pertama kalinya, Rania mendengar sesuatu.
Ketukan.
Pelan. Teratur. Seperti kode.
Duk. Duk. Duk.
Seolah... ada seseorang di balik pintu itu.
Matanya membelalak tipis. Dadanya menegang.
Ada orang lain di sini?
Seseorang yang mungkin... juga sedang terperangkap?
Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Gino sudah berdeham pelan. Tegas. Mengingatkan.
"Kita kembali ke kamar, Nona Rania. Tidak ada yang perlu Anda ketahui di sini."
Tapi langkah Rania tak pernah lagi sama.
Karena untuk pertama kalinya... ia tahu.
Dia tidak sendirian.