••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11: Raya pingsan
06:30
"Yaampun... Tolong... Tolong..." Teriak Asih dengan panik saat melihat Raya tergeletak begitu saja di dekat pohon besar di samping kolam renang. Tak butuh waktu lama, akhirnya Ani dan seorang pria tua datang menghampiri Asih, terkejut dengan keadaan Raya.
"Ada apa? Kenapa teriak-teriak begitu pagi-pagi begini? Kamu tahu kan kalau Tuan Arka masih tidur. Kalau dia sampai terbangun, pasti akan jadi masalah buat kita semua," ujar Pak Omar, satpam tua itu, dengan nada tegas, mencoba meredakan kegelisahan Asih.
"Maaf, Pak Omar! Aku nggak asal teriak, aku teriak karena terkejut lihat Nona Raya tergeletak di sana!" jawab Asih, sambil menunjuk ke tubuh Raya yang terbaring kaku di bawah pohon. Semua orang menatap ke arah tunjuk Asih, dan seketika mereka terdiam, dibuat terkejut oleh pemandangan itu.
"Ya tuhan... Apakah semalaman Nona Raya pingsan di sini?" tanya Asih dengan khawatir, melihat tubuh Raya yang sangat pucat dan dingin.
"Ya ampun, kasihan sekali gadis ini. Pasti dia kelelahan dan kedinginan semalaman. Kan hujan deras sekali, sedangkan dia ada di luar untuk menguras kolam renang itu," ujar Pak Omar, sambil berjalan untuk mematikan keran air yang kemungkinan masih mengalir semalaman karena Raya tidak sempat menutupnya.
"Pak, ayo cepat bawa Nona masuk, dia pasti sangat kedinginan!" ucap Asih panik, matanya melirik tubuh Raya yang terlihat sangat pucat, seperti mayat.
"Dia masih hidup, kan, Pak?" tanya seorang tukang kebun yang ikut bergabung dengan mereka, khawatir.
"Sepertinya masih. Ayo, kita bawa ke dalam!" jawab Pak Omar, dengan cepat mengambil inisiatif. Mereka berdua, Pak Omar dan tukang kebun, mengangkat tubuh Raya dengan hati-hati dan membawanya ke dalam rumah. Karena tubuh Raya yang basah kuyup dengan air, mereka memutuskan untuk menidurkannya di kamar Asih, bukan di ruang tamu seperti yang awalnya direncanakan.
Mereka meletakkan tubuh Raya perlahan di kasur yang ada di kamar Asih, dengan hati-hati agar tidak membangunkannya. Saat itu, Sera, yang baru saja masuk ke dalam, menanyakan dengan khawatir.
"Ada apa ini, Mbak?" tanya Sera pada Asih, sambil menatap tubuh Raya yang terbaring.
"Kami menemukan Nona pingsan di bawah pohon di samping kolam renang. Sepertinya ini sudah semalaman!" jelas Asih, memberikan penjelasan dengan detail tentang kronologi kejadian tersebut.
"Yang lain, cepat lanjutkan pekerjaan kalian! Jangan sampai Tuan bangun dan melihat kita berkerumun begini," kata Ani, dengan nada tegas. Ani sudah berpengalaman bekerja di villa milik Arka, jadi dia tahu betul betapa buruknya sifat Arka jika sedang marah.
Semua orang segera menurut dan mulai melakukan pekerjaan mereka masing-masing, sehingga di kamar itu hanya ada Ani dan Raya. Ani dengan telaten mengurus Raya, mencoba melakukan segala yang bisa dia lakukan untuk menolong.
Dengan hati-hati, Ani menyeka tubuh Raya menggunakan kain lembut yang dibasahi air hangat. Dia perlahan mengeringkan tubuh Raya, lalu mengganti pakaian basah Raya dengan baju bersih dan hangat yang dia ambilkan dari lemari. Tak lupa, Ani mengoleskan minyak kayu putih ke tubuh Raya, berharap itu bisa memberikan kehangatan pada tubuh gadis itu.
Cukup lama Ani menunggu, berharap Raya segera terbangun. Namun, waktu terus berjalan, dan Raya masih terbaring tak sadarkan diri. Ani mulai resah, tetapi dia tahu dirinya tak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa menunggu dengan sabar. Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi meninggalkan Raya di sana, berharap bahwa gadis itu akan segera sadar.
"Mbak, bagaimana kondisi Nona?" tanya Asih saat melihat Ani keluar dari kamar dan mendekat. Ketiganya kini berada di dapur, menyiapkan sarapan pagi.
"Huuuhhh... Seperti yang kalian pikirkan," jawab Ani sambil mengambil daun bawang untuk dicuci, terlihat lelah dan cemas.
"Ya tuhan... Nona Raya begitu cantik dan ramah, tapi kenapa Tuan sampai sekejam itu menghukumnya?" ujar Sera dengan raut wajah penuh keprihatinan.
"Aku juga nggak habis pikir, Sera. Sejak datang ke sini, Nona belum makan atau minum apa-apa. Dan sejak keluar dari kamar Tuan, Nona malah disuruh menguras kolam renang itu. Entah jam berapa dia selesai, tapi yang pasti dia kehujanan, kan?" ujar Asih, matanya yang penuh rasa kasihan terfokus pada cerita Ani.
"Ya, semalam hujan deras banget. Kayaknya sekitar jam tiga pagi hingga tadi subuh, sekitar jam lima. Pasti butuh waktu lama untuk menguras dan mengisi kolam sebesar itu sampai penuh," timpal Ani, suara pelan dan serius.
"Tapi, mungkin nggak sih kalau Nona itu orang spesial untuk Tuan?" ujar Sera, tiba-tiba nyeletuk. Tiba-tiba saja, pembicaraan itu terhenti. Semua orang yang mendengar kalimat itu terdiam, merasa terkejut dengan pertanyaan Sera yang tiba-tiba keluar.
"Ekhhhmm..." Ani terbatuk pelan, mencoba meredakan suasana yang tiba-tiba canggung. Suara deheman itu berhasil membuat seluruh suasana di dapur menjadi sunyi. Semua orang terdiam, tidak tahu harus berkata apa.
"Kenapa kalian diam? Cepat lanjutkan pekerjaan kalian, dan ya, tolong buatkan saya teh, Ani!" perintah Arka dengan nada dingin, sebelum melengos pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban.
"Hampir saja ketahuan..." ujar Asih dengan nada lega, menghela napas panjang.
Mereka semua tertawa pelan, merasa lega karena Arka tidak mendengar percakapan mereka barusan. Bisa dibayangkan, jika Arka sampai mendengar ucapan mereka, semuanya pasti akan menjadi lebih rumit. Mereka juga terkejut kenapa Arka tiba-tiba datang ke dapur, biasanya dia hanya berteriak-teriak atau menelpon jika membutuhkan bantuan atau ingin sesuatu.
"Mungkin saja, Ra... Soalnya kan Nona Raya adalah wanita pertama yang Tuan ajak ke sini, sedangkan sebelumnya tidak ada yang datang ke sini selain Tuan dan Tuan Besar, kan?" tanya Asih dengan nada penasaran, matanya beralih ke Ani yang sedang menyapu meja dapur.
"Iya, Nona Raya memang wanita pertama yang Tuan bawa ke sini," jawab Ani, dengan suara tenang. Ani sudah lama bekerja bersama Arka dan tahu betul bagaimana sikapnya.
"Memangnya kenapa?" tanya Sera yang merasa semakin penasaran. Dia memang baru-baru ini bekerja di villa ini, jadi tidak terlalu paham dengan arah pembicaraan mereka berdua.
"Ini tempat rahasia Tuan Arka, Sera. Dia sengaja membangun tempat ini untuk menenangkan dirinya. Orang pertama yang datang ke sini adalah Tuan Besar, ayah Tuan Arka. Selebihnya, Tuan Arka tidak pernah membawa orang lain ke sini. Nah, Nona Raya adalah wanita pertama yang dia bawa ke sini. Oleh sebab itu, Mbak Asih dan kamu bisa berpikir kalau Nona Raya adalah orang yang spesial bagi Tuan Arka!" jelas Ani panjang lebar kepada Sera, memberinya pemahaman tentang bos mereka itu.
"Wah... Serius? Jika memang Nona Raya adalah wanita spesial untuk Tuan Arka, kenapa Tuan Arka melakukan hal sekejam itu? Aku juga kemarin tidak sengaja melihat dia menyuruh Nona Raya untuk memijat kakinya," ujar Sera, mengerutkan dahi sambil menyadari betapa anehnya situasi itu.
"Hemmm... Mungkin saja Nona Raya menolak keinginan Tuan Arka, kan? Soalnya, kejadian itu terjadi setelah dia keluar dari kamar Tuan Arka!" timpal Ani, menyimpulkan dengan tegas.
"Keinginan apa yang biasa laki-laki minta dari wanita?" ujar Asih, dengan nada setengah penasaran dan setengah bingung.
"Haishhh... Kau ini, sudahlah, otakku traveling ke mana-mana," ujar Ani sambil tertawa geli, melambai-lambaikan tangannya, seolah benar - benar tidak mengerti dengan apa yang di bicarakan oleh Sera dan Asih.
"Aku tak mengerti. Anak kecil tidak tahu pembicaraan gelap seperti itu," ujar Sera sembari tertawa renyah, merasa sedikit lega bisa bercanda meskipun perasaan mereka masih dipenuhi tanda tanya.
"Heiiii... Kau pikir aku sudah tua? Dasar teman sialan!" ujar Asih, membalas tawa Sera dengan senyum jahil di wajahnya.
"Kalau dipikir-pikir, mungkin saja Nona Raya benar-benar menolak keinginan Tuan Arka, kan? Setelah keluar dari kamar Tuan, mungkin dia sudah tidak tahan lagi dengan semua perintahnya!" timpal Ani, sambil pokus membuat kan teh yang akan dia berikan pada tuannya.
" Mbak Asih, pasti tahu kan, kadang laki-laki suka bikin permintaan aneh," ujar Sera, tersenyum licik.
"Tapi aku rasa, ada yang tidak beres dengan hubungan mereka. Tuan Arka itu punya sisi yang gelap, yang tidak pernah kita lihat," jawab Asih, sambil menyandarkan punggungnya pada dinding, matanya menatap jauh ke luar jendela, seolah memikirkan sesuatu yang dalam.
"Ya, benar juga. Tuan Arka memang terkenal sulit dipahami. Mungkin dia punya alasan tersendiri untuk semua yang dia lakukan, atau entah lah , aku tidak paham dengan pemikiran orang kaya, " ujar Ani, mencoba mengalihkan pembicaraan dengan suara pelan, tetapi penuh arti.
"Jangan-jangan... Nona Raya itu memang benar-benar spesial untuk Tuan, tapi dengan cara yang salah?" Ujar sera, wanita satu ini memang memiliki jiwa penasaran yang tinggi, seolah segala sesuatu adalah sesuatu yang kritis baginya.
"Sudahlah, jangan bawa-bawa perasaan. Kalau Tuan Arka memang punya perasaan, itu urusannya. Kita hanya bekerja di sini, bukan menjadi pengatur hidupnya," Ani mendengus pelan. Sera dan Asih terdiam, suasana di dapur menjadi sunyi sejenak. Mereka berdua saling pandang, seakan mengerti satu sama lain tanpa kata.
"Haishhh... Kau ini selalu saja memikirkan hal yang tidak-tidak. Aku hanya berharap Nona Raya segera sadar dan Tuan Arka berhenti bersikap kasar padanya," ujar Asih, menghela napas panjang.
"Sama, Mbak Asih. Aku juga khawatir padanya, baru satu hari hari mengenal nya , aku sudah kagum pada sifat sopan dan ramah nya ," tambah Sera, matanya berbinar penuh keprihatinan.
"Sebaiknya kita berhenti bicara soalnya mereka, Kalau Tuan Arka mendengar pembicaraan kita, masalah besar bisa terjadi, kita semua prihatin pada Nona Raya tapi tugas kita hanya sebatas pelayan tuan Arka, kita harus bisa menjaga batasan," ujar Ani sembari melangkah menuju ruang tamu, membawa teh hangat untuk Tuan nya. Terlihat jelas, Arka tengah duduk santai di sofa, dengan ponsel di tangan. Mata Arka terpaku pada layar ponselnya, namun sesekali ia melirik ke arah Ani yang mendekat dengan teh di tangan. Suasana menjadi hening sejenak, hanya terdengar suara langkah kaki Ani yang mendekatkan dirinya pada Tuan Arka yang terlihat begitu tenang.
"Ini teh-nya, Tuan. Maaf menunggu sedikit lama!" ujar Ani dengan sopan, lalu berniat untuk meninggalkan Arka, karena pekerjaannya sudah selesai. Namun, langkahnya terhenti ketika Tuan Arka tiba-tiba memanggilnya.
"Ani..." ujar Arka, dengan suara yang rendah dan tanpa menatap wajah Ani.
"Iya, Tuan!" jawab Ani dengan suara yang sedikit gemetar, menundukkan kepala sebagai tanda hormat.
"Apa yang kalian masak tadi?" tanya Arka, tetap tidak menoleh.
"Nasi goreng, Tuan, seperti permintaan Anda tadi malam," jawab Ani, berusaha menjaga ketenangan meskipun hati sedikit berdebar.
"Hemmm... Ok, juga tolong buatkan potongan beberapa buah. Saya ingin memakannya sekarang," perintah Arka lagi, suaranya terdengar datar.
"Baik, Tuan... Kalau begitu, saya permisi dulu," ujar Ani, yang hanya mendapatkan anggukan kepala sebagai tanggapan dari Arka. Ani kembali ke dapur untuk memotong buah-buahan sesuai permintaan Tuan Arka. Namun, baru saja ia memasuki dapur, ucapan Asih membuatnya terhenyak kaget.
"Mbak Ani!! Kondisi Nona Raya semakin parah, dia demam, badannya menggigil hebat. Saya takut terjadi sesuatu pada-nya," ujar Asih dengan nada panik, wajahnya terlihat cemas.
"Dimana Sera sekarang, Asih?" tanya Ani, ikut merasakan kepanikan yang mulai merayapi dirinya.
"Dia pergi ke pasar barusan untuk membeli stok makanan, Mbak. Apa sebaiknya kita beritahu Tuan saja? Mau bagaimana pun, Nona Raya adalah tamunya Tuan Arka. Kita tidak bisa terus menyembunyikan ini lama-lama, Tuan Arka pasti akan tahu, dan aku takut kalau Tuan Arka akan marah dengan tindakan kita ini," ujar Asih, yang memang memiliki alasan kuat. Ani pun akhirnya menyetujui perkataan Asih. Bagaimanapun, Raya adalah tamu Arka, dan mana mungkin Arka akan sekejam itu pada tamunya sendiri.
"Baiklah, ayo kita beritahu. Kau potongkan buah-buahan itu. Tadi Tuan Arka memintanya, ingat jangan ada semangka dan pepaya, Tuan tidak menyukainya. Aku akan melihat Nona Raya terlebih dahulu!" ujar Ani dengan tegas, yang langsung diangguki oleh Asih.
Ani membuka pintu kamar dengan perlahan dan melihat Raya yang tengah duduk di atas kasur. Wajahnya pucat pasi, matanya memerah, mungkin karena suhu panas yang menggila di tubuhnya.
"Nona!" panggil Ani dengan lembut.
Raya tersenyum tipis meskipun bibirnya terlihat kering dan sangat pucat. Namun, meskipun sakit, aura kecantikan Raya tetap tak bisa disembunyikan. Wajahnya yang cantik tidak kehilangan pesona meski sedang terduduk lemah. Ani bisa melihat betapa kuatnya wanita itu, meskipun tubuhnya tampak rapuh.
"Kamu yang membawa aku ke sini?" tanya Raya dengan suara yang lemah, suaranya begitu sayu namun penuh rasa terima kasih.
"Iya, Nona. Anda pingsan di dekat kolam, di bawah pohon. Jadi kami membawa Anda ke sini. Nona, sebaiknya Anda tidurlah lagi. Anda masih sakit, badan Anda panas sekali. Saya akan membawakan nasi dan juga obat untuk Anda supaya suhu tubuh Anda tidak terlalu panas," jawab Ani dengan lembut, khawatir akan kondisi Raya.
"Aku kedinginan... rasanya dingin sekali..." ujar Raya, matanya tampak kosong, seolah tak melihat apa pun di sekitarnya.
"Nona, suhu badan Anda sangat tinggi..." Ani hendak melanjutkan, namun kalimatnya terhenti oleh suara keras tepukan tangan yang memecah keheningan.
"BAAGUS...!!!" suara itu membuat Ani dan Raya menoleh ke arah sumber suara, dan benar saja, seperti yang sudah mereka duga, pemilik suara itu adalah Arka.
"Semua orang sibuk kerja dan lo baru bangun tidur?! Enak banget hidup lo! Masih banyak yang harus lo lakuin, malah asik-asikan di sini!" Arka berkata dengan nada tinggi, tatapan matanya tajam dan penuh kemarahan. Suaranya penuh amarah, jelas terdengar seperti tak sabar dengan situasi ini.
"Tuan, Nona Raya sed..." ucapan Ani terhenti begitu saja, karena Arka sudah mengangkat tangan, memberi isyarat untuk diam.
"Saya tidak bicara denganmu, Ani," kata Arka dengan nada yang tajam "Dan ya, saya menyuruhmu untuk memotong buah-buahan, mengapa malah sibuk mengurusi orang lain? Apa pikiranmu selambat itu? Atau kau benar-benar sudah bosan bekerja dengan saya? Sedari semalam, kamu dan Asih selalu menentang perintah saya!" ujar Arka disertai dengan tatapan tajamnya yang membuat siapapun yang ditatap merasa ketakutan. Suaranya bergetar dengan kemarahan yang tak bisa disembunyikan.
"Maaf, Tuan," jawab Ani, terpaksa menundukkan kepala, berusaha menahan rasa takut yang muncul di dadanya.
"Pergi dari sini dan lakukan pekerjaanmu! Saya tidak ingin mendengar apapun lagi!!" Arka berteriak, suaranya menggelegar di ruangan itu.
Ani, meskipun dengan hati yang berat, terpaksa menuruti perintah Arka. Dia hanyalah seorang pekerja di villa itu, dan terkesan tidak sopan jika dia ikut campur dalam urusan pribadi majikannya. Ani menunduk, lalu dengan langkah cepat meninggalkan ruangan tersebut.
"Dan lo beresin seisi villa ini, juga sapu halaman belakang, sampai bersih! Lakukan sekarang!" perintah Arka dengan nada yang tak bisa ditawar lagi.
Raya yang mendengar semuanya hanya mengangguk pelan, mencoba untuk mengerti meskipun tubuhnya terasa lemah. Dengan segala sisa tenaganya, dia mulai berusaha untuk berdiri, meskipun langkahnya goyah dan tubuhnya terasa rapuh. Namun, ada keteguhan dalam dirinya untuk melanjutkan apa yang harus dia lakukan.
Arka tidak memperdulikan gerakan Raya yang terkesan sempoyongan. Dia hanya mengira jika Raya sedang mencari perhatiannya saja, oleh karena itu dia tidak menghiraukannya dan pergi begitu saja dengan langkah cepat, meninggalkan Raya.
Raya berjalan sempoyongan, mencoba untuk melakukan pekerjaan yang diperintahkan oleh Arka. Namun, setiap langkahnya terasa semakin berat. Saat tiba di pintu depan, tubuhnya terasa begitu menggigil hingga bergetar hebat. Hal itu tentu saja menarik perhatian seorang satpam tua yang bernama Pak Omar yang segera menghampirinya.
"Nona, Anda mau ke mana?" tanya Pak Omar dengan nada khawatir.
"Pak... Aku... ingin mencari sapu... untuk menyapu halaman belakang," ujar Raya dengan suara terbata-bata, hampir tak terdengar jelas karena tubuhnya yang semakin lemah.
"Astaghfirullah, Nona... Badan Nona sampai menggigil seperti itu, apa tidak sebaiknya istirahat dulu?" kata Pak Omar, wajahnya penuh kekhawatiran, merasa tidak tega melihat kondisi Raya.
Raya hanya menggeleng lemah, menolak tawaran dari Pak Omar. Dia tidak ingin Arka menghukum dirinya lebih lama lagi. Hari ini adalah hari terakhir dia di sini, dan dia ingin segera kembali ke rumahnya.
"Tidak, Pak... Aku... harus melakukannya," jawabnya dengan suara pelan.
"Nona, tubuh Anda tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan seperti itu. Halaman belakang sudah disapu oleh Sera kemarin, dan mungkin sekarang sudah bersih. Begini saja, Nona tetap pergi ke belakang, tapi tidak usah menyapu atau melakukan apapun. Istirahatlah di sana. Ada sebuah tempat yang biasanya digunakan oleh Asih, Ani, dan Sera untuk bersantai," ujarnya dengan penuh rasa kasihan, melihat wajah Raya yang pucat dan lemas.
"Tidak mungkin... Kak Arka pasti akan mengawasi aku," ujar Raya dengan suara pelan, merasa cemas. Pak Omar menggelengkan kepala, memberikan senyum bijak.
"Tidak, Nona. Di sana tidak dipasangi CCTV, jadi Tuan Arka tidak akan bisa mengawasi Anda. Pergilah, istirahatlah sejenak. Jangan paksakan diri Anda," katanya dengan nada meyakinkan. Raya menghela napas pelan, merasa sedikit lega.
"Akh... begitu, terima kasih, Pak. Aku tidak akan melupakan pertolonganmu," ujar Raya dengan senyum ramah, meski masih tampak lelah dan pucat. Pak Omar mengangguk, tersenyum lembut.
"Ayo, Bapak antar ke sana!" ujarnya dengan semangat, berusaha memberikan sedikit kenyamanan bagi Raya.
...----------------...