Jebakan Cinta Twins A (Anindira & Anindita)

Bab. 8 TWINS

Keesokan paginya, Daffa sudah bersiap untuk berangkat ke restoran. Anindira kaget melihat sang suami yang sudah rapi, dia mendekati dan mencoba berbicara dengan lembut.

"Kau mau kemana, Daf?"

"Aku ingin pergi ke restoran, kau lihat sendiri kan? Kenapa harus bertanya?" sahut Daffa berbicara dingin.

"Tapi, kita ini kan baru menikah, dan seharusnya —" ucapan Anindira terpotong karena Daffa menyelanya dengan cepat.

"Seharusnya apa! Aku lupa menjelaskan sesuatu padamu. Anindira, aku menganggap pernikahan ini hanyalah sebatas pelunas hutang. Jadi, ku harap kau jangan berpikiran lebih."

"Bukankah kau bilang, kalau kau itu mencintaiku?"

Daffa tertawa mengejek. "Benar sekali, aku sangat mencintaimu, tapi itu dulu, Anin! Semenjak kau tidak menjawab perasaanku, disitulah dendamku mulai muncul."

Anindira tercengang mendengarnya, dia menatap Daffa dengan lekat, mencari kebenaran. Mata pria itu memancarkan kebencian, bahkan Daffa mengeraskan rahangnya. Anindira tidak bisa berkata-kata lagi karena memang benar dia menggantung perasaan Daffa.

''Kenapa diam? Apa kau baru menyadarinya?"

"Daf, aku—"

Belum saja menjawab, Zuma menghampiri Daffa dan Anindira yang berdebat di ruang tamu.

"Ada apa ini? Masih pagi sudah ribut-ribut!" tanya Zuma menatap Anindira dengan tidak suka.

"Ini, Ma! Perempuan ini, dia terlalu banyak protes. Ajari dia bagaimana caranya menjadi istri yang benar. Aku pergi dulu.'' Daffa berpamitan, dia berjalan keluar dari rumah.

Zuma bersidekap di depan Anindira yang menunduk. "Baru satu hari kau ada dirumah ini, tapi sudah membuat masalah!"

"M—maaf, Ma." ucap Anindira terbata.

"Jangan panggil aku Mama karena aku bukan Mamamu! Kau bisa memanggilku, Nyonya."

Anindira menatap Zuma dengan rasa tidak percaya, sekarang dia bukan orang asing tetapi kenapa harus memanggil Zuma dengan sebutan Nyonya?

"Tapi,''

"Tidak ada tapi-tapian! Ikuti apa kataku atau kau akan menyesalinya." Zuma menunjuk wajah Anindira membuat wanita itu hanya mampu mengangguk cepat.

"Buatkan aku sarapan! Aku sudah lapar." perintah Zuma, berjalan menuju meja makan.

Anindira menghela napas berat, dia berpikir apakah dirinya mampu menjalani hidup bersama keluarga Daffa yang toxic ini?

"Hei, babu! Kenapa malah jadi patung? Cepat buatkan sarapannya!'' Teriak Zuma dan Anindira langsung buru-buru pergi ke dapur.

Setelah sampai disana, dirinya melihat isi kulkas. Cukup banyak bahan makanan tetapi dirinya tidak tahu harus memasak apa.

"Astaga, aku tidak tahu apa yang dia mau. Bagaimana jika aku salah masak? Bisa-bisa dimarahi lagi." Anindira mengigit bibir bawahnya sambil melihat semua bahan makanan yang ada di dalam lemari pendingin.

"Heh!" panggil Zuma yang tiba-tiba ada di belakang Anindira.

"Ma, maksudku, Nyonya. Maaf, aku bingung harus memasak apa untukmu." Anindira menunduk.

"Kau harus membuat masakan yang banyak."

Anindira mengerutkan dahinya.

"Kau pasti heran dan bertanya-tanya kenapa aku menyuruhmu untuk membuat masakan yang banyak. Biar aku jelaskan! Teman-teman sosoalitaku ingin berkunjung kerumah ini, dan aku tidak ingin mereka kecewa, maka dari itu kau harus buatkan makanan yang enak untuk mereka."

Anindira lemas, pekerjaan yang sangat melelahkan dibanding menjadi waiters di restoran.

"Kau tuli, ya?" bentak Zuma yang melihat Anindira hanya diam saja.

"S—saya paham, Nyonya." jawab Anindira gugup.

"Bagus! Awas kalau kau sampai mengecewakanku.'' Zuma melotot ke arah Anindira.

Setelah ibu mertuanya pergi, Anindira akhirnya bisa bernapas lega. Tetapi, pikirannya bercabang entah kemana. Dia pun mulai meracik bumbu, tidak ada yang membantunya sama sekali, padahal dirumah itu ada asisten rumah tangga.

BERSAMBUNG